Gerakan mahasiswa di Indonesia, dengan segala pasang surutnya, selalu menjadi barometer penting dalam dinamika sosial dan politik bangsa. Dan dalam mengarungi sejarah panjang perjuangan bangsa, Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) menawarkan sebuah kerangka pikir mendalam, yang terangkum dalam Trilogi CGMI: Studi, Organisasi, dan Revolusi.
Ketiga pilar ini, jika dipahami dan diaktualisasikan secara benar, memiliki relevansi yang tak terbantahkan, terutama ketika kita menelusuri kaitannya dengan konsep intelektual organik dari pemikir Marxis Italia, Antonio Gramsci, dalam konteks gerakan mahasiswa kontemporer di Indonesia.
Trilogi CGMI yang berlandaskan pada studi, organisasi, dan revolusi bukanlah sekadar slogan, melainkan sebuah epistemologi dan strategi perjuangan yang utuh. Studi menjadi fondasi pertama. Ini berarti berkomitmen pada pembelajaran yang mendalam dan berkelanjutan. Bukan hanya belajar dalam konteks formal perkuliahan, melainkan juga mengkaji realitas sosial, menganalisis akar masalah ketidakadilan, menelaah teori-teori kritis, serta memahami sejarah perjuangan. Studi adalah proses penyadaran intelektual, di mana mahasiswa tidak hanya menjadi konsumen informasi, melainkan produsen pengetahuan yang mampu menguraikan kompleksitas masalah dan merumuskan visi perubahan. Tanpa studi yang mendalam, gerakan akan kehilangan arah, mudah terprovokasi, dan rentan terhadap narasi-narasi dangkal.

Setelah studi, pilar kedua adalah organisasi. Pengetahuan yang diperoleh dari studi tidak akan berarti tanpa wadah kolektif untuk mengaktualisasikannya. Organisasi adalah medium di mana individu-individu yang telah tercerahkan berkumpul, menyatukan kekuatan, merumuskan strategi bersama, dan mengonsolidasikan potensi. Ini mencakup pembangunan struktur yang solid, kaderisasi yang berkelanjutan, pembagian peran yang jelas, dan pengembangan kapasitas internal. Organisasi menjadi jembatan antara gagasan dan aksi, memastikan bahwa energi kolektif tersalurkan secara efektif dan terarah. Tanpa organisasi, setiap aksi akan bersifat sporadis dan tidak berkelanjutan. Ibarat bara api yang cepat padam tanpa adanya kayu bakar yang terstruktur.
Puncak dari Trilogi CGMI adalah revolusi. Konsep revolusi di sini, dalam konteks CGMI dan Gramsci, tidak selalu harus diartikan sebagai revolusi bersenjata atau penggulingan kekuasaan secara frontal. Revolusi lebih merujuk pada perubahan sosial yang fundamental dan transformatif. Ini adalah upaya sistematis untuk membongkar struktur ketidakadilan, mengubah tatanan sosial, ekonomi, dan politik yang opresif, serta menciptakan masyarakat yang lebih adil dan setara. Revolusi adalah tujuan akhir dari studi dan organisasi, di mana kesadaran yang terbangun dan kekuatan yang terorganisasi diwujudkan dalam aksi nyata untuk mencapai perubahan struktural yang mendalam.
Gramsci dan peran mahasiswa
Dalam menganalisis Trilogi CGMI, konsep intelektual organik dari Antonio Gramsci memberikan landasan teoritis yang sangat relevan. Gramsci berpendapat bahwa dominasi kelas penguasa (hegemoni) tidak hanya ditegakkan melalui kekuatan militer atau hukum (koersi), tetapi juga melalui persetujuan sukarela yang dibangun di ranah ideologi dan budaya. Untuk menantang hegemoni ini dan membangun hegemoni tandingan, dibutuhkan peran intelektual yang terikat langsung dengan kelas atau kelompok yang tertindas—itulah intelektual organik.
