Sejak perang dunia ke-II, kemajuan ekonomi diukur dengan sebuah alat yang disebut Produk Domestik Bruto (PDB). Bahkan, kemakmuran sebuah negara pun menggunakan takaran yang sama: PDB per kapita.
Sederhananya, PDB adalah keseluruhan nilai barang dan jasa yang dihasilkan dalam ekonomi sebuah negara dalam periode waktu tertentu, biasanya setahun. Ekonomi sebuah negara dikatakan tumbuh apabila nilai PDB-nya bertambah. Begitu juga sebaliknya.
Walhasil, demi mengejar kemajuan ekonomi, pemerintah setiap negara berlomba-lomba mengerek PDB-nya. Namun, seperti dikatakan ekonom peraih Nobel, Joseph Stiglitz, segala daya upaya meningkatkan PDB tidak berarti memastikan kesejahteraan.
Bagaimana sejarah munculnya konsep PDB dan masihkan relevan untuk diterapkan?
Konsep perang
Simon Kuznets, seorang ekonom dan ahli statistik, disebut-sebut sebagai bapak penemu konsep PDB.
Saat itu, tahun 1930-an, sebagai Kepala Biro Nasional Penelitian Ekonomi (National Bureau of Economic Research), dia ditugasi mencari metode menghitung pendapatan nasional.
Saat itu, di tengah cekikan depresi besar (great depression) dan perang, pemerintah butuh pegangan data untuk menilai situasi ekonomi, kapasitas nasional, dan merumuskan kebijakan yang tepat.
Tahun 1940-an, ketika Inggris berperang melawan fasisme Jerman, John Maynard Keynes mengembangkan konsep ini dalam konteks kebutuhan perang: menghitung kapasitas Inggris dalam memobilisasi sumber daya dan daya tahannya dalam perang.
Keynes, yang kala itu bekerja di Departemen Keuangan Inggris, menulis risalah berjudul “How to Pay for the War”. Risalah ini menawarkan strategi kepada Inggris sebuah strategi makro-ekonomi untuk menopang perang jangka panjang melawan Jerman. Dia kemudian mengembangkan konsep PDB ini dengan menghitung konsumsi swasta, investasi, dan belanja pemerintah dalam perhitungan pendapatan nasional.
Namun, jauh sebelum Kuznets dan Keynes, upaya menghitung kapasitas ekonomi nasional dalam menghadapi perang sudah ada presedennya. William Petty, seorang ilmuwan Inggris, sudah merancang hitung-hitungan sumber daya ekonomi dan pendapatan pajak untuk membiayai perang melawan Belanda (1665–1667).
Jadi, terang-benderanglah bahwa PDB adalah produk perang. Dan, itu diakui oleh Kuznets sendiri. “PDB adalah konsep yang dirancang di masa perang untuk melihat kapasitas permintaan dan pasokan ekonomi. Untuk waktu yang lama, kami tahu ini ada kekurangan,” jelas Kuznets seperti dikutip Diane Coyle, penulis buku GDP: a Brief But Affectionate History.
Namun, setelah Konferensi Bretton Woods tahun 1944, konsep PDB mulai diadopsi banyak negara. Terutama sejak IMF dan Bank Dunia menggunakan PDB sebagai alat ukur kemajuan ekonomi sebuah negara.
Bukan ukuran kesehteraan sosial
Sederhananya, PDB adalah nilai moneter dari semua produksi barang dan jasa oleh suatu negara dalam periode waktu tertentu.
Penghitungan PDB hanya pada aktivitas produksi, distribusi, dan konsumsi barang dan jasa yang melibatkan uang. Jadi, jika kamu berproduksi, lalu dikonsumsi sendiri, itu tak masuk hitungan PDB.
Di sinilah letak masalah pertamanya. Ada banyak aktivitas ekonomi yang tak dihitung dalam PDB, seperti kerja tak dibayar (kerja domestik dalam rumah tangga, kerja pengasuhan/perawatan, dan kerja-kerja sosial), kerja yang tak dibayar dengan uang, produksi barang yang tak dijual, pasar gelap, dan aktivitas barter barang dan jasa.
Di negara yang mayoritas perempuannya bekerja gratis sebagai pengurus rumah tangga, tentu PDB-nya menjadi sangat maskulin. Padahal, berdasarkan hitungan Entitas PBB untuk Kesetaraan Gender, kerja domestik dan kerja perawatan tak dibayar berkontribusi antara 10 hingga 39 persen pada PDB[2].
Masalahnya juga, PDB hanya menghitung produksi yang tidak menghasilkan barang-dagangan alias komoditi. Sehingga, produksi untuk kebutuhan sendiri, sekalipun sangat penting, itu tak dihitung.
Jadi, benar apa yang dikatakan aktivis Vandhana Shiva[3]: “pertumbuhan PDB hanya mengukur hutan yang dikonversi menjadi uang tunai. Dan barang milik bersama menjadi komoditi.”
