10 Lagu Anti-Perang yang Melegenda

Penyair Jerman, Heinrich Heine, pernah menyebut: “Ketika kata-kata berhenti, musiklah yang dimulai.” Heine tidak berlebihan. Ia tahu persis kekuatan nada sebagai salah satu senjata paling ampuh untuk mengubah dunia.

Dan, sejarah telah membuktikannya. Ketika dunia dilanda perang dan barisan protes tak cukup untuk mendinginkan nafsu angkara, musik mengambil giliran untuk berbicara. Saat Amerika Serikat (AS) mengirim ribuan serdadu dan mesin perangnya ke Vietnam, di tengah jutaan orang yang turun ke jalanan di kota-kota Amerika dan Eropa, lagu-lagu anti-perang berkumandang menjadi himne perlawanan.

Hari ini, ketika langit kemanusiaan kembali menggelap oleh bayang-bayang perang karena kegilaan dua manusia bernama Benyamin Netanyahu dan Donald Trump, lagu-lagu itu kembali menemukan suaranya di tengah riuh protes. Ia menjadi pengingat abadi bahwa di balik setiap konflik, ada harapan untuk damai.

Berikut adalah 10 lagu yang kisahnya melegenda hingga kini.

For What It’s Worth – Buffalo Springfield (1966)

Kisah lagu ini tidak lahir di medan perang Vietnam, melainkan di jalanan Sunset Strip, Los Angeles. Stephen Stills, yang saat itu menjadi bagian dari Buffalo Springfield, menulisnya setelah menyaksikan bentrokan antara anak-anak muda dan polisi. Pemicunya sepele, aturan jam malam yang diberlakukan untuk membatasi anak-anak muda berkumpul di klub-klub musik. Protes damai berubah menjadi kerusuhan.

Lagu ini tidak pernah menyebut kata “perang” atau “Vietnam”. Namun, liriknya yang menangkap esensi ketegangan—“There’s something happening here/What it is ain’t exactly clear”—terasa begitu relevan dengan iklim politik saat itu. Takdir pun membawanya ke panggung yang lebih besar, menjadikannya lagu wajib dalam setiap demonstrasi anti-perang.

Jon Lennon dan Yoko Ono dalam aksi “Bed-in for Peace” di sebuah hotel di Amsterdam, 1969. Kredit: Wikipedia Common

Give Peace A Chance – John Lennon & The Plastic Ono Band (1969)

Bayangkan ini: John Lennon dan Yoko Ono berbaring di tempat tidur selama dua minggu penuh di sebuah kamar hotel di Amsterdam (Belanda) dan Montreal (Kanada). Dinding kamar mereka dihiasi poster-poster bertuliskan “Hair Peace” dan “Bed Peace”. Ini bukan liburan, melainkan sebuah aksi protes bernama “Bed-in for Peace”. Di tengah kerumunan jurnalis dan aktivis itulah, sebuah lagu sederhana lahir.

Lennon sengaja menciptakan “Give Peace A Chance” agar mudah dinyanyikan oleh siapa saja dalam demonstrasi. Ia berharap lagu ini bisa menjadi seperti “We Shall Overcome”—sebuah himne rakyat. Harapannya terkabul. Lagu ini dengan cepat diadopsi oleh gerakan anti-perang dan dinyanyikan oleh setengah juta orang dalam demonstrasi di Washington D.C. pada Oktober 1969.

Zombie – The Cranberries (1994)

Pada 20 Maret 1993, saat The Cranberries sedang menjalani tur di Inggris, sebuah berita mengguncang nurani mereka. Dua bom yang ditanam oleh Provisional Irish Republican Army (IRA) di tempat sampah di Bridge Street, Warrington—sebuah kota di Inggris—meledak di tengah keramaian. Ledakan itu menewaskan dua orang anak: Johnathan Ball yang baru berusia 3 tahun, dan Tim Parry, 12 tahun. Johnathan tewas di tempat, sementara Tim meninggal lima hari kemudian di rumah sakit. Puluhan orang lainnya luka-luka.

Tragedi ini menjadi titik didih bagi Dolores O’Riordan, sang vokalis dan penulis lagu. Ia, yang seorang warga Irlandia, merasa sangat hancur dan marah. Kekerasan yang mengatasnamakan perjuangan Irlandia ini telah merenggut nyawa anak-anak tak berdosa. Baginya, ini bukanlah perjuangan, melainkan sebuah kebrutalan yang tak bisa diterima.

Saat berada di apartemennya di sela-sela tur, dengan hanya berbekal sebuah gitar akustik, Dolores mulai menuangkan seluruh kemarahan, kesedihan, dan frustrasinya. Ia menulis “Zombie” bukan sebagai lagu politik yang memihak, melainkan sebagai sebuah lagu protes kemanusiaan.

Imagine – John Lennon (1971)

Mungkin inilah lagu perdamaian paling universal yang pernah ditulis. Presiden AS Jimmy Carter pernah berkata, “Di banyak negara, saya dan istri saya mendengar lagu Imagine dimainkan sesering lagu kebangsaan.”

Terinspirasi dari puisi pendek karya Yoko Ono, lirik Imagine terdengar radikal. Ia mengajak kita membayangkan dunia tanpa negara, tanpa surga dan neraka, juga tanpa agama. Namun, Lennon sendiri menjelaskan bahwa lagu ini bukanlah serangan terhadap iman, melainkan kritik terhadap bagaimana agama dan nasionalisme seringkali menjadi sekat yang memecah-belah manusia. Ia juga mengkritik kapitalisme yang menciptakan jurang antara si kaya dan si miskin. Karena liriknya, banyak yang menuduhnya komunis. Namun Lennon menolak semua label itu. Baginya, Imagine adalah sebuah ajakan sederhana untuk membayangkan dunia yang bersatu dalam damai.

