5 Tokoh Pergerakan Pendidikan Nasional

Nelson Mandela pernah bilang, pendidikan adalah senjata paling ampuh untuk mengubah dunia. Pendidikan bisa mengubah manusia dari manusia terperintah menjadi manusia merdeka.

Di masa kolonialisme, pendidikan menjadi senjata untuk membangkitkan kesadaran bangsa terjajah. Dengan kesadaran itu, lahirlah mimpi membangun bangsa yang merdeka, adil, dan makmur. Saking pentingnya, banyak tokoh pergerakan yang juga berkecimpung dalam gerakan pendidikan.

Berikut 5 tokoh pergerakan yang menggunakan pendidikan sebagai senjata perjuangan.

Ki Hadjar Dewantara

Soewardi Soerjadiningrat atau sering dipanggil Ki Hadjar Dewantara adalah tokoh terpenting dalam gerakan pendidikan di Indonesia.

Perguruan Taman Siswa atau Nationaal Onderwijs Instituut Taman Siswa merupakan sekolah alternatif yang didirikan oleh Soewardi Soerjaningrat atau Ki Hajar Dewantara pada 3 Juli 1922, di Yogyakarta.

Taman Siswa bersifat inklusif. Anak didiknya diajarkan untuk saling menghargai, setara, berdikari, dan berpikir merdeka. Taman Siswa menekankan nilai demokrasi, kemanusiaan, dan nasionalisme.

Selain mendirikan sekolah alternatif, Ki Hadjar Dewantara juga kaya gagasan soal pendidikan dan sangat relevan hingga hari ini. Mulai dari sistem Among, pendidikan yang holistik, Konsep “Tri No” dan “Tri Nga”, merdeka belajar, dan pendidikan untuk semua (pendidikan inklusif).

Kartini

Kartini merupakan manusia bumiputera yang mencetuskan perlunya pendidikan untuk mendorong emansipasi bangsa terjajah agar menjadi manusia merdeka.

Tak sekadar mengumbar gagasan, Kartini bersama adiknya, Roekmini, mendirikan sekolah wanita pada tahun 1903. Yang menarik, sekolah tersebut terbuka kepada siapapun, tanpa memandang status sosial dan kekayaan.

Tan Malaka

Pada 1921, Tan Malaka yang belum lama tiba di Semarang menjadi penggagas berdirinya sekolah alternatif bernama Serikat Islam School/SI School atau Sekolah Ra’jat.

Sekolah ini gratis dan sengaja diperuntukkan untuk rakyat jelata. Selain memberi pengetahuan, sekolah juga memantik kesadaran nasionalisme dan kerakyatan seluruh siswanya.

Dalam menyusun kurikulum SI School, Tan Malaka berpegang pada tiga prinsip. Pertama, memberi pengetahuan dan keterampilan (berhitung, menulis, ilmu bumi, dll) agar siswa punya modal menghadapi dunia kerja. Kedua, pendidikan bergaul, berorganisasi, dan berdemokrasi untuk pengembangan diri dan kepercayaan diri. Ketiga, pendidikan untuk selalu berorientasi ke bawah (kerakyatan).

Dewi Sartika

Dewi Sartika menjadi penggagas berdirinya sekolah untuk perempuan bernama Sakola Istri atau Sakola Kautamaan Istri pada 1904.

Sekolah ini memperjuangkan keadilan gender dalam pendidikan. Sekolah ini memberi pengetahuan membaca, menulis, berhitung, membatik, dan lain-lain. Sekolah ini tidak membedakan antara anak bangsawan dan rakyat jelata.

Waktu pertama kali dibuka, sekolah ini hanya punya 20 murid dan tiga orang pengajar. Namun, setahun kemudian, jumlah siswa meningkat berkali-kali lipat. Pada 1910, bangunan sekolah diperluas untuk menampung tambahan siswa.

Kiai Ahmad Dahlan

Pada 1911, Kiai Haji Ahmad Dahlan mendirikan sekolah alternatif bernama Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah. Sekolah ini kemudian diubah menjadi al-Qism al-Arqa (Qismul Arqa) pada 1918, lalu menjadi Pondok Muhammadiyah pada 1921.

Persyarikatan Muhammadiyah, yang didirikan oleh KH Ahmad Dahlan pada 1912, memayungi sekolah-sekolah yang dibangun oleh Muhammadiyah. Dari 1913 hingga 1918, Muhammadiyah mendirikan lima sekolah, termasuk sekolah menengah dan guru.

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Prev
Wiji Thukul dan Api Perlawanan yang Tak Pernah Padam

Wiji Thukul dan Api Perlawanan yang Tak Pernah Padam

Senin, 26 Agustus 2024, Wiji Thukul berulang tahun ke-61

Next
5 Aktivis Muda yang Mengubah Sampah jadi Karya Seni

5 Aktivis Muda yang Mengubah Sampah jadi Karya Seni

Menurut Greenpeace, sejak 1950-an kehidupan manusia sudah memproduksi lebih dari

You May Also Like
Total
0
Share