Demokrasi yang berlaku hari ini, demokrasi perwakilan (representative democracy), punya kelemahan.
Ketika representasi diharapkan bisa menghadirkan suara warga negara, opini, perspektif, dan kehendaknya dalam proses pengambilan kebijakan publik, kenyataan kadang bertolak belakang.
Para wakil itu kadang hanya menjadi representasi bagi kepentingan segelintir orang. Alih-alih berdiri untuk konstituennya, perwakilan itu justru menjadi penyambung lidah kepentingan bisnis besar.
Di berbagai belahan dunia muncul kekecewaan terhadap model representasi ini. Dalam “Democracy Perception Index 2022”, yang disusun oleh Latana dan Alliance of Democracies, dari 53 negara yang disurvei, rata-rata 49 persen responden menyebut pemerintah dan parlemen hanya melayani segelintir orang.
Di Indonesia, berbagai survei selalu menempatkan DPR sebagai lembaga paling tidak dipercaya.
Di banyak negara, demi mengatasi kemacetan demokrasi perwakilan, ada upaya untuk membuka ruang bagi partisipasi langsung (demokrasi langsung). Salah satu bentuknya: referendum.
Apa itu referendum?
Referendum adalah pemungutan suara rakyat, baik sifatnya mengikat maupun tidak mengikat, terhadap isu politik tertentu, perubahan konstitusi, maupun UU.
Pertanyaan referendum biasanya hanya dua: Ya (Yes) atau Tidak (No). Referendum bisa dilakukan dengan pemilihan umum, jajak pendapat, maupun pemungutan suara lewat pos.
Secara etimologi, kata referendum berasal dari bahasa latin, referre, yang berarti “membawa kembali” atau “menghadirkan langsung”.
Menariknya, kendati berasal dari bahasa Latin, tetapi praktik pertama referendum justru terjadi di Swiss. Itu terjadi di abad ke-13 (versi lain abad ke-16). Saat itu, seluruh warga laki-laki berkumpul untuk memutuskan suatu masalah dengan mengangkat tangan.
Pada 1848, Swiss modern menyelenggarakan referendum resmi pertama untuk meminta persetujuan rakyat terhadap amandemen konstitusi.
Di Indonesia, referendum diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1985 tentang Referendum. Namun, referendum dalam UU ini hanya soal persetujuan rakyat (setuju atau tidak) terhadap inisiatif MPR untuk mengubah UUD 1945.
Pada 1999, atas inisiatif pemerintahan Habibie dan konsultasi dengan PBB, Indonesia menyelenggarakan referendum di Timor-Timur. Hasilnya: 78,50 persen warga Timor-Timor menolak otonomi khusus dalam bingkai NKRI. Konsekuensi referendum itu adalah pemisahan Timor-Timur dari Indonesia (sekarang menjadi negara merdeka: Timor Leste).
Jenis-jenis referendum
Referendum Wajib adalah pemungutan suara rakyat secara langsung karena situasi yang mendesak/ mengharuskan atau ketentuan yang mengikat (mandat konstitusi), seperti perubahan konstitusi, pernyataan perang, atau isu-isu yang sangat mendesak lainnya.
Referendum Opsional/Tidak Wajib adalah pemungutan suara rakyat secara langsung berdasarkan usulan badan-badan pemerintah (eksekutif dan legislatif) atau warga negara. Contoh referendum opsional adalah referendum terkait UU, terkait isu tertentu, dan recall/penarikan pejabat tertentu.
Siapa yang memutuskan referendum?
Pelaksanaan referendum bisa berdasarkan inisiatif warga negara atau pemerintah.
Jika referendum berdasarkan inisiatif warga negara, maka biasanya ada persyaratan dukungan (persentase dukungan berbentuk tandatangan dari warga yang terdaftar sebagai pemilih).
Jika referendum berdasarkan inisiatif lembaga negara (eksekutif atau legislatif) biasanya bersifat wajib dan opsional. Di Denmark, sepertiga anggota parlemen berhak mengajukan referendum terkait sebuah UU yang sudah diputuskan. Referendum berdasarkan inisiatif pemerintah juga bisa bersifat konsultatif, yang sifatnya meminta pendapat rakyat terhadap isu atau kebijakan tertentu.
Manfaat referendum
Pertama, referendum bermanfaat untuk memperkuat partisipasi rakyat dalam mendiskusikan, merumuskan, dan menetapkan kebijakan politik secara langsung.
Kedua, kebijakan politik yang diputuskan lewat referendum punya legitimasi politik lebih kuat. Sebab, keputusan diambil berdasarkan suara langsung dari rakyat.
Ketiga, referendum bisa memperkuat suara rakyat pada isu-isu politik maupun kepentingan publik yang sifatnya luas dan strategis.
Keempat, referendum merupakan bentuk konkret dari prinsip kedaulatan rakyat. Ini bentuk konkret vox populi, vox dei (suara rakyat adalah suara Tuhan).
Kelima, referendum bisa mencegah otoritarianisme dan praktik politik oligarkis.
Namun, ada juga kritik terhadap referendum, seperti bias populisme: pemimpin demagog memanfaatkan suara untuk memberi legitimasi pada keputusan atau kebijakan politiknya, seperti tindakan politisi konservatif dan ultra-kanan dalam referendum Brexit di Inggris.
Swiss: surganya referendum
Swiss merupakan negara pertama di dunia yang mengadopsi referendum lewat konstitusinya.
Sejak 1848, Swiss sudah menyelenggarakan 300-an (versi lain menyebut: 600-an) referendum, baik wajib maupun opsional. Di Swiss, referendum bisa dilakukan di tingkat federal, kanton, maupun kota.
Di Swiss, warga negara bisa menggugat atau menolak setiap UU yang diputuskan parlemen. Sifatnya referendum opsional. Syaratnya pun sederhana: hanya membutuhkan 50.000 tanda tangan pemilih dan didaftarkan ke otoritas federal paling lambat 100 hari setelah keluarnya UU tersebut.