Joan Baez menyanyikan “We Shall Overcome” dalam aksi “March on Washington, 1969.

We Shall Overcome – Pete Seeger/Joan Baez

Ada lagu yang nadanya lebih mirip himne gereja ketimbang lagu protes, namun kekuatannya mampu mengguncang sebuah bangsa. Itulah “We Shall Overcome”. Akarnya berasal dari lagu gospel “I’ll Overcome Some Day”. Lagu ini kemudian menemukan panggung barunya dalam aksi protes buruh tembakau pada 1945.

Namun, Pete Seeger-lah yang memoles dan memberinya judul yang kita kenal sekarang. Puncaknya pada 1963, ketika Joan Baez menyanyikan dengan suara soprannya yang jernih di hadapan ratusan ribu orang dalam Pawai Hak-hak Sipil di Washington, sesaat setelah pidato “I Have a Dream” dari Martin Luther King Jr. Sejak saat itu, lagu ini menjadi janji dan doa bagi setiap gerakan sosial di seluruh dunia.

Heal the World – Michael Jackson (1991)

Lagu “Heal the World”, yang dirilis oleh Michael Jackson pada tahun 1991, menjadi lagu pembawa pesan perdamaian paling populer sejak 1990an hingga sekarang. 

Kendati lagu ini dianggap berbicara soal nasib anak-anak di tengah negara yang dicabik-cabik oleh perang, tetapi pesan lagu ini sebetulnya lebih luas dan universal: sebuah dunia yang lebih baik untuk semua umat manusia, tanpa memandang suku, agama dan ras. 

Setelah lagu ini, Michael Jackson mendirikan sebuah yayasan bernama Heil the World Foundation untuk membantu anak-anak di berbagai belahan dunia. 

Bob Dylan di The Newport Folk Festival, 1967. Kredit: American Cinematheque

Blowing in the Wind – Bob Dylan (1962)

Konon, Bob Dylan menulis mahakarya ini hanya dalam 10 menit di sebuah kafe. Ia sendiri tidak pernah secara eksplisit menyebutnya sebagai lagu protes. “Blowing in the Wind” adalah serangkaian pertanyaan retoris yang menghantui tentang perang, kebebasan, dan kemanusiaan.

Lagu ini menemukan takdirnya ketika trio folk Peter, Paul and Mary membawakannya di Pawai Hak-hak Sipil di Washington pada 1963. Dinyanyikan di panggung yang sama dengan Martin Luther King Jr., pertanyaan-pertanyaan puitis Dylan—“How many deaths will it take ‘til he knows/That too many people have died?”—berubah menjadi seruan kuat yang menggema di hati para aktivis anti-perang dan pejuang hak sipil.

War Pigs – Black Sabbath (1970)

Dari raungan gitar Tony Iommi dan lirik tajam Geezer Butler, lahirlah monster anti-perang dari ranah musik cadas. Saat AS sedang beringas-beringasnya di Vietnam, Black Sabbath melahirkan “War Pigs”. “Bagi saya, perang adalah setan besar,” kata Butler. Lagu ini adalah serangan langsung terhadap politisi dan jenderal yang ia sebut sebagai “babi perang”—mereka yang duduk nyaman di kursi kekuasaan sambil mengirim orang miskin untuk mati demi keuntungan mereka.

War (What Is It Good For) – Edwin Starr (1970)

Jika ada lagu anti-perang yang paling lugas dan tanpa basa-basi, inilah dia. Edwin Starr tidak menggunakan metafora. Ia berteriak lantang: “War! Huh! What is it good for? Absolutely nothing!”. Lagu ini adalah pernyataan ideologis yang kuat, menyebut perang sebagai perusak nyawa dan penyebab air mata ribuan ibu. Menariknya, Starr cukup cerdas untuk membedakan perang imperialis dengan perjuangan pembebasan, menegaskan bahwa cinta pada rakyatlah yang menggerakkan para pejuang sejati.

Masters of War – Bob Dylan (1963)

Jika “Blowing in the Wind” adalah pertanyaan puitis, maka “Masters of War” adalah sebuah kutukan. Ditulis di tengah ketakutan Perang Dingin dan pembangunan kompleks industri militer oleh Presiden Eisenhower, lagu ini adalah surat terbuka penuh amarah dari Dylan. Ia tidak lagi bertanya, melainkan menunjuk langsung wajah para “Tuan Perang”.

Come you masters of war
You that build all the guns
You that build the death planes
You that build all the bombs
You that hide behind walls
You that hide behind desks
I just want you to know
I can see through your masks.

Liriknya yang dingin dan menghakimi adalah salah satu kecaman paling keras terhadap mereka yang mengambil keuntungan dari kematian dan kehancuran.


Zaman boleh berganti, konflik bisa berubah bentuk, dan para “Tuan Perang” mungkin punya wajah baru. Namun, seperti kata Heine, ketika kata-kata para politisi sudah tak lagi bermakna, musik akan selalu ada untuk menyuarakan hati nurani. Lagu-lagu ini adalah buktinya. Mereka adalah gema dari masa lalu yang terus relevan, sebuah pengingat bahwa perdamaian adalah perjuangan yang tak pernah usai.

Lalu, lagu mana yang menjadi banda suara Anda ketika kata-kata terasa sia-sia?

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Prev
Masukan untuk Program Makan Bergizi Gratis

Masukan untuk Program Makan Bergizi Gratis

Sejak kick-off pada 6 Januari lalu, program ini tercoreng oleh kasus keracunan

You May Also Like
Total
0
Share