Demo memprotes cawe-cawe Presiden Jokowi dalam Pemilu 2024 (Sumber: Reuters)

Wakil Rakyat Bukan Paduan Suara

“Wakil rakyat seharusnya merakyat, jangan tidur waktu sidang soal rakyat…”


Lagu “Wakil Rakyat” yang dirilis Iwan Fals pada 1987 itu, kalau diputar ulang hari ini, masih relevan, bahkan makin nyaring menampar realitas. Di masa Orde Baru, lagu itu adalah sindiran untuk parlemen yang mandul di bawah kendali Soeharto. Ironisnya, hampir empat dekade berlalu, DPR kita masih berkutat di dosa yang sama, bahkan sekarang tambah parah.

Saat itu, DPR hanya mengamini maunya penguasa. Ada istilah: tukang stempel kebijakan penguasa. Suara mereka kompak layaknya paduan suara. Meski dipilih oleh rakyat, mereka tak pernah menyuarakan suara rakyat. Celakanya, kondisi itu mirip dengan sekarang.

Demokrasi yang surut

Data menunjukkan bahwa demokrasi kita memang sedang megap-megap. Ini tercermin dengan indeks demokrasi yang cenderung merosot. The Economist Intelligence Unit (EIU), lembaga riset dan analisis yang berpusat di London, Inggris, menunjukkan skor demokrasi di Indonesia pada 2024 sebesar 6,44.

Skor ini membuat Indonesia masuk dalam kategori negara dengan demokrasi yang cacat atau flawed democracy. Indonesia turun tiga peringkat dari posisi 56 di tahun sebelumnya, menjadi peringkat 59 di tahun ini dari total 167 negara yang diteliti. Bandingkan dengan 2015 saat skor kita masih di angka 6,48. Artinya, bukan cuma stagnan, tapi demokrasi kita mengalami erosi pelan-pelan. Salah satu biang keroknya: parlemen yang makin jinak, makin kehilangan daya kritis.

Wakil rakyat yang tak mendengar rakyat

Dalam sistem demokrasi, parlemen punya fungsi representasi sekaligus fungsi pengawasan dan kontrol politik terhadap jalannya pemerintahan.

Giovanni Sartori dalam Parties and Party Systems (1976) menegaskan, tanpa oposisi yang kuat, parlemen hanya jadi tukang stempel eksekutif. Arend Lijphart dalam Patterns of Democracy (1999) bahkan menyebut, kualitas demokrasi bisa diukur dari seberapa sehat relasi antara parlemen dan pemerintah—bukan dari seberapa akur mereka, tapi seberapa keras kontrol parlemen atas kekuasaan.

Tapi apa yang terjadi hari ini? Setelah pemilu 2024, hampir seluruh partai di DPR mendeklarasikan dukungan ke pemerintahan Prabowo-Gibran. PDIP, yang awalnya diperkirakan bakal jadi oposisi, belakangan juga menunjukkan sinyal merapat ke koalisi besar itu.

Hasilnya? DPR kita nyaris tanpa oposisi. Yang tersisa cuma ruang sidang sunyi dari kritik, penuh dengan nyanyian paduan suara bernada sama: “setuju, setuju, setuju.”

Parlemen tanpa oposisi

Pada periode sebelumnya, ketiadaan oposisi yang signifikan di DPR menyebabkan hilangnya hambatan terhadap kebijakan yang tidak pro-rakyat.

Ketiadaan oposisi adalah alarm bahaya bagi demokrasi. Levitsky dan Ziblatt dalam How Democracies Die (2018) menjelaskan, kematian demokrasi modern jarang terjadi lewat kudeta berdarah. Demokrasi justru mati perlahan lewat mekanisme legal, ketika lembaga-lembaga politik dikooptasi dan dijinakkan.

Tanpa oposisi, DPR tidak lagi punya daya tawar. Mekanisme check and balance lumpuh total. Padahal, esensi demokrasi bukan soal semua pihak akur, tapi soal ada yang berani mengkritisi kekuasaan demi kepentingan rakyat.

Ketiadaan oposisi dan DPR yang jinak juga sudah berbuah kebijakan-kebijakan yang merugikan rakyat. Ini daftar hitamnya:

Pertama, revisi Undang-Undang KPK (2019). KPK dilumpuhkan, sementara gelombang protes mahasiswa dan masyarakat sipil diabaikan.

Kedua, pengesahan Omnibus Law Cipta Kerja (2020). Prosesnya kilat, minim partisipasi publik, merugikan buruh, dan mengancam lingkungan.

Ketiga, revisi Undang-Undang Minerba (2020). Menguntungkan konglomerat tambang, rakyat yang protes dianggap angin lalu.

Keempat, Undang-Undang IKN (2022). Ditolak oleh banyak kalangan, tapi disahkan tanpa kritik berarti.

Semua ini menegaskan: wakil rakyat lebih takut mengecewakan penguasa ketimbang rakyat yang memilih mereka.

Oposisi masyarakat sipil

Kalau parlemen sudah tidak bisa diandalkan, harapan satu-satunya tinggal di tangan rakyat sendiri. Masyarakat sipil harus mengambil alih peran oposisi. Bukan cuma dengan demo sporadis, tapi dengan konsolidasi serius.

Ada beberapa hal yang harus dilakukan. Pertama, media alternatif harus diperkuat. Kedua, gerakan sosial berbasis isu harus dirajut jadi kekuatan politik yang nyata. Ketiga, harus ada upaya melahirkan partai alternatif yang benar-benar lahir dari keresahan rakyat.

Kita butuh partai alternatif yang berani mengambil posisi sebagai oposisi sejati. Partai yang tak lahir dari rahim oligarki, bukan juga turunan partai lama yang cuma ganti baju. Partai yang benar-benar mewakili keresahan rakyat kecil, bukan elite menengah atas.

Tanpa oposisi sipil yang tangguh, demokrasi kita akan benar-benar jadi panggung kosong tempat elite berpesta dan rakyat cuma penonton yang disuruh tepuk tangan.

Demokrasi yang sehat bukan yang adem ayem, tapi yang gaduh dengan debat kebijakan yang seru. DPR yang ideal bukan paduan suara seragam, tapi ruang berisik tempat argumen bertabrakan.

Kalau hari ini DPR lebih sibuk merapikan barisan untuk mendukung Prabowo, tugas rakyatlah untuk jadi batu kerikil di sepatu kekuasaan.

Demokrasi itu seperti api unggun: butuh dijaga supaya nyalanya tak padam, butuh dipantik supaya terus menyala terang. Hari ini, api demokrasi kita sedang meredup, dikepung asap tebal oligarki dan parlemen yang jadi peliharaan penguasa. Kalau DPR terus jadi peternakan oligarki, rakyat akan bikin panggung sendiri. Kalau suara kita tidak didengar di gedung parlemen, kita ledakkan langsung di jalanan.

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Prev
Cara Organisasi Mengatasi Kesenjangan Komunikasi Antargenerasi

Cara Organisasi Mengatasi Kesenjangan Komunikasi Antargenerasi

Jika tidak dikelola dengan baik, perbedaan ini bisa menimbulkan kesalahpahaman,

Next
Sejarah Perjuangan Hari Perempuan Sedunia

Sejarah Perjuangan Hari Perempuan Sedunia

Perjalanan Hari Perempuan Sedunia bukanlah kisah yang tiba-tiba muncul begitu

You May Also Like
Total
0
Share