Sulianti Saroso, Dokter Pejuang Pelopor KB

Di tengah ingar-bingar sejarah perjuangan Indonesia, nama-nama perempuan sering kali tenggelam di balik bayang-bayang tokoh laki-laki. Padahal, banyak di antara mereka yang bergerak di garis depan, memanggul senjata, membawa logistik, bahkan merumuskan gagasan-gagasan besar tentang masa depan bangsa.

Salah satu dari perempuan itu adalah Sulianti Saroso. Dia bukan hanya dokter, tetapi juga pejuang kemerdekaan, aktivis perempuan, dan pelopor program Keluarga Berencana (KB) di Indonesia. Kisah hidupnya adalah bukti bahwa perubahan besar sering dimulai dari suara yang dianggap minor.

Sulianti bukan sekadar catatan kaki dalam sejarah kesehatan nasional. Ia merupakan paket lengkap: pejuang kemerdekaan, aktivis perempuan, seorang dokter yang hebat, serta pembawa gagasan besar dan inovatif.

Sulianti lahir di Karangasem, Bali, pada 10 Mei 1917. Ayahnya, Moehammad Soelaiman adalah
dokter lulusan Stovia. Selain menjadi dokter, ayahnya juga dikenal sebagai aktivis pergerakan.

Sulianti kemudian mengikuti jejak sang ayah sebagai dokter. Selepas pendidikan Gymnasium di Bandung pada 1935, dia mengambil pendidikan kedokteran di Sekolah Tinggi Kedokteran Geneeskundige Hoge School (GHS).

Semasa menjadi mahasiswa kedokteran, Sulianti sudah menarik perhatian. Selain karena jumlah mahasiswa perempuan sekolah kedokteran yang sedikit, dia berpenampilan menarik, lincah, dan pandai bergaul.

Google Doodles sebagai penghormatan terhadap kerja-kerja besar Prof. Dr. Julie Sulianti Saroso, 10 Mei 2023 Kredit: Google

Ditambah lagi, dia suka bermain tenis. Karena penampilan dan kegemarannya berolahraga, dia masuk dalam kategori sosial yang disebut oleh majalah De Java Bode sebagai “de Javaanse elite”.

Begitu lulus pada 1942, ia bekerja sebagai dokter di Centrale Burgerlijke Ziekenhuis (CBZ)—sekarang Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM).

Perempuan pejuang

Pendudukan Jepang, yang disusul dengan proklamasi dan perjuangan mempertahankan kemerdekaan, telah mengubah jalan hidup Sulianti dari apolitis menjadi aktivis pergerakan.

Di masa itu, selain tetap bekerja sebagai dokter di Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta, ia juga aktif dalam pergerakan perempuan Indonesia.

Dia menjadi anggota Dewan Pimpinan Kongres Wanita Indonesia dan aktif di Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia sebagai perwakilan Pemuda Putri Indonesia (PPI). Di garis depan, dia menjadi bagian dari laskar perempuan yang diberi nama WPP: Wanita Pembantoe Perdjoangan.

Bahkan, berdasarkan cerita wartawan tiga zaman, Rosihan Anwar, saat itu Sulianti ikut ke garis depan pertempuran untuk mempertahankan kemerdekaan RI.

Bersama suaminya Dr. Saroso Wirodihardjo dan saya. Sulianti Saroso (kiri) , bersama putinya Anindita dan suami, saat akan berangkat tugas ke luar negeri, sekitar 1957. Kredit: Dok. keluarga

Selain itu, ia juga sering mengusahakan obat dan makanan untuk para pemuda dan pejuang. Sulianti kerap mengantarkan obat dan makanan tersebut ke front Tambun (Jawa Barat), Gresik (Jawa Timur), Demak (Jawa Tengah), dan sekitar Yogyakarta.

Saat agresi militer kedua, Sulianti ditangkap dan ditahan oleh Belanda. Dia dituduh hendak melancarkan aksi subversif kepada Belanda.

