Venezuela, negeri yang kerap dicap negara gagal (failed state) itu, punya prestasi yang jarang mendapat lampu sorot media massa arus-utama.
Negeri yang terletak di ujung utara Amerika Selatan ini punya kisah sukses dalam revolusi perumahan yang berlangsung selama lebih satu dekade. Dimulai sejak 2011, Presiden Venezuela kala itu, Hugo Chavez, bertekad menyediakan rumah bagi seluruh rakyat Venezuela, terutama bagi kaum miskin dan terpinggirkan.
Tahun itu juga, Chavez meluncurkan revolusi perumahan yang disebut Misi Besar Perumahan Venezuela atau Gran Misión Vivienda Venezuela (GMVV). “Masalah krisis perumahan tidak bisa diselesaikan dalam bingkai kapitalisme,” kata Chavez (venezuelanalysis.com, 4 Mei 2011).
Dalam 13 tahun itu, Venezuela benar-benar menggeber revolusi perumahan. Hingga 3 Mei 2024 lalu, Venezuela berhasil membangun 4,9 juta rumah dari target 5 juta rumah untuk kaum miskin dan terpinggirkan.
Krisis Perumahan
Sejak 1920-an hingga puncaknya pada 1970-an, Venezuela menjadi raksasa minyak dunia. Pendapatan dari minyak menjadi jantung ekonomi negara. Tak hanya itu, minyak juga menjadi gula manis yang menarik orang dari pedalaman ke kota.
Venezuela menjadi negara paling urban di dunia. Hampir 90 persen rakyatnya tinggal di kota. Namun, limpahan manusia dari pedalaman ke kota tak disertai dengan ketersediaan tempat tinggal. Akhirnya, kaum urban ini mendirikan gubuk-gubuk sederhana di atas perbukitan yang mengepung kota. Gubuk-gubuk kaum miskin ini disebut “barrios”.
Kisah barrios tak jauh-jauh dari kemiskinan, kumuh, kriminalitas, bencana longsor (karena di area perbukitan), dan jauh dari akses layanan publik.
Ternyata berkah minyak hanya mengalir ke kantong sebagian kantong elit politisi dan pengusaha nasional, sementara porsi terbesar mengalir ke kantong perusahaan multinasional. Sebelum Chavez menjadi Presiden pada 1999, sebanyak 55,6 persen penduduk Venezuela terhempas dalam kemiskinan. Dengan tingkat kemiskinan ekstrem sebesar 10,8 persen.
Mereka yang terhempas dalam kemiskinan kesulitan mengakses hak dasar, termasuk perumahan. Ditambah lagi di masa itu, pengadaan dan harga rumah ditentukan oleh mekanisme pasar. Akibatnya, merujuk survei pada masa itu, ada 3,7 juta warga Venezuela yang tidak punya tempat tinggal layak.
Revolusi Perumahan
Konstitusi Bolivarian 1999, yang disetujui dan ditetapkan di bawah pemerintahan Chavez lewat referendum, menjamin perumahan sebagai hak dasar setiap warga Venezuela.
Chavez menerjemahkan mandat konstitusi dengan menghadirkan negara sebagai fasilitator utama penyediaan rumah bagi rakyat yang paling membutuhkan. Ia menyebut defisit perumahan sebagai “utang sosial” yang harus dibayar oleh negara.
Pada 3 Mei 2011, Misi Besar Perumahan Venezuela atau Gran Misión Vivienda Venezuela (GMVV) diluncurkan. APBN Venezuela, yang sebagian besar disumbang oleh minyak, dikerahkan untuk mendukung program itu. Chavez juga mendorong perbankan untuk menyokong pendanaan program itu. Tidak cukup, Chavez berkeliling menggalang dukungan pendanaan dari negara lain, seperti Tiongkok, Iran, Kuba, Belarusia, Portugal, Rusia, dan Brazil.
Apa yang menarik dari program GMVV ini?
Pertama, program ini menyediakan rumah layak huni yang bisa dijangkau oleh rakyat Venezuela, dengan skema subsidi sebagai berikut: subsidi 100 persen untuk keluarga miskin atau tinggal di tempat rawan bencana; 50 persen untuk mereka yang pendapatnya dua kali di atas upah minimum.
