Sritex, Kapitalisme Kroni, dan PRD

Hari itu, 11 Desember 1995, sekitar 14 ribu buruh PT Sritex menggelar aksi demonstrasi sekaligus mogok kerja. Aksi itu digalang oleh aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD), Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI), dan Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID).

Saat itu, meskipun sayap bisnis Sritex mulai mendominasi sektor garmen, kehidupan buruhnya terjepit dalam nestapa kemiskinan. Mereka hanya diupah Rp 1600/hari, jauh dari UMP Jawa Tengah yang ditetapkan Rp 2600/hari.

Konon, aksi itu merupakan aksi demonstrasi buruh terbesar dalam sejarah Orde Baru. Sayang sekali, kekuasaan yang tak mau mendengar dan lebih memihak pengusaha memilih menindas aksi demonstrasi itu. 

Aktivis PRD ditangkap dan dipukuli. Salah satu korbannya adalah Wiji Thukul, penyair yang hilang di masa Orde Baru. Ia tak hanya mendapat pukulan, tendangan sepatu bot, dan hantaman rotan, matanya juga terkena popor senapan.

Berjaya di Masa Orba

Kisah Sritex bermula dari usaha kecil bernama UD Sri Redjeki di Pasar Klewer, Solo, Jawa Tengah, pada 1966. Pemiliknya seorang Tionghoa bernama H.M. Lukminto.

Pada 1968, bisnis Sri Redjeki mulai merangkak naik. Pabrik pertama berdiri di Sukoharjo, yang mulai memproduksi kain kelantang dan celup. Lalu, 14 tahun kemudian, Sritex mulai mendirikan pabrik pemintalan yang menjadi fondasi untuk memperluas produksi tekstil.

Sayap bisnisnya berkembang pesat. Salah satu penyebabnya, H.M Lukminto punya jejaring ke dalam kekuasaan. Ia teman kecil salah satu orang penting di kekuasaan: Harmoko. Di tahun 1970-an dan 1980-an, politik Harmoko mulai bersinar. Mantan wartawan ini terpilih sebagai anggota DPR pada 1977 dan Menteri Penerangan pada 1983.

Pada 1992, ketika Sritex mulai menjelma sebagai pemain garmen yang penting. Pabriknya, yang mulai mengerjakan pemintalan, penenunan, hingga diproses menjadi pakaian jadi, diresmikan oleh Presiden Soeharto.

Karena kedekatan dengan penguasa, Sritex mulai mendapat proyek mengerjakan baju militer, kepolisian, Korpri, hingga atribut partai Golkar. Berkat relasi politik itu, sayap bisnisnya merambah ke luar negeri. Pada 1994, Sritex menjadi salah satu produsen seragam militer untuk Organisasi Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) dan Tentara Jerman.

Tahun 1999-1998, ketika krisis ekonomi yang melilit, bahkan menjungkalkan rezim Soeharto, Sritex tetap bertahan. Rezim berganti, tetapi topangan politiknya tetap kokoh. 

Pada 2020, saat negeri ini terperangkap dalam krisis kesehatan dan ekonomi akibat pandemi covid-19, perusahaan ini mendapat proyek pengadaan goodie bag untuk bantuan sosial covid-19 dari Kementerian Sosial. Belakangan, proyek bansos ini bermasalah dan Menteri Sosial saat itu divonis penjara 12 tahun karena terbukti menerima suap.

Kapitalisme Kroni

Kasus Sritex adalah bukti historis dari fenomena ekonomi yang lazim di masa Orba: kapitalisme kroni (Crony capitalism).

Kapitalisme kroni merujuk pada model akumulasi keuntungan yang bersandar pada fasilitas atau dukungan dari penguasa atau pemimpin politik. 

Secara harfiah, kroni berarti teman dekat atau sahabat karib. Ini sindiran untuk konglomerat yang berhasil menumpuk kekayaan melalui kolaborasi atau hubungan dekat dengan pejabat pemerintahan.

Jejak langkah bisnis Sritex, dari kios kecil hingga menjadi raja tekstil Indonesia, tak lepas dari dukungan politik. Bos Sritex adalah teman masa kecil Harmoko, orang penting dan berpengaruh di masa Orba. Menurut George Aditjondro (2000), adik laki-laki Harmoko, Noor Slamet Asmoprawiro, punya peranan dalam anak-anak perusahaan Sritex.

