Seni, Sensor, dan Kembalinya Bayang-bayang Orde Baru

Seni selalu jadi medan perang. Di tangan negara, ia bisa jadi alat hegemoni, membentuk kesadaran kolektif yang patuh. Tapi di tangan rakyat, seni mampu berubah jadi senjata, membongkar narasi kekuasaan dan menjelma sebagai alat perlawanan. Itulah sebabnya negara selalu waspada. Setiap nada yang mengganggu stabilitas, setiap goresan yang mempertanyakan kekuasaan, akan dihadang.

Pelarangan pameran seni di Galeri Nasional dan intimidasi terhadap lagu Bayar Bayar Bayar karya Sukatani bukan insiden sepele. Ini pola. Upaya sistematis untuk membungkam seni yang melawan.

Pada 19 Desember 2024, pameran tunggal Yos Suprapto di Galeri Nasional dibatalkan. Lima dari 30 lukisannya dianggap berbahaya. Bukan karena vulgar, bukan karena mengandung ujaran kebencian, tapi karena menampilkan sosok yang terlalu populer. Galeri Nasional, institusi yang seharusnya jadi ruang bebas berekspresi, justru tunduk pada tekanan.

Lagu karya Sukatani, Bayar Bayar Bayar hanya menceritakan realitas rakyat kecil. Tapi bagi aparat, lagu itu terlalu tajam. Intimidasi datang, pelarangan halus diberlakukan, seolah ada batas tak kasat mata yang tidak boleh dilanggar.

Ini bukan sekadar represi spontan. Ini cara negara mengontrol wacana. Dulu Orde Baru melakukannya dengan lagu-lagu nasionalisme, film, dan heroisme militer. Imajinasi kolektif dikunci: negara selalu benar, rakyat harus patuh. Kini, metode itu hidup kembali, dengan wajah yang lebih halus.

Sensor tidak selalu datang dalam bentuk larangan eksplisit, tapi melalui tekanan administratif, kooptasi, dan pembungkaman ekonomi. Pameran dibatalkan, lagu dicekal, mural kritis dihapus dalam semalam.

Tapi seni selalu menemukan jalannya. Di Chile, Víctor Jara tetap menyanyikan lagu perlawanan hingga jemarinya dihancurkan di stadion yang berubah jadi tempat penyiksaan. Di Nigeria, Fela Kuti menantang kediktatoran dengan afrobeat yang begitu tajam hingga militer membalasnya dengan kekerasan brutal. Mercedes Sosa diasingkan, tapi suaranya tetap menggema di hati rakyat Argentina.

Di Eropa Timur, The Plastic People of the Universe dipenjara karena lirik-liriknya mengganggu stabilitas rezim komunis. Tapi justru dari lagu-lagu mereka, gerakan bawah tanah tumbuh, akhirnya menggulingkan kekuasaan. Gilberto Gil dan Caetano Veloso di Brasil mengalami represi serupa, tapi musik Tropicália mereka tetap jadi api yang membakar semangat perlawanan.

Di Indonesia, kisahnya sama. Darah Juang dan Buruh Tani bukan sekadar lagu. Itu manifesto perlawanan mahasiswa dan buruh di masa kediktatoran Orde Baru. Iwan Fals dengan Bento dan Sore Tugu Pancoran menghadapi represi di puncak kariernya. Wiji Thukul, penyair yang bersuara untuk rakyat kecil, dihilangkan tanpa jejak di akhir kekuasaan Orde Baru.

Dari seni rupa, Gerakan Seni Rupa Baru di era 70-an melawan dominasi negara atas ekspresi artistik. Di jalanan, mural dan grafiti jadi medium perlawanan yang tak bisa dibendung. Tapi pola represi tetap sama: mural kritis dihapus, seniman diawasi, narasi alternatif dikebiri.

Dan kini, selain membungkam seni, negara juga memperkuat cengkeramannya dengan membawa militer kembali ke ranah sipil. Penunjukan Mayor Jenderal TNI Novi Helmy Prasetya sebagai Direktur Utama Perum Bulog dan Teddy Indra Wijaya sebagai Sekretaris Kabinet hanya dua contoh. Ini bukan sekadar pengisian jabatan, tapi sinyal: peran militer dalam pemerintahan sipil semakin besar.

Orde Baru menempatkan militer bukan hanya sebagai alat pertahanan, tapi juga aktor politik dan ekonomi. Kini, pola yang sama mulai terlihat. Dengan alasan stabilitas dan efektivitas, semakin banyak perwira aktif dan purnawirawan ditempatkan dalam berbagai jabatan strategis.

Semakin banyak militer masuk ke ranah sipil, semakin kabur batas antara demokrasi dan otoritarianisme. Kita harus bertanya: apakah ini langkah sementara, atau benih yang akan tumbuh menjadi pola pemerintahan yang lebih otoriter?

Seni adalah garis pertahanan terakhir. Ia bukan sekadar ekspresi, tapi propaganda tandingan. Jika negara takut pada nada dan kanvas, maka kita tahu di mana letak kekuatannya.

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Prev
Partai Kiri di Jerman Bangkit Berkat Medsos

Partai Kiri di Jerman Bangkit Berkat Medsos

Koalisi yang dipimpin Friedrich Merz ini meraih 28,60 persen suara

Next
Politik Radikal Oscar Wilde

Politik Radikal Oscar Wilde

Di balik sarkasme dan punchline-nya yang tajam, Wilde sebenarnya lagi ngajak

You May Also Like
Total
0
Share