Proyek Strategis Nasional (PSN), seperti proyek food estate di Merauke, Papua Selatan, telah menjadi sorotan utama dalam pembangunan nasional Indonesia. Proyek yang mencakup lebih dari 2,2 juta hektare lahan ini bertujuan mendukung misi pemerintah untuk mencapai swasembada pangan dan energi. Namun, berdasarkan analisis mendalam mengungkapkan bahwa proyek ini terjebak dalam cengkeraman oligarki yang tertanam dalam struktur negara, yang justru memperburuk penderitaan masyarakat setempat.
Kunjungan Presiden Prabowo Subianto pada 3 November 2024 ke Desa Wanam, misalnya, menyoroti upaya pemerintah untuk mengembangkan lahan pertanian berkelanjutan, termasuk demplot padi dan pencetakan sawah skala besar hingga 1 juta hektare. Meskipun ini sejalan dengan ambisi swasembada, namun dampak negatifnya tidak dapat diabaikan.
Dalam kaitannya dengan misi pemerintah, PSN dirancang untuk meningkatkan produktivitas pangan melalui teknik budidaya modern, seperti penggunaan dolomit untuk meningkatkan kesuburan tanah, serta pembangunan infrastruktur seperti dermaga dan jalan sepanjang 135 kilometer. Program ini juga menargetkan swasembada energi melalui perkebunan tebu untuk bioetanol. Namun, keterlibatan oligarki—melalui perusahaan besar seperti Jhonlin Group, KPN Corporation, dan First Resources—menimbulkan masalah serius. Proyek ini sering kali mengabaikan hak masyarakat adat, mengakibatkan penggusuran paksa, kerusakan lingkungan, dan ketimpangan sosial. Temuan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dari investigasinya pada Juni 2025, mengungkap pelanggaran hak asasi manusia, termasuk pengingkaran prinsip Persetujuan Atas Dasar Informasi di Awal Tanpa Paksaan (FPIC) dan kerusakan budaya lokal. Hal ini memperburuk penderitaan masyarakat, yang kehilangan akses terhadap lahan adat dan sistem pangan tradisional mereka.
Untuk membandingkan dengan kebijakan serupa di negara lain, proyek PSN mirip dengan inisiatif pembangunan lahan besar-besaran di Brasil, di mana proyek-proyek pertanian skala besar di Amazon telah menyebabkan deforestasi massif dan konflik sosial. Di Brasil, kebijakan tersebut meningkatkan produksi pangan tetapi juga memperburuk krisis iklim global dan pengusiran komunitas adat―mirip dengan kritik terhadap proyek Merauke yang merusak hutan tropis. Di India, program seperti Green Revolution dan inisiatif bioetanol meski telah mencapai swasembada pangan, namun juga menimbulkan dampak negatif seperti penurunan biodiversitas dan ketergantungan pada perusahaan swasta, yang memperparah kemiskinan di daerah pedesaan. Perbedaan utamanya, di Indonesia keterlibatan oligarki memperkuat ketidakadilan, sementara di Brasil dan India, pemerintah telah menerapkan regulasi lebih ketat untuk melibatkan masyarakat lokal, meskipun masih ada kekurangan.

Dampak yang ditimbulkan dari PSN ini termasuk kerusakan ekologis jangka panjang, seperti hilangnya hutan dan peningkatan emisi karbon, serta dampak sosial seperti konflik komunitas dan pelanggaran hak asasi. Untuk mengatasi hal ini, solusi yang diusulkan melibatkan pendekatan yang lebih inklusif, seperti sosialisasi inklusif oleh Komnas HAM, pemetaan hak ulayat, dan partisipasi bermakna masyarakat adat dalam perencanaan proyek. Pemerintah juga perlu mengadopsi paradigma pembangunan berkelanjutan, di mana proyek PSN diintegrasikan dengan pendidikan ekologis dan peran aktif organisasi keagamaan untuk membangun kesadaran kolektif. Dengan demikian, misi swasembada pangan dan energi dapat dicapai tanpa mengorbankan keadilan sosial dan lingkungan.