Masih menurut Aditjondro, pemilik Sritex bahkan punya kedekatan Ibu Tien Soeharto dan anak perempuannya, Siti Hardijanti Rukmana. Tidak heran, pada 1992, saat meresmikan pabriknya, Soeharto menyempatkan waktu untuk datang. Lewat Tutut, yang saat itu memimpin Yayasan Tiara, Sritex merekrut puluhan pemuda Timor Leste sebagai tenaga kerja.

Kebanyakan tenaga kerja asal Timor Leste itu adalah perempuan. Mereka digaji Rp 44.490 per bulan pada 1994, angka itu di bawah standar upah minimum regional Jawa Tengah yang sebesar Rp 48 ribu per bulan.

Memang, ketika krisis ekonomi 1997/1998 datang melilit, Sritex mampu bertahan. Bahkan, pada 2001, perusahaan ini berhasil melipatgandakan pertumbuhannya 8 kali lipat dibanding tahun 1992. 

Namun, sejak pandemi covid-19 dan berlanjut saat meletup konflik Rusia-Ukraina yang mengganggu rantai pasok, Sritex mulai sempoyongan. Situasi diperburuk oleh over-supply tekstil dari Tiongkok dan kebijakan relaksasi impor, yang membuat raksasa Orba ini tersungkur.

Relaksasi impor membuat negeri ini dibanjir produk tekstil impor, baik legal maupun ilegal. Situasi ini yang membuat industri tekstil tanah air menjerit. Tanpa proteksi, industri tekstil tanah air kalah bersaing.

Kalah bersaing ini disumbang beragam faktor. Dari sisi harga, industri tekstil dalam negeri dibebani oleh ekonomi biaya tinggi (korupsi dan pungli), tingginya tarif dasar listrik (TDL), dan faktor teknologi yang kurang efisien. Semua itu membuat biaya produksi tekstil dalam negeri lebih mahal.

Namun, ada faktor yang lebih penting: ketergantungan terhadap bahan baku impor. Pada 2021, tingkat ketergantungan industri TPT terhadap impor bahan baku maupun penolong masih mencapai 82,3 persen. 

Penyebabnya, sejak Orde Baru hingga sekarang, kita banyak bergantung pada ekstraktivisme. Tidak ada proses hilirisasi, yang memungkinkan SDA diubah menjadi bahan baku yang dibutuhkan oleh industri dalam negeri.

Dan yang terpenting, sebagian besar industri yang tumbuh dan berjaya di masa Orba tidak terlepas dari jebakan kapitalisme kroni. Mereka menjadi besar dan ekspansif karena topangan struktur kekuasaan politik, bukan karena efisiensi dan inovasi. Masalahnya, ketika topangan  politik itu amblas atau ada dorongan untuk liberalisasi perdagangan, maka industri ini sangat rapuh dan kurang kompetitif.

Menyelamatkan Industri Tekstil

Industri TPT, yang menjadi tumpuan penghidupan pada sekitar 3 juta pekerja atau 15,7 persen dari total pekerja sektor manufaktur, harus diselamatkan. Tidak hanya menyelamatkan Sritex.

Namun, model penyelamatannya tak bisa seperti sinterklas: memberi dana talangan (bailout). Namun, lebih penting dari itu, negara harus menata ulang peta jalan industrialisasi nasional, termasuk sektor TPT.

Selain memperkuat hilirisasi untuk tumpuan industrialisasi sekaligus mengurangi ketergantungan terhadap impor bahan baku/penolong, negara perlu mengencangkan ikat pinggang pelaku industri dengan menekan ekonomi biaya tinggi dan biaya tarif listrik. 

Negara juga perlu mempermudah integrasi rantai pasok industri TPT. Tak kalah penting, negara memberikan dukungan teknologi, kemudahan mengakses kredit, dan pengembangan sumber daya manusia (SDM). Industri tekstil tanah air harus bisa bangkit lewat efisiensi dan inovasi, bukan lagi menyusu pada kapitalisme kroni.

Dan terakhir, sebagai industri padat karya, industri TPT perlu didukung oleh hubungan industrial yang manusiawi, agar praktek eksploitasi seperti yang pernah diprotes aktivis PRD sekitar 29 tahun lalu, tidak terulang lagi.

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Prev
Dampak Luas Jatuhnya Rezim Bashar al-Assad

Dampak Luas Jatuhnya Rezim Bashar al-Assad

Kejatuhan cepat dan tak terduga Ibu Kota Suriah, Damaskus ke tangan pasukan

Next
Evolusi Sepatu Aktivis, dari Boots hingga Sneakers

Evolusi Sepatu Aktivis, dari Boots hingga Sneakers

Sepatu yang dipakai para aktivis bukan sekadar soal gaya, tetapi juga terkait

You May Also Like
Total
0
Share