Tragedi Amarah 1996: Ketika Tentara dan Panser Masuk Kampus

Dua tahun sebelum reformasi 1998, tepatnya 24 April 1996, sebuah peristiwa kelam dalam sejarah Orde Baru terjadi di Kota Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel).

Hari itu, aksi protes mahasiswa terhadap kenaikan tarif angkutan umum berujung represi. Tak hanya dengan moncong senjata, gas air mata, dan tendangan sepatu lars, tiga panser ikut masuk ke kampus untuk mendesak mundur perlawanan mahasiswa.

Apa pemicunya?

Pada April 1996, mahasiswa di sejumlah perguruan tinggi di Makassar menggelar aksi protes. Pemicunya adalah SK Kementerian Perhubungan perihal kenaikan tarif angkutan umum.

Di Makassar, kebijakan itu diterjemahkan dengan SK Wali Kota Ujung Pandang (nama Makassar saat itu) yang menaikkan tarif angkutan dari Rp 300 menjadi Rp 500 untuk umum, sedangkan mahasiswa dan pelajar dikenai tarif Rp 200.

Suasana demonstrasi mahasiswa di depan kampus UMI Makassar.

Perlawanan mahasiswa

Sebagai respons terhadap kebijakan kenaikan tarif, mahasiswa Makassar mendirikan front perlawanan bernama: Forum Pemuda Indonesia Merdeka (FPIM). Deklarasi perlawanan itu digelar di Tugu Mandala.

Pada 8 april 1996, sebanyak 200-an massa aksi FPIM menggelar aksi massa di kantor DPRD Sulsel. Mereka menuntut pencabutan SK Gubernur Sulsel dan Wali Kota Ujung Pandang terkait kenaikan tarif angkutan umum.

Pada 22 April 1996, karena tuntutannya tak mendapat respons, FPIM kembali turun ke jalan. Mereka menggelar aksi di kantor Gubernur Sulsel. Saat itu, Gubernur dan Wali Kota Makassar sedang tidak berada di Makassar. Akhirnya, mahasiswa keluar dari kantor Gubernur dengan perasaan kecewa. Mereka melanjutkan aksinya di jalanan, tepat di depan kampus UMI Makassar, dengan mimbar bebas dan membakar ban.

Aksi berlanjut esoknya, 23 April 1996. Seperti hari-hari sebelumnya, mereka menggelar mimbar bebas sembari membakar ban bekas di depan kampus.

Hari itu, tersulut oleh respons dingin pemerintah, mereka menahan sebuah mobil DAMRI yang sedang melintas dan menaruhnya melintang di tengah jalan. Akibatnya, Jalan Urip Sumoharjo, yang terletak di depan kampus UMI dan menghubungkan bagian utara kota dengan pusat kota, mengalami macet total.

Tak hanya kepolisian, aparat TNI dari Garnisun turut dikerahkan dan membuat pagar betis di belakang barikade polisi. Negosiasi antara perwakilan mahasiswa dengan Polri dan TNI menemui jalan buntu.

Di sela negosiasi itu, lemparan batu menjadi dalih aparat untuk merangsek maju, menembakkan gas air mata, dan menyerbu ke dalam kampus. Sejumlah fasilitas kampus mengalami kerusakan. Beberapa kendaraan bermotor mahasiswa juga turut dirusak oleh aparat. Tak hanya itu, sekitar 20-an mahasiswa ditangkap, dipukuli, dan diangkut dengan mobil aparat.

Tentara memasuki kampus UMI, April 1996. Kredit: Herman Kajang

Tragedi 24 April 1996

Pada 24 April 1996, mahasiswa kembali menggelar aksi protes terhadap serbuan aparat keamanan sehari sebelumnya. Beberapa mahasiswa yang tersulut emosi menahan mobil pengangkut sampah. Selain itu, dua anggota ABRI yang melintas di depan kampus turut disandera.

Selepas siang, tentara dengan persenjataan lengkap dan tiga panser tiba di depan kampus UMI. Kedatangan aparat membuat situasi memanas. Mahasiswa mencoba untuk menghalau tentara agar tak masuk kampus. Bentrokan pun tak terhindarkan.

Aparat dengan persenjataan lengkap, disertai oleh tiga panser, menyerbu ke dalam kampus. Mereka menembakkan gas air mata yang membuat konsentrasi massa buyar.

Jelang sore hari, pihak kampus bernegosiasi dengan aparat agar membolehkan mahasiswa untuk pulang. Namun, beberapa mahasiswa yang hendak pulang justru dipukul, sehingga mereka kembali ke dalam kampus sembari melakukan perlawanan dengan lemparan batu.

Akhirnya, tentara dengan tiga pansernya kembali masuk ke dalam kampus. Tidak hanya dengan gas air mata, tetapi juga disertai tembakan. Mahasiswa berusaha menyelamatkan diri dengan melompati sungai. Namun mahasiswa yang tertangkap dipukuli, sebagian bahkan ditelanjangi.

Dalam tragedi pilu itu, tiga orang mahasiswa ditemukan meninggal dunia. Mereka adalah
Syaiful Bya, 21 tahun, mahasiswa Fakultas Teknik Arsirektur UMI; Andi Sultan Iskandar, 22 tahun, mahasiswa Fakultas Ekonomi UMI; serta Tasrief, 21 tahun, mahasiswa Fakultas Ekonomi/Studi Pembangunan UMI.

Tragedi ini menjadi salah satu simbol kekerasan militer di era Orde Baru terhadap gerakan mahasiswa. Namun tak seperti peristiwa Semanggi atau Trisakti yang kemudian banyak diangkat ke permukaan, Tragedi Amarah 1996 nyaris tenggelam dalam ingatan kolektif bangsa.

Meski tidak mendapat sorotan luas, Tragedi Amarah 1996 ikut menyumbang bara bagi kobaran reformasi dua tahun kemudian. Kekerasan negara terhadap gerakan mahasiswa memperkuat kesadaran kolektif tentang perlunya perubahan. Bahwa Orde Baru bukan hanya gagal menjamin keadilan sosial, tapi juga menggunakan kekuatan militer untuk membungkam suara rakyat.

Dari Makassar hingga Jakarta, dari kampus-kampus kecil hingga universitas ternama, perlawanan mahasiswa mulai menjelma menjadi gerakan yang lebih terorganisir. Tuntutannya tak lagi soal tarif atau kebijakan sektoral, tapi perubahan rezim.

Mengingat peristiwa ini adalah bagian dari perjuangan menjaga demokrasi. Sebab, seperti kata penulis Spanyol, George Santayana: mereka yang tidak belajar dari sejarah ditakdirkan mengulanginya.

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Prev
Mas Gibran, Nepotisme itu Membunuh Potensi Bonus Demografi

Mas Gibran, Nepotisme itu Membunuh Potensi Bonus Demografi

Sayangnya, pidato itu jadi semacam ironi

Next
Daya Tarik Abadi Musik Progresif Rock

Daya Tarik Abadi Musik Progresif Rock

Musik progresif rock tidak sekadar lagu, tapi karya sinematik dalam bentuk

You May Also Like
Total
0
Share