Awal abad ke-20, ketika perjuangan kaum perempuan untuk hak pilih mulai terorganisasi dengan baik, muncul gerakan masyhur di kala itu. Khalayak ramai menyebutnya suffragette.
Untuk diketahui, suffragette ada kaitannya dengan kata “suffrage”, yang berarti hak pilih. Suffragette merujuk pada gerakan perempuan di awal abad ke-20 yang memperjuangkan hak pilih bagi kaum perempuan.
Sampai abad ke-18, ketika sebagian besar kekuasaan feodal di Eropa tersapu oleh revolusi borjuis dan menghasilkan demokrasi berbasis hak pilih bagi setiap orang (one man, one vote), kaum perempuan masih belum diakui hak pilihnya.
Betul, semua orang dilahirkan sama namun hak politiknya masih dibedakan. Hal inilah yang mendasari kaum perempuan mendesakkan hak pilih sejak pertengahan abad ke-18. Awalnya dengan tulisan-tulisan, hingga muncul para penulis yang membela hak pilih perempuan, seperti Olympe de Gouges (1748-1793), Mary Wollstonecraft (1759-1797), Jeremy Bentham (1748-1832), dan John Stuart Mill (1806-1873).
Di Inggris, pada 1865, kaum perempuan mulai mengorganisasikan diri hingga melahirkan perkumpulan diskusi: Kensington Society. Kelompok diskusi inilah yang menyokong perjuangan John Stuart Mill untuk mendorong Undang-Undang Reformasi 1867 agar mengakui hak pilih perempuan. Sayang, saat voting di parlemen, Mill dan gerakan perempuan kalah.
Namun, kekalahan itu justru memicu gerakan perempuan untuk mendirikan organisasi. Dari sini, lahir National Society for Women’s Suffrage (NSWS) di sejumlah kota di Inggris, seperti London dan Manchester.
Di AS, kampanye hak pilih perempuan mulai menggeliat jelang pecahnya perang saudara (1861-1865). Pada Juli 1848, Elizabeth Cady Stanton dan Lucretia Mott berhasil menggelar sebuah pertemuan di Seneca Falls. Pertemuan yang dalam sejarah disebut Konvensi Seneca Falls itu dihadiri 300-an orang.
Konvensi ini menghasilkan 11 resolusi yang menuntut kesetaraan laki-laki dan perempuan, termasuk hak yang sama untuk menempati jabatan-jabatan publik dan hak pilih dalam pemilu.
Yang menarik, gerakan perempuan di AS bergandengan dengan kaum abolisionis dalam memperjuangkan hak pilih bagi kaum perempuan.
Perkumpulan atau gerakan perempuan yang berkampanye tentang hak pilih ini, yang muncul dalam rentang waktu akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, disebut “suffragist”.
Beda suffragist dan suffragette
Suffragist merujuk pada gerakan perempuan yang memperjuangkan hak pilih perempuan lewat perjuangan damai, konstitusional, dan non-kekerasan. Mereka percaya bahwa perjuangan damai akan mendatangkan perubahan konstitusional.
Dalam perjuangannya, mereka mengedepankan lobi, petisi, pamflet, poster, dan rapat umum. Sebagian besar pengikut gerakan ini adalah perempuan kelas menengah dan pemilik aset.
Di Inggris, kaum suffragist merujuk pada Perhimpunan Nasional Masyarakat Hak Pilih Perempuan atau National Union of Women’s Suffrage Societies (NUWSS). Organisasi yang berdiri pada 1897 ini dipimpin oleh seorang aktivis perempuan bernama Millicent Garrett Fawcett.
Dalam perjuangannya, Millicent percaya bahwa organisasi yang tampak bijak, cerdas, dan taat hukum akan memenangkan rasa hormat dan mendapat dukungan dari parlemen.
Namun, setelah enam tahun perjuangan NUWSS dengan jalan damainya, tak banyak perubahan terkait hak pilih perempuan di Inggris. Hampir semua rancangan undang-undang yang diperjuangkan kaum suffragist tak mendapat respons serius dari parlemen.
Saat itu, banyak aktivis NUWSS atau suffragist yang mulai patah arang dengan perjuangan jalan damai. Mereka pun mulai melirik jalan radikal.
Pada 1903, Emmeline Pankhurst, yang pernah menjadi bagian dari NUWSS, mulai mendirikan perkumpulan baru dengan metode perjuangan yang juga baru. Namanya, Perhimpunan Sosial dan Politik Perempuan alias Women’s Social and Political Union (WSPU).
