Media sosial lagi-lagi mengungkap keresahan anak muda Indonesia. Kali ini lewat tagar #KaburAjaDulu, yang merepresentasikan kecemasan generasi muda terhadap masa depan mereka di negeri sendiri.
Anak-anak muda diliputi keresahan. Dari sulitnya lapangan kerja, penghasilan pas-pasan, sistem pendidikan yang tak menghasilkan mobilitas sosial, sampai praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN) yang seolah tak ada ujungnya di negeri ini. Semua ini bikin banyak anak muda bertanya-tanya: masihkah layak bermimpi di Indonesia?
Lapangan kerja yang sulit
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan tingkat pengangguran terbuka (TPT) per Agustus 2023 mencapai 5,32 persen, yang didominasi oleh anak muda. Berdasarkan data BPS 2023, sebanyak 22,5 persen penduduk usia 15-24 tahun di Indonesia tidak sedang belajar, bekerja, atau mengikuti pelatihan apa pun (NEET).
Ironisnya, tidak sedikit dari anak muda yang menganggur adalah lulusan perguruan tinggi atau sekolah kejuruan yang seharusnya siap kerja. Faktanya? Banyak yang berakhir jadi “pejuang loker”, melamar ke ratusan perusahaan dengan hasil nihil.
Startup sebagai sektor yang dulu dianggap jadi harapan, kini malah ikut berguguran. Gelombang PHK di berbagai unicorn seperti Gojek, Tokopedia, dan Shopee menunjukkan betapa rentannya dunia kerja digital di Indonesia. Sementara itu, gaji UMR di banyak daerah masih jauh dari layak. Di Jakarta, misalnya, gaji UMP Rp 5,3 juta per bulan bisa habis begitu saja untuk sewa kos dan makan. Boro-boro nabung, mimpi punya rumah makin terasa seperti utopia.
“Kuliah dulu, kerja gampang belakangan.” Nasihat ini makin kedengaran seperti lelucon di telinga gen Z. Biaya kuliah terus naik, tapi apakah kualitas pendidikan membaik? Tidak selalu.
Faktanya, lulusan perguruan tinggi justru mendominasi angka pengangguran. Lapangan kerja yang sempit akibat deindustrialisasi, ditambah lagi dengan lowongan kerja yang diskriminatif, semakin mempersempit ruang bagi lulusan perguruan tinggi untuk memperjuangkan mobilitas sosial.
Belum lagi isu mahalnya pendidikan. Biaya UKT yang meroket setiap tahun bikin banyak anak muda putus kuliah atau terpaksa berutang demi gelar yang belum tentu berguna. Pemerintah sih suka bilang pendidikan adalah investasi masa depan, tapi bagaimana kalau investasinya malah rugi?
Korupsi dan nepotisme: penghalang anak muda berprestasi
Tak ada yang lebih mematikan semangat daripada melihat mereka yang tak kompeten justru lebih mudah naik jabatan berkat koneksi. Saat anak muda harus berjuang mati-matian untuk mendapat pekerjaan layak, mereka yang punya koneksi “orang dalam” bisa melenggang dengan mudah. Sementara kita mencari kerja dan meniti karier dari bawah dengan berdarah-darah, eh anak presiden bisa melenggang bebas menjadi wakil presiden dengan mengutak-atik konstitusi.
Persyaratan keahlian, kompetensi, siap bekerja di bawah tekanan, dan lain-lain, itu hanya persyaratan bagi kalian anak-anak dari rakyat jelata. Namun, bagi anak pejabat, seperti wakil presiden kita, modalnya hanya “dia anak presiden”, sementara isi kepala dan kompetensi tercecer sampai mengalir jauh ke Samudera Pasifik.
Skandal korupsi pun terus terjadi, dari kasus bansos hingga proyek infrastruktur. Menurut Transparency International, skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia masih stagnan di angka 37/100, jauh dari negara-negara tetangga seperti Singapura (83) atau Malaysia (47). Ini bukan cuma angka, tapi gambaran nyata bagaimana korupsi menjadi tembok besar yang menghalangi kemajuan.
Kesehatan mental: generasi yang lelah dan cemas
Tekanan ekonomi, ekspektasi sosial, dan ketidakpastian masa depan telah membuat kesehatan mental anak muda Indonesia makin rentan. Data dari Riskesdas 2018 menunjukkan bahwa 6,1 persen penduduk Indonesia mengalami gangguan mental emosional, dan angka ini kemungkinan meningkat pascapandemi. Sayangnya, layanan kesehatan mental masih mahal dan sulit diakses. Sementara itu, budaya “toxic positivity” yang terus-menerus mendorong anak muda untuk “bersyukur saja” justru memperburuk keadaan.
KaburAjaDulu: protes atas kenyataan pahit
Tagar #KaburAjaDulu bukan sekadar tren, melainkan bentuk kritik. Banyak anak muda yang kini lebih memilih bekerja atau melanjutkan studi di luar negeri karena merasa peluang di Indonesia terlalu sempit. Australia, Jerman, Kanada, dan Jepang menjadi pilihan favorit karena menawarkan gaji lebih layak, kesempatan karier lebih baik, serta lingkungan yang lebih suportif.
Namun, apakah ini berarti mereka kehilangan nasionalisme? Tidak juga. Justru, banyak dari mereka yang kecewa karena mencintai negeri ini, tapi merasa tidak diberi kesempatan yang layak untuk berkembang di dalamnya.
Indonesia Emas 2045: masih jauh dari nyata
Pemerintah sering menggembar-gemborkan visi Indonesia Emas 2045. Tapi bagaimana itu bisa terwujud jika generasi mudanya malah kehilangan harapan? Jika anak-anak terbaik bangsa lebih memilih “kabur” ketimbang berkontribusi, maka cita-cita Indonesia menjadi negara maju hanya akan tinggal wacana. Tak lebih dari akrobat kata-kata.
Jadi, sebelum menyalahkan generasi muda karena lebih memilih peluang di luar negeri, mungkin pemerintah dan para elite negeri ini perlu bertanya: apa yang sudah mereka lakukan untuk membuat anak muda tetap percaya pada Indonesia?