Karena logikanya, produksi apa saja asalkan mendatangkan uang, maka konsep PDB mengabaikan aspek positif dan negatif dari produksi.
Sebagai contoh, produksi dan belanja mobil itu positif bagi PDB, tetapi menghasilkan emisi yang merugikan lingkungan dan kesehatan publik.
Contoh lain, gencarnya investasi ke sektor ekstraktif, seperti perkebunan, menjadi salah satu motor pertumbuhan PDB Indonesia. Tetapi, hampir setiap tahun Indonesia menanggung bencana yang ditimbulkannya, seperti banjir, longsor, dan kabut asap.
Contoh lainnya lagi, apa yang disinggung oleh Karl Marx dalam Capital, sesuatu dikonversi menjadi barang-dagangan boleh jadi karena dua faktor: kebutuhan atau fantasi. Jadi, tak melulu produksi itu berbasis kebutuhan, bisa juga karena fantasi yang dicangkokkan pikiran kita lewat iklan-iklan di media massa.
Nah, ada satu aspek penting lagi yang tak bisa ditangkap oleh PDB: ketimpangan ekonomi. Boleh jadi, sebuah negara dipuja-puji karena PDB-nya yang meroket, tetapi ketimpangan ekonominya juga melebar.
Tidak usah jauh-jauh mencari contoh, negara kita bisa jadi contohnya. Sepanjang 2000–2015, pertumbuhan ekonomi Indonesia sungguh menakjubkan: rata-rata di atas 6 persen per tahun. Namun, dalam rentang waktu yang sama, rasio gini kita juga melebar tajam dari 0,30 menjadi 0,45.
Dan yang terpenting: PDB tak bisa jadi alat ukur kemakmuran. Oke, kita patut berbangga dengan PDB Indonesia yang tembus USD 1 triliun, tetapi ada 25,22 juta rakyat Indonesia yang hidup hanya dengan Rp 582 ribu per bulan (garis kemiskinan).
Merujuk ke laporan Bank Dunia, ada 115 juta orang atau 45 persen dari populasi (aspiring middle class) yang hidup dengan Rp 532 ribu hingga Rp 1,2 juta per bulan. Kemudian, ada 24 persen kelompok rentan (vulnerable) yang hidup dengan Rp 354 ribu-Rp 532 ribu[4].
Jadi, kalau digabungkan semuanya, hampir 80 persen rakyat Indonesia masih “rawan” dengan kemiskinan. Itu pun, standar garis kemiskinannya (poverty line) sangat rendah.
Pengganti PDB
Sejak 1970-an, Buthan, negeri kecil di Asia bagian selatan, sudah berusaha meninggalkan PDB. Mereka kemudian memperkenalkan Indeks Kebahagiaan Nasional (Gross National Happines), yang menghitung banyak aspek penting dalam kehidupan manusia: standar hidup, kesehatan, ekologi, keragaman budaya, dan lain-lain.
Tahun 2008, Presiden Prancis Nicolas Sarkozy menugasi tiga ekonom andal, yaitu Joseph Stiglitz, Amartya Sen, dan Jean-Paul Fitoussi, untuk mencari alat ukur lain yang lebih mencerminkan kesejahteraan manusia[5].
Selandia Baru, di bawah kepemimpinan politisi perempuan progresif, Jacinda Ardern, juga beralih dari PDB ke konsep baru: anggaran kesejahteraan (well-being budget)[6]. Konsep baru ini menekankan ekonomi yang berkelanjutan, pengurangan kemiskinan anak, dan kesehatan mental.
Negara-negara OECD memperkenalkan konsep “Better Life Index”, yang memasukkan soal perumahan, pendapatan, pekerjaan, pendidikan, kesehatan, ekologi, kepuasan hidup, jam kerja, dan partisipasi warga negara.
Kemudian, ada konsep Genuine Progress Indicator (GPI). Konsep ini sebetulnya hanya menyempurnakan konsep PDB, dengan memasukkan biaya sosial dan ekologi yang ditimbulkan oleh aktivitas ekonomi.
Singkat cerita, ada banyak konsep alternatif terhadap PDB ini. Saya kira, bangsa kita bisa merancang sendiri ukuran kemajuan ekonominya, dengan alat ukur yang sesuai dengan cita-cita nasional kita.
Rujukan:
[1]. https://www.statista.com/statistics/1107572/covid-19-value-g20-stimulus-packages-share-gdp/ [2] https://www.unwomen.org/en/news/in-focus/csw61/redistribute-unpaid-work [3] https://www.theguardian.com/commentisfree/2013/nov/01/how-economic-growth-has-become-anti-life [4] https://money.kompas.com/read/2020/01/31/101800826/115-juta-penduduk-ri-mudah-jatuh-miskin-lagi-ini-fakta-faktanya?page=all [5] https://www.france24.com/en/20090914-stiglitz-report-calls-measure-well-being-alongside-growth- [6] https://www.weforum.org/agenda/2019/05/new-zealand-is-publishing-its-first-well-being-budget/