PSN yang digagas pemerintah Indonesia, khususnya proyek food estate di Merauke, Papua Selatan, telah menjadi simbol ambisi negara dalam mencapai swasembada pangan dan energi. Namun, di balik narasi pembangunan dan modernisasi pertanian, terdapat dinamika kekuasaan yang memperlihatkan keterlibatan oligarki dalam penguasaan sumber daya alam dan pengambilan kebijakan publik. Artikel ini bertujuan untuk menganalisis secara kritis keterlibatan aktor-aktor oligarkis dalam proyek food estate dan dampaknya terhadap masyarakat adat Papua. Dengan pendekatan kualitatif dan analisis kebijakan publik, artikel ini juga mengungkap bagaimana proyek yang seharusnya meningkatkan kesejahteraan justru memperparah penderitaan masyarakat lokal melalui penggusuran lahan adat, kerusakan lingkungan, dan pelanggaran hak asasi manusia. Studi ini juga membandingkan kebijakan serupa di negara-negara Global South seperti Brasil dan India untuk memberikan perspektif komparatif.
Temuan menunjukkan bahwa tanpa reformasi struktural dan pendekatan partisipatif, PSN berisiko menjadi instrumen eksklusi sosial dan ekologis. Artikel ini juga menawarkan solusi berbasis keadilan ekologis dan sosial sebagai alternatif paradigma pembangunan nasional.
PSN merupakan bagian dari agenda pembangunan jangka panjang Indonesia yang bertujuan mempercepat pertumbuhan ekonomi dan ketahanan pangan nasional. Salah satu proyek yang paling ambisius adalah pengembangan food estate di Merauke, Papua Selatan, yang mencakup lebih dari 2,2 juta hektare lahan. Pemerintah menargetkan pencapaian swasembada pangan dan energi melalui intensifikasi pertanian dan pengembangan bioenergi berbasis tebu. Namun, proyek ini menuai kritik luas dari berbagai kalangan, terutama karena dampaknya terhadap masyarakat adat dan lingkungan.
Kunjungan Presiden Prabowo Subianto ke Desa Wanam pada 3 November 2024 menandai komitmen pemerintah terhadap proyek ini. Namun, di balik retorika pembangunan, terdapat realitas eksklusi dan marginalisasi yang dialami oleh masyarakat adat Papua. Keterlibatan perusahaan besar seperti Jhonlin Group, KPN Corporation, dan First Resources menunjukkan adanya konsolidasi kekuasaan ekonomi oleh oligarki yang memiliki akses langsung terhadap kebijakan negara. Hal ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah PSN benar-benar dirancang untuk kepentingan rakyat, ataukah menjadi alat akumulasi kapital oleh elite ekonomi-politik?
Proyek food estate di Papua Selatan merupakan bagian dari strategi besar pemerintah untuk mengatasi ketergantungan impor pangan dan meningkatkan produktivitas pertanian nasional. Pemerintah mempromosikan penggunaan teknologi pertanian modern, seperti dolomit untuk meningkatkan kesuburan tanah, serta pembangunan infrastruktur pendukung seperti jalan sepanjang 135 km dan dermaga logistik. Selain itu, proyek ini juga mencakup pengembangan bioetanol dari tebu sebagai bagian dari transisi energi nasional. Namun, proyek ini tidak lepas dari kritik. Menurut laporan Komnas HAM (2025), proyek ini telah menyebabkan penggusuran paksa terhadap masyarakat adat, pelanggaran prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC), serta kerusakan ekosistem hutan tropis yang menjadi sumber kehidupan masyarakat lokal.

Jeffrey Winters (2011) dalam Oligarchy menjelaskan bahwa oligarki adalah bentuk kekuasaan di mana kekayaan digunakan untuk mempertahankan kekuasaan politik. Di Indonesia, oligarki muncul dalam bentuk konglomerasi bisnis yang memiliki kedekatan dengan elite politik. Dalam konteks PSN, perusahaan-perusahaan besar yang terlibat dalam proyek food estate memiliki rekam jejak panjang dalam eksploitasi sumber daya alam dan pelanggaran hak asasi manusia.