Intelektual organik adalah individu yang tumbuh dari rahim perjuangan rakyat, mampu mengartikulasikan kepentingan, nilai-nilai, dan visi dunia kelas yang mereka wakili. Mereka tidak sekadar menafsirkan realitas, melainkan berjuang untuk mengubahnya melalui produksi pengetahuan, penyebaran ide-ide alternatif, dan pengorganisasian massa.

Dalam konteks gerakan mahasiswa, Trilogi CGMI sejatinya adalah proses pembentukan dan penguatan intelektual organik mahasiswa. Melalui studi, mahasiswa mengasah kemampuan analisis dan kritik, membentuk kesadaran kelas, dan merumuskan ide-ide alternatif—ini adalah fungsi dasar seorang intelektual. Kemudian, melalui organisasi, mereka menjelma menjadi kolektif intelektual organik, di mana ide-ide tersebut disistematisasi, disebarluaskan, dan menjadi dasar bagi aksi kolektif. Puncaknya, revolusi adalah manifestasi dari peran intelektual organik dalam mewujudkan perubahan struktural, di mana ide-ide progresif yang mereka hasilkan menjadi kekuatan material yang mampu mengubah masyarakat. Mahasiswa, dengan akses pada pendidikan dan kapasitas intelektual, memiliki potensi luar biasa untuk menjadi intelektual organik bagi rakyat, mengurai masalah-masalah kompleks dan memimpin perjuangan.
Gerakan mahasiswa kontemporer: Potensi, tantangan, dan penyimpangan
Menganalisis kondisi gerakan mahasiswa kontemporer di Indonesia melalui lensa Trilogi CGMI dan intelektual organik Gramsci mengungkap kompleksitas yang menarik. Pasca reformasi 1998, gerakan mahasiswa mengalami fragmentasi yang signifikan, dengan spektrum isu yang lebih luas dan bentuk-bentuk pergerakan yang lebih beragam.
Pertama, tantangan pilar studi
Di era digital ini, akses informasi memang melimpah, namun kedalaman studi seringkali terabaikan. Mahasiswa cenderung cepat bereaksi terhadap isu-isu viral di media sosial tanpa analisis yang mendalam. Fenomena slacktivism atau aktivisme dangkal mengikis esensi studi kritis. Banyak organisasi mahasiswa yang lebih fokus pada aspek seremonial atau mobilisasi instan daripada menggarap serius program-program kajian, diskusi, dan riset yang substantif. Akibatnya, mahasiswa kehilangan kemampuan untuk merumuskan narasi yang kuat, mengidentifikasi akar masalah yang kompleks, dan menawarkan solusi yang visioner. Ini menghambat pembentukan intelektual organik yang mampu memimpin perubahan.
Kedua, tantangan pilar organisasi
Aspek organisasi juga menghadapi tantangan besar. Meskipun terdapat berbagai organisasi mahasiswa (BEM, UKM, organisasi ekstra kampus), banyak di antaranya yang terjebak dalam rutinitas birokrasi kampus, politisasi internal yang pragmatis, bahkan konflik sektarian. Kurangnya kaderisasi yang serius, lemahnya disiplin organisasi, dan minimnya program penguatan kapasitas internal membuat organisasi mahasiswa cenderung rapuh dan tidak berkelanjutan. Jaringan media sosial memang mempermudah mobilisasi, namun seringkali mengorbankan kedalaman konsolidasi dan militansi organisasi. Ini mengikis potensi mahasiswa untuk menjadi kekuatan kolektif yang terorganisir menuju revolusi sosial.
Ketiga, tantangan pilar revolusi (perubahan struktural)
Gagasan revolusi sebagai perubahan fundamental kini terasa semakin jauh dari realitas gerakan mahasiswa. Banyak aksi yang hanya bersifat reaktif dan sporadis, tanpa visi jangka panjang untuk perubahan struktural. Mahasiswa seringkali terjebak dalam tuntutan parsial atau pragmatis, tanpa mampu mengintegrasikannya ke dalam agenda perubahan yang lebih besar. Ini diperparah oleh kecenderungan untuk berorientasi pada isu-isu populer dan minimnya keberanian untuk menantang struktur kekuasaan yang mapan, sehingga aksi-aksi yang ada cenderung hanya menjadi “ritual” tanpa dampak transformatif.

