Pada 10 April 1919, Emiliano Zapata ditembak mati dalam jebakan licik di Hacienda de San Juan. Tapi kematiannya bukan akhir cerita—justru awal dari legenda abadi tentang perlawanan rakyat terhadap tirani. Dari ladang-ladang Morelos hingga gerakan Zapatista modern (EZLN), nama Zapata terus hidup sebagai simbol harapan, keberanian, dan tanah yang harus kembali ke tangan mereka yang mengolahnya. Artikel ini mengupas perjalanan heroik seorang petani yang mengubah wajah sejarah Meksiko—dari cangkul ke revolusi.
Bicara tentang revolusi yang benar-benar lahir dari bawah, dari peluh petani dan jeritan rakyat kecil, maka nama Emiliano Zapata pantas ditaruh di barisan paling depan.
Ia bukan pahlawan yang lahir dari istana atau ruang kuliah. Ia datang dari ladang, dari debu Desa Anenecuilco yang gersang, dan dari ketidakadilan yang terasa sampai ke tulang.
Lebih dari seabad setelah kematiannya, wajah Zapata masih menghiasi mural jalanan di Meksiko, yel-yelnya terus digaungkan para petani, dan warisannya dihidupkan kembali oleh gerakan perlawanan di berbagai belahan dunia.
Anak desa yang tak sudi menunduk
Lahir pada 8 Agustus 1879 di Anenecuilco, negara bagian Morelos, Zapata tumbuh di lingkungan petani kecil yang hidup dari tanah warisan leluhur. Ia berasal dari keluarga mestizo—keturunan campuran antara pribumi dan Spanyol. Meski keluarganya tidak miskin, mereka hidup dalam ancaman terus-menerus dari para pemilik hacienda, perkebunan besar yang kerap merampas tanah desa dengan restu pemerintah.

Sejak kecil, Zapata sudah menyaksikan bagaimana tanah-tanah komunitas dirampas secara sistematis oleh elite yang bersekongkol dengan rezim Porfirio Díaz. Alih-alih menerima nasib, Zapata remaja mulai ikut dalam proses hukum mempertahankan hak tanah warga. Pengalaman yang membawa tetua desa ke pengadilan membuatnya sadar: hukum hanya berpihak pada mereka yang berduit.
Bangkitnya kesadaran dan amarah yang terorganisir
Di usia 30-an, Zapata terpilih sebagai pemimpin Desa Anenecuilco. Tapi ini bukan jabatan kosong. Ia segera mengorganisir desa-desa di Morelos, mengumpulkan arsip kepemilikan tanah, dan menyusun strategi kolektif untuk melawan pengambilalihan tanah oleh hacendado. Dari sinilah jaringan perlawanan rakyat mulai terbentuk.
Zapata adalah tipe pemimpin langka—jujur, teguh, dan tidak pernah silau oleh kekuasaan. Ia melihat bahwa rakyat tidak bisa menunggu reformasi dari atas. Mereka harus bergerak. Maka, ketika Revolusi Meksiko meletus pada 1910, ia sudah siap memimpin petani dengan satu misi: kembalikan tanah ke rakyat.

