Presiden dan Ijazahnya

Awalnya, riuh rendah polemik tentang ijazah mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tak begitu menarik perhatian saya. Belakangan, isu ini semakin gaduh, bahkan berujung ke pengadilan.

Saya sebetulnya orang yang tak begitu peduli dengan keaslian ijazah Jokowi. Sebab, bagi saya, ijazah tak menjadi satu-satunya bukti kecakapan politik seseorang.

Seperti kata sastrawan Pramoedya Ananta Toer dalam sebuah wawancara dengan majalah Playboy: Sekolah itu kan jalan untuk jadi pegawai. Untuk mimpin partai enggak perlu sekolah. Bangkit, jatuh, bangun, berkembang bersama partainya. Yang benar itu.

Menurut Pram, sekolah bagi pemimpin politik itu yang terpenting adalah pengalaman. Ia bisa belajar dari keadaan. Ia mengerti dari dekat kehidupan bangsanya. Dan, yang terpenting, ia memiliki kemampuan untuk menerjemahkan denyut penderitaan dan bisik harapan rakyatnya menjadi sebuah tindakan politik nyata.

Sebagian mungkin tak setuju dengan pernyataan Pram. Namun, di Amerika Latin, pernyataan Pram itu menemui kebenarannya. Sejumlah pemimpin politik lahir dari gerakan rakyat. Meski pendidikan formalnya tidak tinggi, tetapi kapasitas politiknya tak bisa diremehkan. Salah satunya, Lula da Silva.

Pada 2002, Lula menorehkan sejarah baru dalam politik Brasil. Sebagai seorang aktivis buruh yang tak lulus sekolah dasar (SD), ia berhasil memenangkan pemilu. Dia menjabat presiden selama dua periode (2003–2011). Meski tak lulus SD, ia menjadi salah satu presiden paling populer dalam sejarah Brasil. Program anti-kemiskinannya, Bolsa Família, dianggap yang paling sukses oleh Bank Dunia dan ditiru oleh banyak negara.

Lula da Silva kecil dan saudara perempuannya. Kredit: Instituto Lula

Perjalanan Lula da Silva tidak dimulai dari ruang-ruang seminar atau perpustakaan megah universitas. Ia memulainya dari Caetés, sebuah kota kecil yang kering, di dalam sebuah keluarga yang koyak oleh kemiskinan ekstrem. Ayahnya adalah bayangan kelam yang larut dalam alkohol, sementara ibunya, Dona Lindu, menjadi satu-satunya tiang penyangga, seorang perempuan tangguh yang kaya akan ajaran moral meski miskin harta. Dari ibunyalah, Lula belajar tentang martabat dan kerja keras, pelajaran pertama yang tak akan pernah ia temukan di sekolah mana pun.

Tekanan kemiskinan mendorong keluarganya mencoba mengadu nasib ke Sao Paulo, menumpang mobil bak terbuka selama 13 hari. Perjalanan itu mereka sebut “jalan menuju kebahagiaan”, sebuah harapan yang ironisnya segera dipatahkan oleh kerasnya realitas kota besar.

Di kota terbesar di Brasil itu, ibunya menghidupi anak-anaknya dengan memunguti beras yang jatuh di gudang penggilingan. Sebuah pekerjaan yang dilakoni ibunya untuk menyambung napas anak-anaknya.

Lula sempat mencicipi bangku sekolah. Ia anak yang cerdas. Namun, kehidupan memaksanya memilih: buku atau nasi? Di kelas empat, ia menyerah pada pilihan kedua. Ijazah sekolah dasar pun tak pernah ia genggam. Jalanan menjadi kampusnya, tempat ia belajar bertahan hidup sebagai tukang semir sepatu hingga pedagang asongan.

Beranjak remaja, dia sempat bekerja di usaha laundry pakaian. Tetapi pekerjaan itu hanya cukup untuk membuatnya bisa bertahan hidup, tidak cukup untuk mengubah hidupnya menjadi lebih baik.

Lula da Silva sebagai aktivis buruh. Kredit: Instituto Lula

Namun, seperti kebanyakan anak-anak jelata di Amerika Latin, Lula menemukan hiburan hidupnya dengan bermain sepak bola. Di lapangan hijau, ia menjadi striker andal. Meskipun, ia selalu bermain dengan kaki telanjang.

Di usia 14 tahun, Lula mencoba peruntungan nasib dengan mengikuti kursus kerja di National Industrial Learning Service (SENAI)―semacam Balai Latihan Kerja (BLK) di Indonesia.

Pada 1961, dia lulus dan mendapat sertifikat sebagai operator bubut. Dia kemudian bekerja di sebuah pabrik suku cadang mobil. Sayang, di usia 19 tahun, akibat kecelakaan kerja di pabrik itu, Lula kehilangan jari kelingkingnya.

Pabrik dan lingkungan kerja merupakan universitas baginya. Dan, serikat buruh menjadi dosen paling berharga baginya. Lula mengenal gerakan buruh dari kakaknya, Frei Chico, seorang aktivis serikat buruh kiri. Lula pun bergabung dengan serikat buruh metal São Bernardo.