Praktik-praktik menyimpang yang menggerus integritas dan relevansi
Di tengah berbagai tantangan, integritas gerakan mahasiswa semakin terkikis oleh praktik-praktik menyimpang serius, yang secara langsung bertentangan dengan esensi intelektual organik dan Trilogi CGMI.
Satu, disogok dan infiltrasi kepentingan eksternal
Ini adalah salah satu bahaya terbesar. Mahasiswa yang seharusnya menjadi suara nurani rakyat dan independen, justru rentan disogok oleh kekuatan politik, korporasi, atau pihak-pihak dengan agenda tersembunyi.
- penerimaan dana tak transparan
Organisasi atau individu mahasiswa menerima sokongan dana dari pihak luar tanpa kejelasan sumber dan tujuan, yang pada akhirnya mempengaruhi posisi kritis mereka terhadap isu tertentu atau bahkan menghentikan gerakan. Ini secara langsung merusak pilar organisasi dan mengkhianati tujuan revolusi.
- Mobilisasi bayaran
Munculnya indikasi mobilisasi massa mahasiswa yang didasarkan pada imbalan finansial, bukan kesadaran ideologis, harus diwaspadai. Demonstrasi atau aksi yang didorong oleh motif materi akan kehilangan legitimasi moral dan tidak akan pernah mencapai perubahan fundamental.
- Penunggangan isu
Isu-isu rakyat yang seharusnya murni diperjuangkan, justru dimanfaatkan atau “ditunggangi” oleh elite politik untuk kepentingan elektoral atau kelompok tertentu. Mahasiswa menjadi alat yang pasif ketimbang agen perubahan yang aktif.
- Pecah belah internal
Pihak-pihak eksternal sengaja memecah belah kekuatan mahasiswa dengan membiayai kelompok tandingan atau menyebarkan disinformasi, melemahkan pilar organisasi dari dalam.
Dua, oportunisme dan pencarian panggung
Beberapa individu dalam gerakan mahasiswa terjun bukan karena idealisme murni, melainkan untuk mencari popularitas, koneksi politik, atau batu loncatan karier. Mereka cenderung memilih isu-isu yang “seksi” dan berpotensi viral, tanpa komitmen jangka panjang terhadap perubahan. Ini mengikis esensi studi yang mendalam dan semangat pilar revolusi yang sesungguhnya.
Tiga, internalisasi birokrasi dan apatisme kampus
Terlalu sering, organisasi mahasiswa terjebak dalam rutinitas program kampus dan birokrasi, kehilangan keberanian untuk bersikap kritis terhadap kebijakan kampus atau isu-isu yang lebih luas. Lingkungan kampus yang cenderung apolitis dan individualistis juga turut berkontribusi pada penurunan semangat studi dan organisasi yang militan.
Empat, minimnya kemandirian intelektual
Alih-alih menjadi produsen pengetahuan dan pemikiran kritis (bagian dari studi), banyak mahasiswa cenderung hanya menjadi pengulang jargon atau penerima informasi tanpa filter. Ini menunjukkan kegagalan dalam membentuk intelektual organik yang mampu menganalisis secara independen dan merumuskan gagasan-gagasan orisinal untuk revolusi.
Praktik-praktik menyimpang ini, secara fundamental bertentangan dengan prinsip intelektual organik Gramscian yang menekankan integritas, kemandirian, dan keberpihakan pada rakyat. Ketika mahasiswa tersuap atau termanfaatkan, mereka berhenti menjadi agen perubahan dan justru menjadi bagian dari masalah yang seharusnya mereka lawan.

Revitalisasi gerakan mahasiswa
Untuk mengembalikan relevansi dan integritas gerakan mahasiswa, revitalisasi Trilogi CGMI harus menjadi prioritas utama.
