Membayangkan pelantikan Pejabat Negara, apalagi sekelas Presiden, yang terlintas di benak kita adalah pesta besar. Tetapi tidak dengan pengangkatan Sukarno sebagai Presiden Republik Indonesia.
Hari itu, 18 Agustus 1945, sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) menggelar Sidang. Selain mengesahkan UUD 1945, Sidang ini juga menunjuk dan mengangkap Presiden dan Wakilnya.
Hari itu, salah seorang anggota PPKI, Otto Iskandardinata, menjadi pengusul Sukarno sebagai Presiden RI. Tanpa berlama-lama, usulan Otto itu disetujui anggota Sidang. Akhirnya, Sukarno terpilih sebagai Presiden dengan aklamasi.
Otto juga yang menjadi pengusul agar Hatta dipilih sebagai Wakil Presiden. Sama seperti penunjukan Sukarno, tak ada penolakan dari anggota Sidang. Hatta pun dipilih sebagai Wakil Presiden secara aklamasi.
Respon Sukarno atas penunjukan dirinya datar sekali. Tak ada ekspresi gembira, apalagi melompat kegirangan. “Baiklah,” kata Sukarno merespon usulan itu.
Hari itu memang hari-hari melelahkan bagi Sukarno. Rentetan peristiwa penting di pertengahan Agustus 1945, yang berpuncak pada tanggal 17 Agustus 1945, benar-benar menguras energinya. Bahkan, ketika sedang membacakan Proklamasi, badannya sedang tak sehat.
Tak sekedar lelah, Sukarno juga tahu tanggung-jawab dan resikonya sebagai orang nomor satu di Republik muda yang baru merdeka. Karena itu, alih-alih merayakan penunjukan dirinya sebagai Presiden sebagai peristiwa agung, Sukarno justru biasa-biasa saja.
Usai Sidang, sekitar pukul 5 sore, Sukarno berjalan pulang ke rumahnya. Di tengah jalan, dia bertemu pedagang sate. Perutnya yang kosong mendesaknya untuk memesan sate.
“Sate ayam lima puluh tusuk,” pesan Sukarno.
Sukarno mengenang permintaannya kepada tukang sate sebagai perintah pertamanya sebagai Presiden. Mungkin tukang sate itu malah tidak tahu kalau yang memesan satenya adalah Presiden Republik Indonesia. Entahlah.
Jangan bayangkan, saat makan sate Sukarno duduk di kursi. Sang Presiden jongkok dekat selokan dan kotoran.
“Kumakan sateku dengan lahap dan inilah seluruh pesta pengangkatanku sebagai Kepala Negara,” tutur Sukarno kepada Cindy Adams, Wartawan Amerika Serikat, dalam Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.
Sampai di rumah, Sukarno segera mencari istrinya, Fatmawati. Tentu saja, Fatmawati merupakan orang terpenting yang harus mendapat pengumuman penting dari Sukarno.
Diajaknya istrinya ke dapur, lalu Sukarno berusaha menyampaikan “surprise” . “Mereka mengangkatku jadi Presiden. Rakyat memilihku sebagai Presiden,” kata Sukarno bersemangat.
Fatmawati hanya menyambut dingin. Tidak melompat kegirangan. Dia hanya bilang, sebelum meninggal, bapaknya sudah berfirasat bahwa Sukarno-Fatmawati akan tinggal di Istana putih.
“Tiga bulan yang lalu bapak sudah meramalkannya,” kata Fatmawati.
Begitulah kisah tentang penunjukan dan pengangkatan Sukarno sebagai Presiden. Tidak ada seremoni khusus kenegaraan. Sukarno dan pendukungnya juga tidak menggelar pesta besar. Juga tidak ada pesta makan-makan di rumah Sukarno.
Begitulah hari-hari pertama Republik muda ini dijalankan: penuh kesederhanaan.