Realitas Ekonomi Nasional: Beban Fiskal Gemoy dan Ambisi Makan Siang Gratis

Pengumuman pailitnya PT Sri Rejeki Isman Tbk atau Sritex, harus menjadi alarm bagi ekonomi Indonesia, khususnya sektor manufaktur di bidang garmen dan tekstil.

Bagaimana tidak, Sritex adalah ikon industri tekstil nasional yang mempekerjakan kurang lebih 50 ribu buruh. Kalau perusahaan sebesar ini bisa pailit dan bangkrut, tentu UMKM di sektor yang sama juga bisa mengalami hal yang sama.

Tentu saja apa yang terjadi pada Sritex tidak bisa menggambarkan realitas ekonomi nasional secara umum. Harua diakui ada fakta terdapat efek domino dari dampak pendemi Covid-19, perang, dan ketidakstabilan situasi geopolitik global. Berbagai kondisi ini harus diwaspadai sebagai ancaman ekonomi serius bagi pemerintahan baru Prabowo Subianto.

Menurunnya daya beli dan kelas menengah Indonesia

Efek domino dan tidak stabilnya situasi geopolitik global, bukan hanya memakan korban seperti perusahaan atau korporasi besar. Fakta lain, bisa kita lihat dari hilangnya sekitar 10 juta kelas menengah di Indonesia, serta turunnya daya beli masyarakat.

Dua fenomena ini menjadi perhatian dan isu penting di kalangan ekonom Tanah Air. Sebab keduanya saling terkait dengan fenomena yang lebih besar dan ancaman bagi pertumbuhan ekonomi nasional, salah satunya jebakan pendapatan kelas menengah (middle-income trap), yang dapat menghambat pertumbuhan ekonomi jangka panjang Indonesia ke depan.

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), penurunan jumlah individu yang tergolong kelas menengah tercatat 57,33 juta orang pada 2019 menjadi sekitar 47,85 juta pada 2024. Anjloknya kelas menengah di Indonesia ini juga berkorelasi dengan turunnya daya beli masyarakat. Berdasarkan data yang juga dirilis BPS, Indonesia saat ini menghadapi tantangan serius dalam daya beli masyarakat. Ini terlihat dari data deflasi selama lima bulan berturut-turut pada 2024, yang menunjukkan penurunan harga, terutama di sektor makanan dan minuman.

Selain itu, data Purchasing Managers’ Index (PMI) di sektor manufaktur juga memasuki zona kontraksi sejak Juli 2024, dengan angka 49,2 pada September 2024. Kondisi ini mengindikasikan surplus inventaris akibat penurunan permintaan. Data ini juga didukung oleh penurunan penjualan sepeda motor sebesar 4,1% serta pertumbuhan kredit yang tercatat negatif. Fakta dan data-data ini semakin memperjelas penurunan konsumsi di kalangan masyarakat.

Namun yang unik, turunnya daya beli masyarakat dalam lima bulan terakhir ini juga dibarengi dengan berakhirnya pemilu: pilpres dan pileg 2024. Ini artinya, pertumbuhan kurang lebih 5% tahun ini tidaklah organik, bukan disebabkan oleh daya beli masyarakat secara langsung, melainkan ditopang oleh belanja akibat pemilu. Hal ini tentu saja harus menjadi perhatian pemerintahan dan Kabinet Merah Putih yang dinakhodai Prabowo Subianto.

Sebab efeknya dapat menciptakan siklus negatif, di mana berkurangnya daya beli menyebabkan penurunan permintaan. Situasi ini bisa mengakibatkan ancaman jangka panjang terhadap stabilitas ekonomi nasional jadi semakin terlihat nyata. Hal ini tentu saja akan berimbas langsung pada pengeluaran konsumsi rumah tangga yang sampai saat ini menjadi penyumbang hampir 60% dari PDB.

Gemoynya beban fiskal negara pada 2025

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengindikasikan adanya pelebaran defisit anggaran 2025 menjadi 2,45-2,8% atau naik dari defisit 2024 yang diperkirakan mencapai 2,29% terhadap perekonomian atau produk domestik bruto (PDB).

Ini artinya, ada kemungkinan sumber penerimaan negara dari pajak tidak mampu menutupi kebutuhan anggaran belanja tahun 2025. Nah, salah satu caranya adalah dengan melebarkan defisit dan menambah utang.

Yang membikin situasi ini makin menantang adalah beban fiskal Indonesia yang semakin berat dengan adanya utang jatuh tempo pada 2025, yang diperkirakan mencapai sekitar Rp 800 triliun. Menghadapi pembayaran utang ini, pemerintah biasanya mengadopsi pendekatan campuran, yaitu pembayaran dengan sumber dari APBN dan mekanisme rollover.

Walaupun belum pasti mekanisme atau sumber membayar utang jatuh tempo 2025 ini dari APBN atau menggunakan mekanisme rollover, namun, sebagai gambaran, dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia telah melakukan rollover untuk sekitar 30-50% dari total utang jatuh tempo.

