7 Kaitan antara AI dan Ketidaksetaraan

Big Tech sering menjual mimpi bahwa kecerdasan buatan (AI) adalah teknologi canggih yang akan membawa kita ke dunia yang lebih makmur. Tapi di balik semua tampilan halus itu, ada kenyataan pahit: banyak pekerja di seluruh dunia yang bekerja keras di balik layar, bahkan sering dalam kondisi yang memprihatinkan untuk menjalankan sistem ini.

Buku baru saya, Feeding the Machine: The Hidden Human Labour Powering AI, yang saya tulis bersama Mark Graham dan Callum Cant, mengungkap realita di balik AI ini. Berikut tujuh poin penting yang diangkat dalam buku ini terkait AI dengan ketidaksetaraan.

  • AI butuh banyak pekerja tersembunyi yang kerja dalam kondisi tidak layak

      Di balik aplikasi canggih dan produk teknologi yang kita gunakan, ada jutaan pekerja di seluruh dunia yang melakukan pekerjaan kasar. Sebagian besar pekerjaan AI bukan dilakukan di lab-lab keren oleh para insinyur, tapi oleh para pekerja di negara-negara berkembang yang mengerjakan hal-hal seperti anotasi data. Mereka bekerja dengan upah murah, kadang cuma USD 1 per jam, dengan kontrak yang tak pasti dan tanpa masa depan karier.

      Ketika membeli produk seperti kopi atau cokelat, kita sering tahu kalau ada rantai pasokan di baliknya yang melibatkan pekerja. Tapi tak banyak yang sadar kalau produk digital kita juga melibatkan banyak tenaga kerja tersembunyi ini.

      • Rantai pasokan AI mirip pola kolonial lama

          Buku ini juga membahas bagaimana AI terhubung dengan sejarah dan pola kolonialisme. Banyak pekerjaan kasar di AI dialihdayakan ke negara-negara bekas jajahan Eropa yang sekarang kesulitan ekonomi dan kurang lapangan kerja. Perusahaan AI di negara-negara Barat memanfaatkan kondisi ini untuk mendapatkan tenaga kerja murah.

          Kolonialisme tak cuma kenangan di dunia AI. Bisa dibilang, kolonialisme sudah jadi bagian dari sistemnya. Pekerjaan di Global South yang dibayar rendah mendukung AI, sementara eksekutif di negara-negara Barat memegang kendali. Bahkan sumber daya alam yang dipakai untuk membuat infrastruktur AI banyak yang berasal dari negara-negara bekas koloni. Output dari AI juga sering memperkuat bias dan stereotip yang merugikan, karena datanya cenderung lebih memihak pada pandangan Barat.

          • AI itu mesin ekstraksi–menyedot kerja keras kita

          Kita sering dengar kalau AI itu meniru kecerdasan manusia. Tapi kalau dilihat dari sisi pekerja dan konsumen, lebih tepat kalau AI disebut sebagai “mesin ekstraksi.” AI tak hanya memanfaatkan kecerdasan manusia, tapi juga tenaga kerja fisik dan intelektual, serta sumber daya alam, untuk menghasilkan keuntungan bagi perusahaan teknologi besar.

          Mesin ini dirancang untuk mengambil input dari manusia–kerja, kecerdasan, dan sumber daya–lalu mengubahnya jadi prediksi untuk produk teknologi baru. Ini menunjukkan kalau AI tidak netral. Sistem ini dibangun oleh orang-orang yang punya kekuasaan, dan didesain untuk memperkuat posisi mereka. Membuat mereka lebih kaya, dan semakin kuat.

          • Generative AI adalah pencurian

          AI tidak hanya butuh tenaga kerja manual seperti annotator data dan moderator konten, tapi juga bergantung pada sesuatu yang kita sebut “privatisasi kecerdasan kolektif.” Nilai dari alat generatif AI berasal dari karya kreatif manusia yang diambil tanpa izin dan kemudian dimonetisasi. Semua buku, lukisan, artikel, dan rekaman yang digunakan untuk melatih model AI generatif sering kali tidak diakui, apalagi dibayar. Tidak ada perhatian sama sekali buat kreator yang karyanya dijadikan bahan untuk membikin tiruan atau pesaing di pasar kreatif.

          Di buku ini, kita menceritakan kisah seorang pengisi suara asal Irlandia yang menemukan kloning suaranya sendiri secara online. Klon itu dibuat tanpa izinnya dan bisa jadi ancaman besar buat mata pencariannya. Perusahaan teknologi memang sudah lama meremehkan nilai karya seniman, tapi dengan AI, skala pencurian ini jadi jauh lebih besar dan lebih mudah. Generatif AI memungkinkan perusahaan teknologi mencuri nilai dan bakat dari seluruh komunitas kreatif tanpa ada perlindungan hukum yang memadai.

          • Komersialisasi AI menciptakan konglomerat “Big AI” baru

          Kita perlu mulai ngomongin soal “Big AI,” bukan cuma “Big Tech”. Komersialisasi AI membuat kekuasaan semakin terpusat di beberapa perusahaan teknologi besar Amerika. Kalau kita lihat, investor besar di startup AI kebanyakan adalah perusahaan teknologi lama yang mau tetap dianggap pemimpin dalam balapan AI. Ini bakal membuat persaingan makin sempit, dan keputusan di dunia AI hanya dipegang segelintir elite Silicon Valley.

