“Tri, tulislah karangan, nanti kami muat dalam majalah Fikiran Ra’jat.” Kata-kata itulah yang menggerakkan SK Trimurti untuk menjadi penulis.
Kata-kata itu diucapkan oleh Sukarno, sang Bung Besar yang saat itu memimpin Partai Indonesia (Partindo), di tahun 1933. Trimurti menjawab: “Saya ndak bisa, Mas. Saya belum pernah menulis dalam majalah atau koran. Dan saya memang tidak bisa.”
“Kau bisa,” kata Sukarno berusaha menyakinkan.
Saat itu, Surastri Karma Trimurti, nama panjangnya, baru saja mengundurkan diri sebagai guru di sekolah anak perempuan (Meisjesschool). Ia lebih memilih mengikuti kursus politik yang diselenggarakan oleh Partindo, partai yang didirikan oleh Sukarno dan kawan-kawannya.
Tahun 1930-an, Trimurti adalah satu dari ribuan anak muda yang mulai terpukau dengan gerakan nasionalis radikal, terutama yang dipimpin oleh Sukarno dan kawan-kawan. Ia suka membacai artikel-artikel yang ditulis oleh Sukarno. Juga terpukau oleh pidato-pidatonya.
Suatu hari, di tahun 1933, Partindo menggelar Rapat Umum di Purwekerto, Jawa Tengah. Trimurti mendengar kabar itu. Dengan menumpangi dokar, ia pergi ke Purwokerto untuk menyimak pidato sang tokoh idola. Sayang, gedung tempat Rapat Umum sudah penuh sesak. Ia hanya kebagian tempat duduk paling belakang. Namun, kendati Sukarno berpidato tanpa pengeras suara, suaranya menggelegar dan terdengar ke seluruh ruangan.
“Sepulang dari rapat umum itu, saya merenung. Saat itulah saya tergugah ikut bergabung dengan Partindo,” kenang Trimurti.
Begitu tergabung dengan Partindo, Trimurti kerap dibujuk Sukarno agar menulis di koran Fikiran Ra’jat. Merasa disemangati, dia mulai menekuni teknik menulis. Mulai merangkai kalimat-kalimat. Dari hari ke hari. Menghabiskan banyak kertas.
Usaha Trimurti tidak sia-sia. Artikel yang ditulisnya berhasil tembus di Fikiran Ra’jat. Artikel diterima di media, di media yang dikagumi pula, membuat Trimurti sangat berbahagia.
Sayang, belum lama Trimurti bergabung di Fikiran Ra’jat, Sukarno tertangkap lagi. Korannya dilarang terbit. Trimurti memilih pulang ke kampung halamannya, di Klaten, Jawa Tengah.
Namun, siapa yang bisa membunuh jiwa aktivisme yang sedang mekar. Juga rasa ingin berkontribusi bagi perjuangan membebaskan Ibu pertiwi dari cekikan kolonialisme. Tahun 1935, Trimurti meninggalkan rumahnya, lalu mendirikan majalah Bedoeg. Ia terimpirasi oleh suara bedug Masjid, yang berseru-seru memanggil kaum muslimin untuk beribadah. Dia ingin korannya seperti bedug, berseru-seru kepada seluruh rakyat agar mau berjuang.
Tahun itu juga, lantaran mengunjungi seorang pemimpin Partindo yang baru keluar dari penjara, Trimurti berseteru dengan ayahnya. Dia larang beraktivitas politik. Tak mau tunduk, Trimurti memilih “minggat”.
Tahun 1936, ketika ia bergabung dengan Persatuan Marhaeni Indonesia (PMI) di Jogjakarta, Trimurti menjadi pemimpin redaksi majalah “Soeara Marhaeni”. Sejak itulah, supaya aktivitas politiknya tidak tercium oleh orang tuanya, ia menggunakan nama pena: S.K. Trimurti. Belakangan orang lebih mengenal nama penanya, Trimurti, ketimbang nama aslinya, Surastri.
Selain terkenal tajam dengan goresan penanya, Trimurti juga menjelma menjadi ahli pidato. Ia belajar dari Bung Karno. Pidatonya selalu membakar semangat peserta Rapat Umum. Alhasil, ketika sedang berpidato di sebuah Rapat Umum Wanita, PID datang menghentikannya. Ia diinterogasi panjang lebar. “Pidatomu itu dibikinkan oleh Soekarno, ya?” kata Interogator itu.
Bersama aktivis-aktivis PMI, Trimurti aktif menyembarkan famplet gelap. Famplet yang isinya menyerang kolonialisme Belanda, tetapi disebar dan ditempel secara sembunyi-sembunyi. Tetapi akhirnya ketahuan juga. Trimurti ditangkap dan dipenjara selama 9 bulan.
Keluar dari penjara, Trimurti tidak kapok. Dia bekerja di sebuah percetakan kecil, sembari ikut menerbitkan majalah Suluh Kita. Ia juga bekerja untuk koran lain, namanya Sinar Selatan. Di situlah ia bertemu Sayuti Melik, suaminya kelak.
Suatu hari, lewat Sinar Selatan, Sayuti Melik, yang bekas Digulis itu, menerbitkan artikel. Isinya seruan untuk tidak memihak Belanda maupun Jepang dalam perang yang bakal terjadi. Lantaran tulisan itu, Sayuti Melik diincar Belanda.
