Rwanda, Dulu Dikoyak Genosida Kini Jadi Negara Terbersih

Rwanda, negeri Afrika tengah yang pernah dikoyak konflik etnis, kini mulai menatap masa depan cerah.

Tragedi yang menewaskan ratusan ribu jiwa, memaksa negara di jantung Afrika ini untuk membangun kembali bangsanya dari nol dan menjaga identitas nasional baru. Kini, Rwanda telah bertransformasi secara mengagumkan, tidak hanya menjadi negara terbersih di Afrika tetapi juga salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi teratas di dunia.

Pada 2013, Kepala Program Lingkungan PBB, Erik Solheim, menyebut Kigali, Ibu Kota Rwanda, sebagai kota terbersih di bumi ini. Pada 2022, Drew Binsky, blogger yang sudah mengelilingi 197 negara di dunia, menyebut Rwanda sebagai negara terbersih di dunia.

Belajar dari masa kelam

Rwanda, seperti negara-negara Afrika pada umumnya, punya masa lalu yang kelam. Negara penghasil kopi dan teh itu pernah dikoyak-koyak oleh konflik etnis yang berujung genosida.

Terjadi pada 1994, konflik etnis antara Hutu dengan Tutsi menggiring Rwanda dalam tragedi pembantaian massal terparah dalam sejarah modern Afrika. Diperkirakan 491 ribu- 800 ribu warga Rwanda keturunan Tutsi menjadi korban genosida.

Seorang anak di depan kuburan massal korban genosida di Rwanda, 1994. Kredit: Geneva International Centre for Justice

Konflik ini berakar dari perpecahan yang ditanamkan sejak masa penjajahan Belgia pada 1916. Saat itu, pemerintah kolonial menerbitkan kartu identitas yang membedakan warga berdasarkan etnis. Etnis Tutsi yang minoritas dianggap lebih unggul dan diberi akses lebih baik ke pendidikan dan pekerjaan, yang secara perlahan menyulut kebencian dari etnis mayoritas Hutu. Puncaknya adalah setelah kematian Presiden Juvénal Habyarimana, seorang Hutu, pada 6 April 1994, yang memicu pembersihan etnis terbesar di Afrika modern.

Setelah Front Patriotik Rwanda (FPR) berhasil merebut kekuasaan, keadaan Rwanda pelan-pelan pulih kembali. Pada akhir 1996, pemerintahan FPR mulai menciptakan payung hukum untuk mengadili para pelaku genosida.

Pada 2000, Paul Kagame, tokoh penting pendiri FPR, menjadi presiden. Setahun kemudian, Kagame menghidupkan yang disebut “pengadilan Gacaca” untuk menyelesaikan kasus genosida.

Alih-alih hendak menulis ulang sejarah dengan tone positif, Rwanda tak melupakan masa kelamnya. Mereka mau belajar dari masa kelam itu agar tidak berulang. Dan tentu saja, agar tak berulang, genosida itu harus dikutuk dan pelakunya diadili.

Foto-foto mereka yang menjadi korban genosida. Kredit; New York Times

Peran sentral “Umuganda”

Begitu berkuasa, Kagama menghidupkan kembali Umuganda, yang dalam bahasa Kinyarwanda berarti “berkumpul bersama untuk kepentingan umum”. Tradisi asli masyarakat Rwanda ini mirip dengan gotong-royong di Indonesia.

Pada hari Sabtu terakhir setiap bulan, rakyat Rwanda diwajibkan untuk kerja bakti mulai dari jam 08.00 hingga jam 11.00.

Selama waktu tersebut, semua warga negara yang berbadan sehat dengan usia 18 hingga 65 tahun wajib berpartisipasi. Mereka turun ke jalan untuk membersihkan lingkungan, memperbaiki fasilitas umum seperti sekolah dan klinik, hingga membangun rumah bagi kelompok rentan.

Kerja bakti ini bersifat wajib. Pada hari itu, toko-toko, pabrik, kantor pemerintah, hingga transportasi umum berhenti selama tiga jam. Mereka yang tidak ikut kerja bakti akan dikenai denda.