          Perusahaan Big AI ini termasuk penyedia cloud computing besar kayak Microsoft, Amazon, dan Alphabet, ditambah startup AI kayak OpenAI, Anthropic, dan Mistral, serta produsen chip kayak Nvidia dan TSMC. Mereka melihat AI sebagai produk komersial yang harus dirahasiakan dan dipakai untuk menghasilkan keuntungan. OpenAI awalnya didirikan untuk mengembangkan kecerdasan buatan yang bermanfaat buat umat manusia, tapi kenyataannya jauh dari itu: miliaran investasi dari Microsoft, bekerja sama dengan militer AS, melatih data memakai karya berhak cipta, bahkan meniru suara Scarlett Johansson tanpa izin. Hanya ada beberapa perusahaan yang punya kekuatan infrastruktur untuk melatih model AI, dan mereka inilah yang bakal paling diuntungkan dari revolusi AI.

          • Generatif AI adalah bencana lingkungan

          Pada 2019-2020, semua perusahaan teknologi besar berjanji untuk memangkas emisi mereka secara dramatis, dengan tujuan jadi netral atau negatif karbon di 2030. Lima tahun berlalu, janji ini makin terasa kosong. Emisi Microsoft naik 30 persen, dan Google hampir 50 persen, karena investasi besar-besaran di pusat data seiring dengan ledakan AI yang mendorong emisi gas rumah kaca.

          Tidak heran, sih. Permintaan listrik untuk pusat data global diprediksi akan melonjak dua kali lipat pada 2026. Satu pusat data besar mengonsumsi listrik sebanyak 80 ribu rumah tangga di AS. Bahkan, cloud computing punya jejak emisi lebih besar daripada seluruh industri penerbangan. Masalahnya juga sama dengan air: satu pusat data besar bisa mengonsumsi antara 10 sampai 20 juta liter air per hari, sama dengan kebutuhan kota berpenduduk 50 ribu orang. Inisiatif yang memanfaatkan AI untuk mengurangi emisi mungkin tidak bisa mengimbangi masalah ini, terutama kalau di sisi lain AI juga digunakan oleh perusahaan minyak dan gas untuk mengekstraksi lebih banyak bahan bakar fosil.

          • Mengatasi ketidaksetaraan yang dihasilkan Big AI butuh aksi politik bersama

          Perubahan cuma bisa terjadi kalau kita bareng-bareng memaksa perusahaan teknologi ini mengubah cara mereka beroperasi. Sejarah sudah membuktikan, kelompok sosial yang berkuasa tidak akan menyerahkan posisinya kecuali mereka dipaksa lewat perjuangan politik. Strategi utama yang kita dorong di buku ini adalah supaya orang-orang bersatu lewat organisasi pekerja dan masyarakat sipil untuk membangun kekuatan kolektif dan menekan perusahaan teknologi supaya menyediakan kondisi yang lebih baik dan memperbaiki hidup para pekerjanya.

          Ada banyak hal yang bisa kita lakukan buat ikut serta dalam perjuangan ini. Tapi dengan bekerja sama dan mendukung perjuangan para pekerja di rantai pasokan AI, kita bisa membuat perubahan besar. Transformasi sosial yang nyata kemungkinan besar terjadi lewat pergeseran mendasar dalam keseimbangan kekuasaan antara kelompok-kelompok sosial.

          Meskipun ada kebijakan spesifik yang kita bahas dalam buku ini, poin utamanya adalah bahwa masalah ini disebabkan oleh kekuasaan yang tidak seimbang dari perusahaan teknologi besar, dan pekerja harus membangun kekuatan mereka sendiri untuk melawan ini. Hanya dengan membayangkan ulang bagaimana AI diproduksi, kita bisa menjadikannya teknologi yang lebih membebaskan dan berguna buat kemanusiaan.

          James Muldoon, Pembaca dalam Manajemen di Universitas Essex, Peneliti Asosiasi di Universitas Oxford, dan Kepala Riset Digital di lembaga pemikir Autonomy. Penelitiannya mengkaji bagaimana teknologi modern seperti kecerdasan buatan dan platform digital dapat menciptakan nilai publik dan melayani kepentingan bersama.


          Diterjemahkan oleh Raymond Samuel dari https://blogs.lse.ac.uk/

          Total
          0
          Shares
          Tinggalkan Balasan

          Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

          Prev
          Jejak Aktivisme dan Perjuangan Sujatin Kartowijono

          Jejak Aktivisme dan Perjuangan Sujatin Kartowijono

          Tahun 1920-an, api pemikiran Kartini membakar semangat seorang remaja perempuan

          Next
          Dukung Timnas Indonesia, Kawan 98 dan Jaga Suara Nobar di 50 Titik di Jakarta

          Dukung Timnas Indonesia, Kawan 98 dan Jaga Suara Nobar di 50 Titik di Jakarta

          Tim Nasional (Timnas) Indonesia sedang berjuang agar bisa tampil di pentas Piala

          Total
          0
          Share