Pertama, penguatan studi secara fundamental. Ini berarti menghidupkan kembali tradisi literasi kritis yang mendalam, baik melalui kajian-kajian internal organisasi, diskusi publik, maupun riset-riset kolaboratif. Mahasiswa harus kembali menjadi “peneliti” sosial yang mampu mengurai kompleksitas masalah, mengidentifikasi akar ketidakadilan, dan merumuskan solusi yang terarah. Program-program school of thought atau sekolah-sekolah rakyat harus menjadi agenda utama untuk membentuk kesadaran ideologis yang kuat, bebas dari pengaruh dangkal media sosial. Ini adalah cara membentuk intelektual organik yang mandiri.
Kedua, pembangunan organisasi yang kokoh, transparan, dan militan. Organisasi mahasiswa harus direformasi agar lebih partisipatif, akuntabel, dan bebas dari praktik suap serta kepentingan eksternal. Perlu ada mekanisme internal yang kuat untuk mencegah korupsi dan oportunisme. Kaderisasi harus dilakukan secara serius, tidak hanya berorientasi pada jabatan, melainkan pada pembentukan kader-kader yang berintegritas, berdedikasi, dan memiliki pemahaman ideologis yang kuat. Pembangunan aliansi strategis antar-organisasi mahasiswa yang dilandasi prinsip-prinsip perjuangan bersama juga menjadi krusial untuk mengonsolidasikan kekuatan dan mencapai efek yang lebih besar dalam mencapai revolusi.
Ketiga, mengarahkan penggerakan menuju revolusi (perubahan struktural) yang substantif. Aksi-aksi mahasiswa tidak boleh lagi bersifat sporadis dan hanya reaktif. Setiap aksi harus didasari oleh analisis yang mendalam (dari studi), didukung oleh kekuatan organisasi yang solid, dan diarahkan pada tujuan perubahan struktural yang jelas. Ini bisa diwujudkan melalui advokasi kebijakan yang terencana, kampanye edukasi massal yang sistematis, pendampingan komunitas secara berkelanjutan, atau bahkan pengembangan inisiatif ekonomi alternatif. Konsep revolusi harus dipahami sebagai proses pembangunan hegemoni ide-ide progresif di tengah masyarakat, bukan sekadar protes sesaat.
Sebagai kesimpulan, Trilogi CGMI—Studi, Organisasi, dan Revolusi—adalah cetak biru abadi bagi gerakan mahasiswa yang ingin menjadi agen perubahan sejati. Ketika disandingkan dengan konsep intelektual organik Gramsci, kita memahami bahwa mahasiswa memiliki peran historis yang strategis sebagai pemikir, pengorganisir, dan penggerak bagi rakyat yang tertindas.
Gerakan mahasiswa kontemporer dihadapkan pada tantangan serius dalam mengaktualisasikan Trilogi ini, terutama dalam hal kedalaman studi, kekokohan organisasi, dan orientasi pada revolusi yang substansial. Ancaman praktik-praktik menyimpang seperti suap, infiltrasi kepentingan eksternal, dan oportunisme semakin menggerus integritas dan relevansi mereka.
Namun, potensi mahasiswa untuk menjadi intelektual organik yang relevan dan disegani tetaplah besar. Dengan kembali pada akar Trilogi CGMI, yaitu komitmen pada studi yang mendalam, pembangunan organisasi yang berintegritas dan militan, serta pengarahan aksi pada tujuan revolusi atau perubahan struktural yang fundamental, mahasiswa dapat kembali menemukan posisi historis mereka sebagai garda terdepan perubahan sosial. Bukan hanya sebagai penyampai aspirasi, melainkan sebagai produsen pengetahuan, penggerak kesadaran, dan arsitek bagi masa depan yang lebih adil dan beradab.
Relevansi Trilogi CGMI dan intelektual organik Gramsci bukan sekadar catatan kaki sejarah, melainkan panggilan untuk aksi yang berkelanjutan bagi gerakan mahasiswa Indonesia hari ini dan di masa depan.