Di sinilah, seluruh pengalaman pahitnya menemukan sebuah saluran, sebuah suara, dan sebuah tujuan. Ia tidak lagi berjuang sendirian untuk bertahan hidup; ia mulai berjuang bersama-sama untuk kehidupan yang lebih baik.

Saat Brasil jatuh ke tangan diktator militer pada 1964, ruang demokrasi menyempit, dan serikat buruh pun dikontrol ketat. Justru di bawah tekanan inilah, bintang Lula mulai bersinar. Ia merangkak naik, dari anggota biasa hingga pada 1975 terpilih menjadi presiden Serikat Buruh Metal São Bernardo yang beranggotakan ratusan ribu orang.

Suatu hari di tahun 1979, Lula berdiri di Stadion Morumbi, menyaksikan pertandingan sepak bola. Ia bukan hanya melihat para pemain, tetapi juga menyaksikan puluhan ribu penonton yang memadati tribun. Sebuah imajinasi liar melintas di benaknya: bagaimana jika kerumunan ini bukan penonton bola, tetapi barisan buruh yang sedang mogok? Ia melihat kekuatan massa yang terorganisir.

Lula da Silva ditangkap karena aksi pemogokan. Kredit: Instituto Lula

Lula bukan pemimpi. Ia adalah seorang organisator. Ia membawa imajinasinya ke dunia nyata, mengorganisir pemogokan besar di Stadion Vila Euclides. Di hadapan ratusan ribu buruh, ia berorasi. Tanpa pengeras suara, suaranya menggelegar, membakar semangat, dan memukau semua yang mendengar. Gaya dan isi orasinya memiliki daya pikat magis. Ijazahnya bukan dari kertas, melainkan dari kepercayaan yang tumbuh di hati kaum pekerja.

Pada Hari Buruh Sedunia 1979, Lula kembali mengerakkan ratusan ribu buruh ke stadion.

Tahun 1980-an, Lula memimpin pemogokan buruh yang berlangsung 81 hari. Aksi yang melibatkan 140 ribu buruh itu mengguncang kekuasaan rezim militer.

Ketokohannya yang menjulang membuatnya menjadi musuh rezim. Ia dipenjara. Saat berada di balik jeruji besi, kabar duka datang: ibunya, Dona Lindu, meninggal dunia. Dengan kawalan polisi, ia menghadiri pemakaman perempuan yang menjadi kompas moral hidupnya. Ujian ini tidak mematahkannya, tetapi justru memperkuat tekadnya.

Bersama para akademisi, seniman, dan aktivis, ia mendirikan Partai Buruh (PT) pada 1980, disusul dengan berdirinya serikat buruh kiri terbesar di Brasil, CUT, pada 1983. Ia mencoba peruntungannya dalam pemilu presiden 1989, 1994, dan 1998, namun selalu kalah, salah satunya oleh seorang intelektual terkemuka. Pertarungan antara si buruh putus sekolah melawan sang profesor.

Hingga akhirnya, pada pemilu 2002, seiring gelombang “pasang merah” yang melanda Amerika Latin, Lula berhasil menang. Sejarah baru telah ditulis. Seorang aktivis buruh, yang bahkan tidak tamat SD, berhasil menjadi presiden Brasil.

Dan, di sinilah ia menunjukkan ijazah sejatinya. Bukan dalam bentuk pidato-pidato muluk, melainkan dalam kebijakan nyata. Ia meluncurkan program Bolsa Família, sebuah bantuan tunai bersyarat yang legendaris. Program ini bukan sekadar bansos, melainkan sebuah investasi pada martabat manusia, menolong jutaan keluarga miskin. Ia menyalurkan kredit lunak bagi petani kecil.

Lula da Silva berbicara dalam kampanye Partai Buruh. Kredit: Instituto Lula

Hasilnya adalah tesis terbaik yang pernah ditulis seorang pemimpin. Bank Dunia, lembaga yang sering kali berseberangan dengan politisi kiri, mengakui keberhasilannya. Angka kemiskinan di Brasil turun drastis, dari 27 persen pada 2003 menjadi 7 persen pada 2009. Saat krisis global menghantam dunia pada 2009, ekonomi Brasil justru tumbuh perkasa 7,5 persen, melahirkan kekuatan ekonomi baru dalam BRICS.

Kisah Lula da Silva adalah refleksi kuat tentang hakikat kepemimpinan. Ia mengajarkan kita bahwa ijazah terpenting seorang pemimpin tidak dicetak di atas kertas, tetapi ditempa dalam empati yang lahir dari penderitaan, diuji dalam keberanian melawan ketidakadilan, dan disahkan oleh meningkatnya kesejahteraan rakyat yang dipimpinnya. Itulah hakikat ijazah yang sesungguhnya bagi seorang pemimpin.

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Prev
Mengurai Benang Kusut Ketimpangan di Balik Janji Kerakyatan

Mengurai Benang Kusut Ketimpangan di Balik Janji Kerakyatan

Dalam beberapa waktu terakhir, publik disuguhi berbagai inisiatif “program

You May Also Like
Total
0
Share