Mengingat posisi Sayuti Melik sebagai eks-Digulis, dan tulisannya itu berpotensi mengembalikannya ke Boven Digul, maka Trimurti lah yang maju ke depan untuk mengambil resiko. Dia mendaku sebagai penulis artikel itu. Sebagai bentuk pertanggungjawaban, Trimurti ditangkap.
Memang, gara-gara artikel-artikelnya, Trimurti bolak-balik masuk penjara.
Trimurti paham betul, bahwa jika pihak Belanda mengetahui kalau penulis artikel itu adalah Sayuti Melik, maka dia akan dibuang kembali Boven Digul. Akhirnya, setelah dikonsultasikan dengan Sayuti Melik, Trimurti akhirnya bersedia bertanggung jawab atas artikel itu dan ditangkap.
Memang, lantaran artikel-artikelnya yang kerap menembak langsung kepentingan Belanda, Trimurti bolak-balik masuk penjara.
Bahkan, menjelang kedatangan fasisme Jepang, Trimurti dipenjara bersama anaknya yang masih balita. Meski sering menjadi langganan hotel Prodeo, Trimurti tidak pernah kapok. Ia sadar, itulah konsekuensi dari pilihan politiknya.
Tahun 1943, Trimurti diajak Sukarno masuk ke Putera (Pusat Tenaga Rakyat). Namun, tak lama berdiri, Putera dibubarkan Jepang. Mereka kemudian dipaksa masuk Jawa Hokokai. Trimurti tidak punya banyak pilihan. Sukarno berusaha menyakinkan, “ kereta yang dibuat Jepang itu hanya satu, ya naikilah. Yang penting kita tetap konsisten terhadap cita-cita.” Bagi Trimurti, bergabung dengan Jawa Hokokai bukan berarti kooperatif dengan Jepang. “Tapi justru sebagai taktik dan strategi untuk menggunakan “kereta” itu bagi perjuangan kami,” ujarnya.
Trimurti juga menyaksikan dari dekat detik-detik menuju Proklamasi Kemerdekaan. Tapi tak hanya menyaksikan, Ia bagian dari proses itu sendiri. Ketika Proklamasi 17 Agustus 1945 dibacakan Bung Karno di kediamannya, Pegangsaan Timur 56, Trimurti ditawari untuk menjadi salah satu pengerek bendera Merah-Putih. Namun, ia melimpahkan tawaran itu ke Latief Hendraningrat.
Usai Proklamasi Kemerdekaan, Trimurti menjadi tenaga penting bagi berjalannya roda pemerintahan Republik muda ini. Awalnya, ia menjadi pimpinan pusat Partai Buruh Indonesia (PBI). Ketika Kabinet Amir Sjarifuddin dibentuk, Ia diminta mengisi posisi Menteri Perburuhan. Akhirnya, sejarah mencatat: Trimurti adalah Menteri Perburuhan pertama di republik ini. Semasa menjadi Menteri, ia aktif memperjuangkan UU perburuhan baru sebagai ganti UU perburuhan kolonial.
Ketika Kabinet Amir berakhir di tengah jalan, Trimurti kembali ke Jakarta. Ia aktif mengorganisir gerakan perempuan. Akhirnya, pada tahun 1950-an, bersama sejumlah aktivis perempuan lainnya, Ia mendirikan Gerakan Wanita Indonesia Sedar atau Gerwis. Kelak, Gerwis ini berganti nama menjadi Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia).
Saat itu, semangat menulisnya tak surut. Selain sering menulis di Harian Ra’jat (korannya PKI), Trimurti juga rajin mengisi rubrik Api Kartini, majalahnya Gerwani. Ia menggunakan nama samaran: Mak Ompreng.
Lewat nama samaran itu, Trimurti tidak memberi ampun pada praktek poligami. Ia bahkan berani mengeritik praktek poligami yang dilakukan oleh Sukarno, kawan seperjuangannya.
Nasib, perempuan penentang keras poligami ini harus menerima kenyataan pahit. Suami sekaligus kawan seperjuangannya, Sayuti Melik, ternyata mengkhianati pernikarahan. Trimurti tak berkompromi. Kisah asmara sepasang pejuang ini berakhir pada Juli 1969.
“Perkawinan adalah bentuk dari sebuah kongsi. Hal yang bisa dikerjakan bersama kami kerjakan. Tapi yang tak mungkin dikongsikan tak usah dipaksakan. Meski sudah bersatu dalam perkawinan, tak berarti harus saling menyesuaikan 100 persen, masing-masing harus tetap memiliki kedaulatan. Jika tidak, hilanglah kepribadian kita,” tulis Trimurti di memoarnya.
Di Jaman Orde baru, SK Trimurti berpaling pada gerakan kebatinan. Dia sempat mendirikan sebuah majalah mental-spiritual, Mawas Diri.
Tahun 1980, ketika sejumlah tokoh mulai menggugat otoritarianisme Suharto, Trimurti itu di dalamnya: gerakan Petisi 50.
Di tengah perayaan kebangkitan nasional, tepatnya 20 Mei 2008, dia meninggal pada pukul 18.30 WIB di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto, Jakarta Pusat.