Apa yang ditunggu-tunggu jelang Lebaran? Yap, betul sekali: Tunjangan Hari Raya alias THR. Bukan hanya dinantikan oleh para pekerja, mereka yang “nganggur” dan ormas pun ikut berharap mendapat ceceran THR.
Namun, THR tak jatuh dari langit. Bukan hadiah pemerintah, tetapi diperjuangkan oleh gerakan buruh. Dan, mungkin sebagian kita keget, organisasi atau serikat buruh yang terdepan memperjuangkan THR ini adalah Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), serikat buruh yang terafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Lalu, bagaimana awal cerita munculnya THR ini?
Dipelopori Masyumi
Pada 1951, Soekiman Wirjosandjojo, pimpinan Masyumi kala itu, ditunjuk sebagai Perdana Menteri. Selain menasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia, Soekiman pun dianggap sebagai pencetus THR.
Namun, pada masa Soekiman, pemberian THR baru sebatas kepada pamong praja alias pegawai negeri sipil (PNS). Saat itu, namanya masih “persekot Lebaran”. Selain pemberian uang, ada juga pembagian tekstil/kain dan beras.
Besaran persekot yang diterima PNS kala itu adalah Rp 125-Rp 200. Namun, karena situasi ekonomi yang belum membaik pascapengakuan kedaulatan RI, banyak proses pembayaran persekot Lebaran yang tersendat.
Pemerintahan Soekiman berharap, pemberian persekot PNS bisa mengurangi beban PNS jelang Lebaran, sekaligus memberi daya ungkit pada daya beli rakyat.
Diprotes gerakan buruh
Pemberian THR hanya untuk PNS menuai protes. Protes paling lantang dikumandangkan oleh gerakan buruh kiri, Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI).
Pada 13 Februari 1952, SOBSI mulai melancarkan aksi mogok kerja demi menuntut THR. Dalam tuntutannya, SOBSI menyuarakan pemberian tunjangan Hari Raya bagi semua buruh sebesar satu bulan gaji kotor.
Setahun kemudian, karena tuntutan tak juga digubris, SOBSI kembali menggelar aksi pemogokan.
Hadiah Lebaran
Pada 1954, sebagai buah dari tekanan gerakan buruh, pemerintahan Ali Sastroamidjojo menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1945 tentang Persekot Hari Raya.

Sedangkan untuk buruh, Menteri Perburuhan kala itu, SM Abidin, menerbitkan Surat Edaran Nomor 3676/54 tentang Hadiah Lebaran. Jumlahnya seperduabelas dari gaji buruh atau minimum Rp 50 rupiah dan maksimum Rp 300.
Sepanjang 1955-1958, menjelang Lebaran, pemerintah terus menerbitkan surat edaran soal THR. Namun, karena hanya bersifat surat edaran, kekuatan hukumnya lemah untuk memaksa pengusaha memberi THR kepada buruh.
SOBSI pun menggencarkan aksi protes. Serikat buruh yang berada di bawah garis politik Partai Komunis Indonesia (PKI) itu gigih menuntut THR sebagai hak yang wajib diterima kaum buruh.
Pada 1960, berkat tekanan terus-menerus dari SOBSI, Presiden Sukarno pun merespons. Lewat Menteri Perburuhan Ahem Erningpraja, terbitlah Peraturan Nomor 1 Tahun 1961.
Beleid itu menjadikan THR sebagai hak yang wajib diterima buruh dengan masa kerja paling minimal tiga bulan.
Pada tahun 1994, lewat Permenaker No.04 Tahun 1994, istilah “Hadiah Lebaran” berubah menjadi “Tunjangan Hari Raya” atau THR.
Begitulah kisahnya. Jadi, jika hari ini kalian menikmati THR, jangan lupa bahwa di balik rezeki yang kalian terima itu ada buah keringat perjuangan serikat buruh kiri.
Teruntuk kalian yang suka merendahkan aksi-aksi demonstrasi dan pemogokan, kalian tak akan menikmati THR, delapan jam kerja per hari, hak upah lembur, hak cuti haid/melahirkan, dan masih banyak lagi, jika tak ada orang yang rela menggelar aksi demonstrasi dan pemogokan.
Akhir kata, selamat menyambut Hari Raya Idul Fitri 1446 Hijriah. Mohon maaf lahir dan batin.