Gelombang aksi mahasiswa bertajuk Indonesia Gelap pecah di sejumlah kota. Digelar maraton mulai Senin, 17 Februari 2025, aksi tersebut masih berlangsung hingga Kamis petang. Selain di Jakarta, demonstrasi besar-besaran juga meletup di Surabaya, Malang, Surakarta, Yogyakarta, Bandung, Samarinda, Banjarmasin, Palembang, Ambon, Padang, hingga Denpasar.
Sebagai gerakan protes, tagar #IndonesiaGelap ikut bergema kencang di media sosial. Perpaduan perlawanan di dunia maya dan gelombang aksi di jalanan itu terlihat saling mengisi dan melengkapi.
Melalui gerakan tersebut, anak-anak muda dari berbagai kota serentak menyulut bara perlawanan terhadap kebijakan pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka yang dinilai kian menyengsarakan rakyat.
Dalam 100 hari pemerintahannya, alih-alih menebar harapan baru, Prabowo-Gibran justru dianggap menyeret mundur negeri ini. Kebijakan efisiensi, contohnya, malah membawa dampak buruk atas banyaknya orang yang harus kehilangan pekerjaannya; pembangunan infrastruktur yang terancam mangkrak; hingga kekhawatiran atas menurunnya pelayanan publik di sejumlah bidang, seperti kesehatan, pendidikan dan lain-lain.
Mereka risau masa depan Indonesia kian terasa suram. Karena itulah, Indonesia Gelap dipilih menjadi seruan bersama untuk melakukan perlawanan.
Tuntutan yang digaungkan angkatan muda ini pun tak hanya menyasar isu pendidikan dan dunia akademik. Deretan masalah krusial yang terkait erat dengan hajat hidup rakyat, dijadikan tuntutan bersama. Setidaknya terdapat 13 tuntutan yang mereka desakkan dalam aksi Indonesia Gelap.
Selain meminta pendidikan gratis, ilmiah dan demokratis, massa aksi menuntut pembatalan pemangkasan anggaran pendidikan. Para demonstran juga mendesak supaya anggaran tunjangan kinerja dosen segera dibayarkan. Bagi mereka, peningkatan kualitas pendidikan tinggi akan sulit diwujudkan jika kesejahteraan para akademisi dan buruh kampus diabaikan.
Tak hanya itu, para mahasiswa pun meminta Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN dan APBD 2025―yang dinilai sebagai ancaman terhadap kepentingan rakyat, seperti pendidikan dan kesehatan―segera dianulir.
Mereka lalu menyoroti praktik multifungsi TNI, yang pernah jamak terjadi di masa Orde Baru. Keterlibatan militer dalam sektor sipil dianggap berpotensi menciptakan represi dan menghambat kehidupan yang demokratis.
Dukungan kepada masyarakat adat yang masih terabaikan ikut dilambungkan para demonstran. Dalam hal ini mereka mendesak agar Undang-Undang Masyarakat Adat bisa segera disahkan. Masyarakat adat, sebut mereka, membutuhkan perlindungan hukum yang jelas atas tanah dan kebudayaannya. Sejalan dengan itu, mereka juga mendesak pencabutan proyek strategis nasional (PSN) yang merugikan rakyat serta segera mewujudkan reforma agraria sejati.
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang berjalan secara serampangan juga menjadi fokus perhatian. Mereka bilang, proyek ini harus dievaluasi secara total agar tepat sasaran, terlaksana dengan baik, dan tidak menjadi alat politik semata.
Tuntutan mendesak lainnya adalah keberanian untuk memberantas korupsi dan kejahatan ekonomi. Langkah ini, salah satunya bisa dilakukan melalui penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Perampasan Aset. Mereka juga menolak revisi Undang-Undang TNI, Polri, dan Kejaksaan; segera lakukan efisiensi dan perombakan Kabinet Merah Putih; serta menolak revisi peraturan Dewan Perwakilan Rakyat tentang Tata Tertib yang sangat bermasalah dan bisa menimbulkan kesewenang-wenangan lembaga legislatif tersebut.
Yang juga penting untuk segera dilakukan adalah mereformasi secara menyeluruh di tubuh Kepolisian Republik Indonesia. Langkah ini mutlak dilakukan untuk menghilangkan budaya represif dan meningkatkan profesionalisme aparat kepolisian.
Di sejumlah kota, para mahasiswa terlihat sengaja menanggalkan jaket almamaternya saat menggelar aksi. Melalui cara ini mereka menegaskan komitmennya untuk berjuang bersama rakyat. Di Yogyakarta, misalnya, demonstran sengaja memakai pakaian hitam-hitam saat menggelar aksi.
Seperti sejawatnya di Kota Gudeg, ribuan mahasiswa yang berkumpul di depan gedung DPRD Kota Malang, Jawa Timur, juga mengenakan pakaian serba hitam, Selasa, 18 Februari 2025. Mereka bahkan membakar poster bergambar Prabowo-Gibran yang dibubuhi tulisan efisienshit. Para demonstran menuding efisiensi yang dilakukan pemerintah merupakan siasat untuk menambal anggaran program Makan Bergizi Gratis yang digembar-gemborkan Prabowo saat kampanye pilpres 2024.
Di Kota Surakarta, Jawa Tengah, aksi massa digelar di kantor DPRD setempat. Selain membakar ban, demonstran juga menggelar aksi berjalan mundur sebagai simbolisasi atas situasi Indonesia yang ditengarai mengalami kemunduran.
Para mahasiswa tak melakukan aksi sendiri. Sejumlah emak-emak turut menggelar demonstrasi di kawasan Tugu Tani, Jakarta Pusat, Selasa lalu. Memakai daster, mereka membentangkan sejumlah poster berisi beragam tuntutan. Masih di Jakarta, di sela-sela aksi #IndonesiaGelap di dekat Patung Kuda, kawasan Monas, kaum ibu yang tergabung dalam gerakan “Ibu-Ibu Peduli” juga tampak membagikan makanan dan minumam gratis kepada peserta aksi.
Disertai seruan cuti bersama, aksi #IndonesiaGelap masih akan berlanjut . Aksi ini akan kembali digelar di seputaran Patung Kuda, kawasan Monas, Jakarta Pusat, Jumat, 21 Februari 2025.
Satu hal yang pasti, keresahan mereka yang terlibat dalam gelombang demonstrasi ini, sama. Suara mereka juga sama. Mereka sama-sama ingin melawan kegelapan yang menggelayuti masa depan Indonesia.