Pendekatan rollover ini harus dilakukan sangat hati-hati, karena meskipun memungkinkan pemerintah untuk menghindari pembayaran tunai secara penuh melalui APBN, skema ini akan menambah beban utang di masa depan. Karena rollover berarti menerbitkan utang baru untuk melunasi utang yang jatuh tempo. Ini sama saja membayar utang dengan utang atau gali lubang tutup lubang. Dampaknya, lama-kelamaan apabila tidak mampu dikendalikan, bisa menjadi bom waktu.

Selain utang yang jatuh tempo, situasi geopolitik yang memanas di Timur Tengah, seperti perang Israel dan Iran, memanasnya negara-negara Teluk, perang Rusia-Ukraina yang masih akan berlanjut (sembari menunggu hasil pilpres AS, yang akan berdampak pada jalannya perang), juga harus diwaspadai. Ketidakpastian ini tentu masih akan memberi dampak pada fluktuasi harga energi dan pangan. Efeknya, bisa mempersulit dan menambah beban fiskal negara apabila harga energi dunia, seperti minyak dan komoditas lainnya naik akibat perang yang membuat suplai dan rantai pasok jadi terhambat.

Terjebak program ambisius dan populer

James M. Buchanan, seorang peraih Nobel Ekonomi, menyebut bahwa pemilih (rakyat) cenderung terlena oleh kebijakan dan belanja yang ”berpihak” pada mereka. Namun, untuk merealisasikannya, ada harga yang harus ikut ditanggung dan tidak disadari rakyat. Mereka kerap tak menyadari risiko fiskal yang harus ditanggung di kemudian hari akibat belanja tersebut.

Di tengah ketidakstabilan situasi geopolitik global yang mempunyai dampak berantai terhadap ekonomi dalam negeri dan menyempitnya ruang fiskal negara, program ambisius nan populis “makan siang gratis” pemerintahan Prabowo Subianto tentu saja mempunyai dampak yang tidak sederhana.

Pertama, beban anggaran yang berkelanjutan. Meskipun program ini mungkin menghasilkan manfaat secara langsung terhadap masyarakat, tapi biaya operasional yang terus meningkat dapat membebani anggaran negara dalam jangka panjang. Situasi ini tentu saja dapat mengarah pada defisit anggaran yang berkelanjutan.

Program makan siang gratis ini perlu dihitung sangat detail dan komprehensif, karena bukan hanya membebani ruang fiskal yang besar. Misalnya, dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024, total anggaran diperkirakan sekitar Rp 3.500 triliun. Jika kita menggunakan rentang alokasi yang diperkirakan antara Rp 50 triliun hingga Rp 75 triliun, maka proporsi alokasi ini menjadi sekitar 1,4% hingga 2,1% dari total anggaran.

Kedua, kondisi lain yang harus diperhatikan ialah akibat yang ditimbulkan. Ini harus menjadi perhatian serius pemerintahan Prabowo sebelum benar-benar melaksanakan program ambisius tersebut, mulai dari alokasi anggaran, teknis implementasi atau pelaksanaan. Sebab aspek geografis Indonesia yang luas dan beragam, dampak sosial seperti ekosistem di sekolah dan sekitar sekolah, UMKM pelaku katering, hingga harga bahan pokok yang akan melonjak, karena tingginya permintaan bahan baku.

Di lain sisi, realitas pertumbuhan ekonomi yang melambat dalam bayang-bayang krisis global, PHK, inflasi, dan penurunan daya beli juga harus menjadi perhatian serius. Jangan lupakan juga dua bidang yang tak kalah penting dalam menunjang peningkatan SDM yaitu pendidikan dan kesehatan. Oleh sebab itu, jangan sampai ambisi karena terjebak janji politik nan populis malah menjadikan bumerang dan berakibat semakin menjauhkan dari cita-cita Indonesia Emas 2045.

Jangan sampai juga, ambisi program dan janji politik hanya akan memperparah situasi ekonomi rakyat. Sebab kita ketahui bersama jika ambisi dan program-program ini tidak diimbangi dengan pertumbuhan ekonomi yang kuat atau peningkatan penerimaan negara, maka bisa menciptakan risiko fiskal jangka panjang karena rasio utang terhadap PDB akan terus meningkat.

Di samping itu, meningkatkan penerimaan melalui pajak (PPN) juga akan berisiko menambah beban rakyat, serta memperparah situasi. Dan sebagai penutup dari tulisan ini, ada adagium klasik yang cocok menggambarkan situasi ini, there is no such thing as free lunch. Tidak ada makan siang gratis di dunia ini.

Total
0
Shares
Comments 2
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Prev
Asal-Usul Slogan “Rakyat Bersatu, Tak Bisa Dikalahkan!”

Asal-Usul Slogan “Rakyat Bersatu, Tak Bisa Dikalahkan!”

Pekik “Rakyat bersatu, tak bisa dikalahkan!

Next
Dengan Ketoprak, Tjipto Menghajar Feodalisme

Dengan Ketoprak, Tjipto Menghajar Feodalisme

Dalam buku Takashi Shiraishi, Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat Di Jawa

You May Also Like
Total
0
Share