Selain itu, penerima program ini tidak semuanya berbentuk rumah baru. Ada juga yang hanya program bedah rumah.
Kedua, program ini juga mendemokratiskan tata ruang kota dan pelayanan publik. Ketika tata ruang dan pembangunan perumahan mengikuti logika kapitalisme, perumahan dan apartemen komersil berdiri di pusat kota dan dekat dengan pusat perbelanjaan, pusat bisnis, dan pelayanan publik. Sementara orang-orang miskin tinggal di barrios, yang sebagian besar kumuh, berhimpitan di atas perbukitan, dan jauh dari layanan publik.
Program GMVV mendemokratiskan itu. Perumahan atau apartemen baru dibangun di kota, dilengkapi dengan fasilitas publik seperti tempat bermain anak, tempat parkir, fasilitas olahraga, dan lain-lain. Juga dilengkapi layanan publik, seperti faskes, sekolah, dan jalur transportasi umum.
Ketiga, meski peran negara cukup besar dalam program ini, terutama dalam segi pendanaan, tetapi pada pelaksanaan proyek pembangunan hampir sepenuhnya partisipatif: melibatkan masyarakat lewat Dewan-Dewan Komunal (Communal Council) dan Komite Pertanahan Kota (CTU).
Berdasarkan laporan Dewan GMVV, dari 4,4 juta rumah yang dibangun hingga Maret 2023, sebanyak 70 persen dibangun secara swadaya oleh warga lewat Dewan-Dewan komunal dan CTU (venezuelanalysis.com, 8 Maret 2023).
Keempat, program ini bergandengan dengan reforma agraria di wilayah perkotaan. Mengingat sebagian besar penghuni kota-kota Venezuela adalah pendatang dari desa/pedalaman, banyak diantara mereka membangun rumah di atas tanah yang bukan hak milik mereka.
Pada 2002, Chavez mengeluarkan dekrit 1666, yang memberi payung hukum bagi warga yang bangunannya berdiri di atas tanah tanpa kepemilikan jelas untuk mengajukan sertifikat hak milik. Tahun itu juga berdiri Komite Pertanahan Kota (CTU), wadah kolektif yang memperjuangkan hak milik atas tanah milik negara atau tanah terlantar.
Nah, seiring dengan agenda pembangunan rumah atau bedah rumah, pemerintah juga menjalankan program sertifikasi kepada warga yang mengajukan klaim dan memenuhi syarat.
Terakhir, program ini juga punya perspektif kesetaraan gender. Pembangunan rumah bukan cuma urusan laki-laki, tetapi juga perempuan.
Di Antímano, Ibukota Caracas, ada barisan perempuan yang sudah terlatih ikut membangun perumahan. Mereka mengerjakan semuanya: dari memperjuangkan lahan terlantar, merancang proyek, hingga membangun sampai selesai.
Namun, program GMVV bukan tanpa cacat dan kritik. Tidak semua perumahan dilengkapi dengan fasilitas pendukung yang lengkap. Tidak sedikit juga yang mengalami gangguan pasokan air bersih dan listrik.
Namun, faktor-faktor itu tak sepenuhnya salah pemerintah. Selain dukungan anggaran yang menipis karena sanksi ekonomi yang diterapkan oleh AS dan sekutunya, ada juga sabotase ekonomi yang dilancarkan oleh sayap kanan.
Sejak 2019, AS meningkatkan sanksi ekonomi terhadap Venezuela. Tidak hanya menyasar individu atau tokoh pemerintah, tetapi juga entitas bisnis, termasuk perusahaan minyak PDVSA. Produksi minyak Venezuela jatuh dari 1,9 juta barel/ hari pada 2017 menjadi 350 barel/hari pada 2020. PDB Venezuela menyusut 65 persen dalam rentang waktu yang sama, yang menggiring negara ini dalam hiperinflasi dan krisis ekonomi.
Ini yang patut diacungi jempol. Venezuela sanggup melanjutkan revolusi perumahan kendati dihimpit oleh saksi ekonomi dan hiperinflasi.
Disclaimer: artikel ini sebelumnya sudah tayang di Kolom Kompas.com dengan link: https://www.kompas.com/global/read/2024/06/13/111636970/belajar-dari-revolusi-perumahan-di-venezuela?page=all