Berbeda dengan Millicent, Pankhurst percaya pada perjuangan militan sebagai jalan untuk mengubah keadaan, termasuk memperjuangkan hak pilih perempuan. Bagi dia, hak pilih perempuan harus direbut, bukan diminta.
Slogan yang diusung oleh Pankhurst dan WPSU sangat militan: tindakan, bukan kata-kata (deeds, not words). Mereka percaya, penggunaan taktik yang lebih keras, seperti melempar jendela kaca, melemparkan molotov, merusak kotak surat, mengganggu pertemuan-pertemuan politik, mogok makan, dan menyela pidato pejabat, akan memberikan tekanan politik untuk memaksa negara mengakui hak pilih perempuan.
“Jadilah militan, masing-masing dengan caramu sendiri. Jika di antara kalian ada yang bisa memecahkan kaca jendela, maka pecahkanlah. Jika di antara kalian ada yang bisa menghancurkan properti tempat sakral, lakukan saja. Kita tidak ada jalan lain selain menentang pemerintahan ini,” kata Pankhurst.
Aksi-aksi militan aktivis WPSU ini mulai membuat tersentak kaum konservatif se-Inggris raya, termasuk media massa. Tahun 1906, sebuah koran di Kota London, Daily Mail, menggunakan istilah “suffragette” untuk menyebut gerakan ini.
Awalnya istilah itu bermaksud mengejek, terutama WPSU dan metode perjuangan militannya. Istilah itu juga untuk memisahkan WPSU dengan perjuangan hak pilih yang lebih damai dan konstitusional di bawah NUWSS.
Di masa itu, akhiran “ette” identik dengan sesuatu yang lebih kecil. Charles E. Hands, wartawan Daily Mail yang pertama kali menggunakan istilah itu, hendak mengejek WPSU dengan taktik militannya sebagai kelompok kecil atau arus kecil dalam perjuangan hak pilih.
Namun, alih-alih tersinggung atau merajuk, aktivis WPSU justru mengakuisisi istilah itu sembari memberi pengertian yang lain. Bagi mereka, akhiran “gette” bisa diartikan sebagai “get” (supraGETte), yang berarti mendapatkan.
“Kita sering mendengar ada perempuan yang bertanya tentang perbedaan suffragist dan suffragette. Dan jawaban kita: kalau kaum suffragist hanya menginginkan hak pilih, sedangkan SuffraGETte berarti hendak mendapatkannya,” jelas Pankhurst.
Awalnya, WPSU punya koran bernama Votes for Women. Namun, pada 1912, para editor Vote for Women dipecat dari WPSU karena menentang strategi pembakaran rumah. Akhirnya, WPSU membuat koran baru yang diberi nama Suffragette.
Sejak itulah, sebutan suffragette melekat kuat pada aktivis WPSU dan metode perjuanganya yang militan.
Salah satu aksi paling militan yang dilakukan aktivis suffragette terjadi pada 1913. Saat itu, Emily Wilding Davison, seorang aktivis suffragette, berusaha menarik perhatian Raja George V ketika tengah menikmati pacuan kuda. Saat pacuan kuda berlangsung, dan kuda-kuda sedang berlari kencang, tiba-tiba Emily berlari ke tengah lintasan sembari berusaha mengibarkan bendera suffragette. Malang, ia tergilas oleh kuda dan meninggal di tempat.
Aksi martir Emily mengejutkan banyak orang. Ribuan orang mengantarkan peti jenazahnya ke tempat peristirahatan terakhir.
Namun, tidak semua aktivis WPSU menyetujui metode aksi langsung dengan kekerasan. Sylvia Pankhurst, salah satu anak perempuan Emmeline Pankhurst, menentang metode tersebut. Baginya, sebuah aksi politik yang luas, yang melibatkan sebanyak-banyaknya kelas pekerja, justru bisa mengubah keadaan.
Belakangan, Sylvia dikeluarkan dari WPSU dan kemudian aktif di gerakan sosialis. Padahal, Sylvia banyak berkontribusi dalam mendorong WPSU menjadi organisasi inklusif, dengan menarik keanggotaan dari perempuan kelas pekerja dan kaum miskin.
Perjuangan hak pilih di Inggris memang menempuh waktu panjang. Baru pada 1918, hak pilih untuk perempuan diakui. Itu pun hanya untuk kategori di atas 30 tahun. Tahun 1925, hak asuh perempuan atas anaknya diakui. Dan, baru tahun 1928, perempuan Inggris mendapatkan hak pilih yang sama dengan laki-laki.