Merdika.Id

Menyajikan analisis dan liputan mendalam terhadap berbagai isu sosial, politik, ekonomi, budaya, maupun internasional. Kami menggunakan sudut pandang yang kritis, jernih, dan berbasis data.

Ingin ikut berkontribusi memperkaya gagasan-gagasan kami, silahkan kirim artikel ke:

Redaksi Merdika.Id

Blueprint

A perfect balance of exhilarating flexiblity and the effortless simplicity of the Code Supply Co. WordPress themes.

The ultimate publishing experience is here.

Anjloknya Kelas Menengah Diperburuk UU Cipta Kerja

Protes kelas menengah (Foto: jentakespictures /iStock/Getty Images)

Belum lama ini, Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut jumlah masyarakat kelas menengah jumlahnya turun sebesar 9,49 juta jiwa, sebagai imbas pandemi Covid-19.

Plt. Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti menuding perekonomian Indonesia sedang menderita fenomena “long Covid”. BPS pun mengimbau kepada pemerintah untuk turut memperkuat daya beli kelas menengah, bukan hanya kelompok miskin. “Bila kelas menengah kuat, maka daya beli masyarakat secara keseluruhan akan kuat,” jelasnya.

Merespons pernyataan BPS tersebut, saya punya beberapa pandangan:

Pertama, pernyataan BPS ini ada benarnya, namun kurang lengkap. Pandemi memang membuat perekonomian negara merosot selama beberapa waktu, namun banyak negara yang tingkat daya beli masyarakatnya telah kembali pasca pandemi Covid.

Sebagai contoh adalah di negara dengan tingkat keparahan Covid yang tinggi seperti di Vietnam, Tiongkok, dan Amerika Serikat, di mana di ketiga negara tersebut pertumbuhan indeks GDP riil telah kembali ke trek pra Covid. Sementara untuk indikator yang sama, pertumbuhan indeks GDP rill di Indonesia tidak pernah kembali ke trek pertumbuhan pra Covid.

Ekonom Arief Anshori Yusuf (https://x.com/anshory72) membuat sejumlah grafik untuk yang menggambarkan situasi tersebut. Dari situ terlihat dari keempat negara hanya Indonesia yang terlalu lama keluar dari jalur pertumbuhan ekonominya.

Sumber grafik: https://x.com/anshory72

Kedua, hal yang membuat Indonesia mengalami fenomena “long covid”, susah kembali kepada trek, adalah kebijakan pemerintah sendiri yang menyebabkan jatuhnya upah riil pekerja. Kebijakan tersebut adalah UU Cipta Kerja (UUCK), dan turunannya seperti PP 36 Tahun 2021, yang mengatur kenaikan upah minimum hanya 1,09 persen.

Jadi pada saat bisnis dan perekonomian tumbuh 4-5 persen, upah minimum hanya diizinkan naik 1,09 persen. Itu pun masih dipotong inflasi 5,5 persen tahun 2022 dan 2,6 persen tahun 2023. Akibatnya, upah riil menjadi turun di zona negatif sepanjang tahun-tahun pasca Covid. Sementara ekonomi terus bertumbuh dan terjadi decoupling antara perekonomian makro dan situasi ekonomi riil di masyarakat.

Gambaran situasi tersebut sesuai dengan grafik yang dibuat ekonom Arief Anshori Yusuf berikut:

Sumber grafik: https://x.com/anshory72

Ketiga, turunnya upah riil akan menekan daya beli kelas menengah, di mana kelas pekerja juga merupakan bagiannya. Bila daya beli masyarakat menurun, maka industri terpaksa juga harus mengurangi kapasitas produksinya. Akibatnya terjadi berbagai PHK massal seperti yang kita saksikan belakangan ini.

Karena itu, pemerintahan Prabowo ke depan dapat mempertimbangkan untuk membatalkan Undang-Undang Cipta Kerja untuk sepenuhnya, karena terbukti telah ikut berkontribusi dalam menyebabkan anjloknya daya beli kelas menengah di Indonesia.

Gede Sandra, Juru Bicara Bidang Ekonomi Partai Buruh

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Prev
154 Tahun Belenggu Domein Verklaring

154 Tahun Belenggu Domein Verklaring

Ada bertumpuk-tumpuk kasus penggusuran paksa warga negara dengan mengatasnamakan

Next
5 Film Biografi Paling Inspiratif

5 Film Biografi Paling Inspiratif

Mengikuti jalan hidup tokoh sejarah, apalagi yang jalan hidupnya penuh liku dan

You May Also Like
Total
0
Share