“Kami melakukan Umuganda untuk menyelesaikan masalah ini tanpa menginvestasikan uang. Kami menggunakan sumber daya dan orang-orang kami,” terang Richard Kubana, Direktur Jenderal di Kementerian Pemerintah Daerah (Minaloc).

Inisiatif ini bukan hanya tentang kebersihan fisik. Menurut Ismael Buchanan, dosen dari University of Rwanda, Umuganda menjadi alat untuk memupuk kembali rasa persatuan dan identitas nasional yang sempat terkoyak oleh konflik.

Umuganda, kerja bakti ala Rwanda. Kredit: Flickr/Burera District

Pelopor kebijakan lingkungan

Sejak 2008, Rwanda menjadi salah satu negara pertama di dunia yang melarang total penggunaan kantong plastik dan bahan kemasan non-biodegradable. Hingga kini, masyarakat hanya menggunakan tas dari kertas, kain, atau bahan lain yang ramah lingkungan.

Kebijakan itu disertai dengan pembatasan pembuatan, impor, maupun perdagangan kantong plastik. Ada sanksi bagi pihak-pihak yang melanggar kebijakan ini. Selain itu, ada insentif bagi perusahaan yang mendukung pembuatan dan penggunaan kemasan ramah lingkungan.

Kota Kigali, yang menjadi simbol Rwanda, ditata ulang. Pemukiman kumuh dihilangkan, jalan-jalan diperlebar, taman-taman diperbanyak.

Proses penggusuran pemukiman kumuh disertai dengan proses relokasi ke pemukiman baru yang lebih layak dan tertata rapi. Jalanan kota dibersihkan dari pedagang kaki lima, pengamen, maupun gelandangan. Tidak sedikit hal itu dilakukan melalui proses paksa yang mengundang kritik organisasi pemerhati HAM.

Tidak hanya itu, pemerintah juga menggalakkan program reboisasi besar-besaran untuk mencapai target tutupan hutan hingga 30 persen dari total luas lahan. Ekosistem penting seperti hutan Nyungwe, Gishwati, dan Mukura direstorasi dan ditingkatkan statusnya menjadi taman nasional, yang kini menjadi motor penggerak sektor pariwisata.

Komitmen untuk generasi mendatang

Sebagai negara yang berkembang pesat, Rwanda sadar akan tantangan perubahan iklim. Untuk mencapai visi ekonomi rendah karbon pada 2050, negara ini membentuk Green Fund, sebuah dana investasi inovatif untuk mendukung proyek-proyek hijau.
Selain soal kebersihan, Rwanda juga punya prestasi lain. Tingkat korupsi di negeri ini termasuk terendah di Afrika. Skor Indeks Persepsi Korupsinya adalah 53 dan menempati peringkat 49 dunia. Jauh di atas Indonesia (skor 34/peringkat 110).

Selain itu, Indeks Kesetaraan Gender juga cukup bagus: peringkat 12 dunia dengan skor 0,794. Sebanyak 61,3 persen anggota DPR Rwanda adalah perempuan. Di kabinet, 55 persen menteri juga perempuan.

Kota Kigali, Ibukota Rwanda, sangat bersih dan tertata rapi. Kredit: X.com/AfricaFirst

Sejak keluar dari konflik, Rwanda mengalami “economic boom”. Ekonominya melaju cepat. Pertumbuhan ekonomi rata-rata dari tahun 2000-2019 adalah 7,12 persen.

Kisah Rwanda adalah bukti nyata ketahanan dan visi. Dari puing-puing tragedi kemanusiaan, mereka tidak hanya membangun kembali negara, tetapi juga menciptakan sebuah model pembangunan yang selaras dengan alam dan berkomitmen untuk memberikan kesejahteraan bagi generasi mendatang.

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Prev
Kisah Restorasi Meiji Mengubah Jepang Jadi Negara Maju

Kisah Restorasi Meiji Mengubah Jepang Jadi Negara Maju

Asap hitam mengepul dari cerobongnya, sebuah pemandangan yang tak pernah

You May Also Like
Total
0
Share