Investigasi Komnas HAM (2025) menemukan bahwa proyek food estate di Merauke telah melanggar hak-hak masyarakat adat, termasuk hak atas tanah ulayat dan hak untuk memberikan persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan (FPIC). Masyarakat adat Malind, yang selama ini menggantungkan hidup pada hutan dan sistem pertanian tradisional, kehilangan akses terhadap sumber daya alam mereka. Proses konsultasi publik yang dilakukan pemerintah pun dinilai tidak transparan dan manipulatif.
Data Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) pada 2024 menunjukkan, proyek ini menyebabkan deforestasi lebih dari 150.000 hektare hutan tropis dalam dua tahun terakhir. Deforestasi ini meningkatkan emisi karbon dan mengancam keanekaragaman hayati Papua yang merupakan salah satu terkaya di dunia.
Analisis terhadap struktur kepemilikan perusahaan menunjukkan bahwa tiga perusahaan utama yang terlibat dalam proyek ini memiliki hubungan langsung dengan elite politik nasional. Misalnya, Jhonlin Group diketahui memiliki afiliasi dengan tokoh politik nasional yang memiliki pengaruh dalam perumusan kebijakan PSN. Hal ini menimbulkan konflik kepentingan dan memperkuat dominasi oligarki dalam kebijakan publik.
Jhonlin Group merupakan salah satu konglomerasi besar di Indonesia yang bergerak di berbagai sektor strategis, termasuk pertambangan, perkebunan, energi, dan logistik. Perusahaan ini didirikan oleh Haji Isam (Andi Syamsuddin Arsyad), seorang pengusaha asal Kalimantan Selatan yang dikenal memiliki kedekatan dengan sejumlah tokoh politik nasional. Afiliasi Jhonlin Group dengan elite politik dapat ditelusuri melalui beberapa indikator berikut:
Haji Isam diketahui memiliki hubungan dekat dengan sejumlah tokoh politik, termasuk mantan pejabat tinggi militer dan partai politik besar. Dalam laporan investigasi Tempo (2021), disebutkan bahwa Haji Isam memiliki akses langsung ke lingkaran kekuasaan, termasuk keterlibatan dalam pendanaan kampanye politik dan pengaruh dalam penunjukan pejabat daerah di Kalimantan Selatan. Kedekatan ini memberikan leverage politik yang signifikan bagi Jhonlin Group dalam mengakses proyek-proyek strategis pemerintah.
“Kedekatan antara Haji Isam dan elite politik telah memungkinkan Jhonlin Group untuk mendapatkan konsesi lahan dan proyek strategis tanpa melalui proses tender terbuka yang transparan,” sebut laporan Tempo, 2021.
Jhonlin Group terlibat dalam proyek pembangunan infrastruktur strategis seperti pelabuhan, jalan, dan kawasan industri yang merupakan bagian dari PSN. Di Papua Selatan, perusahaan ini disebut-sebut sebagai salah satu aktor utama dalam pengembangan food estate, khususnya dalam penyediaan logistik dan pengelolaan lahan pertanian skala besar.
Menurut laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) pada 2023, terdapat indikasi konflik kepentingan dalam penunjukan Jhonlin Group sebagai mitra strategis pemerintah dalam proyek food estate. Hal ini diperkuat oleh fakta bahwa beberapa pejabat yang terlibat dalam perumusan kebijakan PSN memiliki latar belakang atau afiliasi dengan perusahaan tersebut.
Salah satu indikasi kuat adanya afiliasi politik adalah perlindungan hukum terhadap perusahaan, meskipun terdapat pelanggaran lingkungan dan konflik agraria. Dalam kasus kebakaran hutan yang melibatkan anak perusahaan Jhonlin Group pada 2019, proses hukum berjalan lambat dan tidak menghasilkan sanksi signifikan (WALHI, 2020). Ini menunjukkan adanya kekuatan politik yang melindungi kepentingan korporasi dari akuntabilitas publik.