Politik Fesyen dalam Panggung Publik Kita

Di zaman digital dan serba visual seperti sekarang, penampilan bukan lagi sekadar urusan estetika, tetapi telah menjadi bagian dari komunikasi politik. Para politisi, aktivis, bahkan birokrat semakin sadar bahwa apa yang mereka kenakan bisa berbicara lebih nyaring daripada pidatonya.

Di sinilah “politik fesyen” beroperasi: bagaimana cara berpakaian digunakan untuk menyampaikan pesan, membentuk citra, atau menarik simpati publik.

Fenomena ini memang bukan hal baru, namun sekarang menjadi semakin eksplisit. Lihat saja bagaimana busana adat dikenakan saat momen-momen penting di Istana Negara, di parlemen, atau bagaimana tokoh politik memilih tampil dengan gaya kasual saat turun ke lapangan. Seolah-olah setiap lipatan kain dan warna pakaian telah melalui kalkulasi strategis. Politik tidak lagi hanya disampaikan lewat kata dan kebijakan, tetapi juga lewat kain dan gaya.

Ada sisi lain dari hal ini yang tak kalah menarik, yakni fesyen politik. Ini adalah ketika dunia fesyen justru mengambil inspirasi dari realitas politik, menjadikannya tema, simbol, bahkan alat kritik. Kita bisa menyaksikan peragaan busana dengan tema demokrasi, kaus dengan kutipan pasal-pasal konstitusi, hingga jaket bertuliskan tuntutan sosial. Dunia mode seakan tidak mau ketinggalan menyuarakan pendapatnya terhadap ketimpangan atau ketidakadilan.

Sayangnya, politik fesyen dan fesyen politik kerap terjebak dalam simbolisme semata. Penampilan bisa dikurasi begitu rupa untuk menampilkan kesan “merakyat” atau “progresif”, tetapi tanpa komitmen nyata pada isu yang diangkat.

Seorang pejabat bisa mengenakan sarung dan berpeci saat kampanye, lalu lupa memperjuangkan kepentingan masyarakat setelah menjabat. Di sini, fesyen menjadi alat manipulasi, bukan refleksi nilai.

Di sisi lain, fesyen politik yang dibentuk oleh aktivisme seringkali direduksi hanya sebagai tren gaya. Kaus bergambar tokoh pejuang atau slogan perlawanan menjadi item fesyen yang dipakai tanpa pemahaman akan makna historisnya. Apa yang semula dimaksudkan sebagai ajakan reflektif berubah menjadi ornamen kosong. Resistensi diremehkan sebagai estetika.

Tetapi, kita tidak bisa serta-merta menolak peran penting fesyen dalam politik. Ia tetap punya potensi menjadi ruang ekspresi dan perlawanan, selama maknanya tidak dipinggirkan oleh sensasi. Politik fesyen bisa memperkuat narasi, bila tidak jatuh pada gimmick. Fesyen politik bisa membangkitkan kesadaran, bila tak dikerdilkan sebagai gaya.

Penting bagi publik untuk lebih kritis. Apakah politisi yang mengenakan pakaian daerah benar-benar menghormati nilai lokal, atau hanya sekadar tampil fotogenik? Apakah desainer yang mengangkat tema HAM dalam koleksinya memahami substansi isu tersebut, atau hanya ikut-ikutan momentum? Di era serbavisual, kesadaran kita diuji untuk melihat di balik lapisan kain ini.

Idealnya, politik fesyen dan fesyen politik bertemu di tengah: mengaburkan batas antara representasi dan substansi, tetapi tanpa kehilangan integritas. Mode bisa menjadi sarana pembebasan, bukan sekadar dekorasi. Ia bisa menjembatani pesan dengan massa, membumikan isu-isu besar dalam bentuk yang kasatmata.

Kita tidak bisa memisahkan politik dari fesyen, karena keduanya saling mempengaruhi. Yang perlu dijaga adalah kejujuran di baliknya. Apakah kain yang dikenakan adalah simbol perjuangan, atau sekadar topeng pencitraan? Di situlah letak ujian moralnya.

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Prev
Zohran Mamdani, Anak Muda Kiri yang Mengguncang Politik New York

Zohran Mamdani, Anak Muda Kiri yang Mengguncang Politik New York

Ia bernama Zohran Kwame Mamdani, baru berusia 33 tahun, mewakili predikat paling

Next
Gus Ulil, Ini Bahaya Ekstraktivisme

Gus Ulil, Ini Bahaya Ekstraktivisme

“Negeri-negeri yang maju biasanya maju karena tambang yang lain

You May Also Like
Total
0
Share