Plan de Ayala: manifesto dari ladang selatan
Ketika Francisco Madero menggulingkan Porfirio Díaz dan jadi presiden pada 1911, banyak yang berharap perubahan nyata datang. Tapi ternyata, reformasi tanah hanya jadi janji manis kampanye. Madero tetap melindungi kepentingan elite tanah.
Zapata merespons dengan dokumen paling terkenal dalam sejarah revolusi agraria Meksiko: Plan de Ayala. Dikeluarkan pada 28 November 1911, plan ini secara terang-terangan menyebut Madero sebagai pengkhianat revolusi. Isinya tajam: tanah yang dirampas harus dikembalikan ke komunitas, hacienda besar harus dibagi kepada petani tak bertanah, dan pemerintahan yang melindungi para tuan tanah harus dijatuhkan.
Plan de Ayala bukan sekadar tulisan politis. Ia jadi landasan perjuangan Zapata selama bertahun-tahun, dan tetap relevan hingga kini—karena ia berbicara langsung tentang hak dasar: “Kami berjuang demi tanah, bukan demi ilusi yang tak bisa mengisi perut kami.”
Zapata di pusaran revolusi
Dalam kekacauan Revolusi Meksiko (1910–1920), Zapata tetap konsisten memperjuangkan tanah. Ketika para jenderal dan politisi saling guling dan membentuk aliansi sesaat, Zapata tetap bersama petani.
Bersama Pancho Villa dari utara, Zapata bahkan sempat merebut Mexico City pada 1914. Tapi berbeda dari politisi ambisius, Zapata tak mau duduk di kursi kekuasaan. Ia kembali ke Morelos dan mulai membangun model pemerintahan lokal yang demokratis dan berbasis komunitas. Di Morelos, tanah dibagikan, produksi dikelola bersama, dan sekolah rakyat didirikan.
Namun tekad ini juga membuatnya jadi musuh utama elite lama dan pemerintahan baru. Presiden Venustiano Carranza menjadikan Zapata sebagai target utama eliminasi. Bagi Carranza, Zapata bukan hanya pemberontak, tapi simbol radikalisme yang bisa mengancam dukungan elite Meksiko dan kepentingan modal Amerika. Carranza ingin mengirim pesan: dialah satu-satunya “alternatif sah” terhadap anarki dan revolusi sosial.

Pada Maret 1919, Jenderal Pablo González memerintahkan anak buahnya, Kolonel Jesús Guajardo, untuk melancarkan operasi militer melawan pasukan Zapata di pegunungan Huautla. Namun rencana awal berubah jadi jebakan licik setelah González menangkap Guajardo karena insiden di sebuah bar dan menuduhnya sebagai pengkhianat. Dalam sandiwara yang disusun rapi, Guajardo diperintahkan untuk “memulihkan nama baiknya” dengan pura-pura membelot ke pihak Zapata.
Zapata, yang menganggap Guajardo tulus ingin bergabung, menyetujui semua syarat yang diajukan dan bahkan memerintahkan “serangan palsu” ke garnisun Jonacatepec—yang diam-diam sudah diberi tahu lebih dulu oleh González dan Guajardo. Mantan pasukan Zapata yang berada di garnisun itu kemudian ditangkap dan dieksekusi. Setelah drama pengkhianatan ini berlangsung sempurna, Zapata dijadwalkan bertemu Guajardo di Hacienda de San Juan, Chinameca.
Pada 10 April 1919, Zapata datang dengan harapan mendapat tambahan pasukan dan senjata. Tapi yang menyambutnya justru peluru dari senapan laras panjang. Tubuhnya ditembak berkali-kali hingga terkapar tak bernyawa.
Tubuhnya difoto dan dipertontonkan selama 24 jam sebagai bukti kematian. Tapi meski jasadnya tak dibawa ke ibu kota seperti desakan media saat itu, pakaian terakhir Zapata dipajang di depan kantor surat kabar di dekat Taman Alameda, sebagai simbol bahwa revolusi sudah “berakhir”.
Namun mereka keliru. Revolusi belum mati—ia baru saja berubah bentuk.

Warisan Zapatismo: lebih kuat dari peluru
Meski raganya mati, semangatnya tak ikut terkubur. Kata orang Meksiko, “¡Zapata vive, la lucha sigue!”–Zapata hidup, perjuangan terus berjalan.
Tahun 1994, gerakan EZLN (Ejército Zapatista de Liberación Nacional) muncul di Chiapas, wilayah termiskin di Meksiko. Mereka menolak perjanjian NAFTA yang mengancam petani kecil. Mereka pakai nama “Zapatista” bukan cuma karena cocok secara simbolis—tapi karena mereka percaya cita-cita Zapata soal tanah, martabat, dan keadilan masih belum selesai.
Zapatismo bukan ideologi kaku. Ia adalah roh perlawanan yang menolak tunduk pada kapitalisme yang menggusur dan menggiling rakyat kecil. Dari petani India sampai aktivis iklim di Amerika Latin, semangat Zapata terus hidup.