Pada 1947, ketika Belanda mulai memblokade RI dari dunia internasional, Sulianti berhasil menyelinap ke India untuk menghadiri Kongres Wanita Seluruh Dunia. Ia naik pesawat milik industrialis India, Patnaik. Dia kembali ke Indonesia pada Juli 1948 dengan rute New Delhi, Bukittinggi, lalu Yogyakarta.

Konon, saat itu Sulianti satu pesawat dengan Musso dan Suripto. Namun, saat itu Musso menggunakan nama julukan: Suparto. Sehingga, menurut Rosihan, Sulianti tidak tahu kalau Suparto itu sebetulnya adalah Musso, tokoh yang menggegerkan politik Indonesia pada 1948.

Pelopor KB

Usai perang kemerdekaan, Sulianti melanjutkan pendidikan kedokterannya. Berbekal mahasiswa dari WHO, ia mendapat kesempatan mempelajari sistem kesehatan ibu dan anak di Inggris dan Skandinavia.

Pada 1952, ia kembali ke Tanah Air. Dengan pengetahuannya, ia mulai bersuara tentang perlunya pembatasan kelahiran demi memastikan kesehatan ibu dan anak. Namun, ide itu sangat tabu di masa itu dan banyak menuai kecaman.

Banyak yang menuding ide pembatasan kelahiran itu melawan kodrat alami dan melanggar HAM. Presiden Sukarno dan Menteri Kesehatan dr Johannes Leimena turun tangan untuk menegur Sulianti.

Sulianti Saroso. Kredit foto: rspisuliantisaroso.co.id

Sulianti bekerja di Kementerian Kesehatan RI sejak 1951 hingga pensiun. Ia menduduki banyak jabatan, seperti Direktur Jenderal Pencegahan, Pemberantasan dan Pembasmian Penyakit Menular (P4M) dan merangkap Ketua Lembaga Riset Kesehatan Nasional (LRKN).

Sulianti mendapat gelar sarjana Public Health Administration dari Universitas London. Tahun 1961-1965, dia menjadi research associate di School of Medicine, Tulane University, New Orleans, Amerika Serikat. Dia meneliti soal penyakit lumpuh dan keracunan serangga di Kolombia.

Pada 1962, Sulianti mendapat gelar Master Public Health and Tropical Medicine. Gelar doktor di bidang epidemiologi diraihnya pada 1965 dengan penelitian disertasi berjudul ”The Natural History of Enteropathogenic Escherichia Coli Infections”.

Tahun 1963-1967, Indonesia saat itu salah satu dari lima negara yang mengalami gawat wabah cacar. Meskipun wabah itu sudah menyerang negeri selama satu dekade, tetapi belum ada program pendataan dan pembasmian yang serius. Sulianti saat itu ditunjuk untuk memimpi tim pengendalian cacar. Ia turun hingga ke desa-desa bersama timnya untuk mengumpulkan data. Setelah itu, ia merancang rencana nasional pemberantasan cacar dengan dukungan WHO. Dalam tiga setengah tahun, Indonesia terbebas dari cacar.

Selain bekerja di Kementerian Kesehatan, Sulianti juga pernah bergabung organisasi terkemuka seperti Komite Pakar Kesehatan Ibu dan Anak WHO, Komisi Pengembangan Masyarakat PBB di Negara-negara Afrika, dan Komisi Nasional Perempuan Indonesia.

Dalam sejarah WHO, Sulianti adalah perempuan kedua setelah dokter Rajkumari Amrit Kaur dari India yang pernah memimpin Majelis Kesehatan Dunia. Selama 10 tahun (1969-1979), ia tercatat sebagai anggota Panitia Pakar WHO untuk Pengawasan Internasional Penyakit Menular.

Sulianti berpulang pada 29 April 1991. Namanya ditabalkan menjadi nama rumah sakit khusus penyakit infeksi di Jakarta: RSPI Sulianti Saroso.

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Prev
Bagaimana Aristoteles bisa Menyelamatkan Kita?

Bagaimana Aristoteles bisa Menyelamatkan Kita?

Pada tahun 1995, dalam sebuah pidato berjudul “Visions for the 21st

You May Also Like
Total
0
Share