Orang Mentawai di Pulau Siberut, Sumatara Barat. Kredit foto: Andrew Newey

Pengakuan terhadap Masyarakat Adat

Pada September 2023, masyarakat adat Brazil merayakan kemenangan kecil. Hari itu, Mahkamah Agung Brazil membatalkan azas “Marco Temporal” atau “Argumen Batas Waktu” yang menjadi dalih untuk merampas tanah adat.

Menurut hukum ini, masyarakat adat hanya boleh mengajukan klaim atau batas tanah adat jika mereka menempatinya sebelum 5 Oktober 1988 (hari penetapan Konstitusi Brazil). Jadi, tanah kosong atau sudah ditempati oleh pihak lain tidak bisa lagi menjadi hak adat. Tanah itu menjadi milik negara. Argumentasinya mirip sekali dengan asas Domein Verklaring warisan Hindia-Belanda.

Masalahnya, sebelum tanggal 5 Oktober 1988 itu, ada banyak kasus perampasan dan pengusiran masyarakat adat, terutama di bawah rezim militer. Banyak tanah adat yang dirampas untuk kepentingan agro-bisnis. Masyarakat adat itu kembali ke tanah adatnya pasca 1988 dan setelahnya.

Di Brazil, ada 1,7 juta orang yang disebut masyarakat adat. Mereka menempati 14 persen wilayah negeri itu, yang sebagian besar berada di kawasan Amazon. 

Di bawah pemerintahan Lula da Silva, masyarakat adat terus memperjuangkan tanahnya. Tercatat, sejak memulai pemerintahannya tahun 2023 lalu, Lula sudah mengakui dan mengesahkan 10 wilayah adat. 

Itu sangat kontras dengan pemerintahan sebelumnya. Jair Bolsonaro, seorang bekas tentara dan condong fasis, yang berkuasa dari 2019-2023, berjanji tidak akan mengakui atau menyerahkan sejengkal tanah pun kepada masyarakat adat.

Pada periode pertama Lula da Silva (2003-2011), ia menyerahkan 18,6 juta tanah kepada masyarakat adat. Termasuk satu kawasan yang kontroversial, Raposa Serra do Sol.

Di Indonesia, berdasarkan catatan AMAN, ada 2.161 komunitas adat dan meliputi 4,54 juta orang. Sementara menurut Amnesty International, ada lebih dari 70 juta masyarakat adat atau 25 persen dari populasi Indonesia. Mereka terdiri atas 2.422 komunitas adat di 31 provinsi.

Meski jumlahnya cukup besar, tetapi perlindungan terhadap masyarakat adat masih sangat minim. Meskipun sudah diperjuangkan sejak 2003, lalu masuk proses legislasi DPR sejak 2009, RUU masyarakat adat belum disahkan hingga kini.

Padahal, di bawah panji-panji pembangunan, masyarakat adat kerap terpinggirkan. Tidak sedikit Proyek Strategis Nasional (PSN) yang menggusur hak masyarakat adat, tak terkecuali proyek IKN. Belum lagi, pemberian izin investasi dan ekspansi agro-bisnis yang tak terkendali.

Berdasarkan catatan AMAN, dari 2017 hingga 2022, setidaknya ada 301 kasus perampasan wilayah adat. Luasnya mencapai 8,5 juta hektar. Dari konflik itu, ada 672 masyarakat adat yang mengalami kriminalisasi. Ini belum termasuk kasus-kasus yang baru meletup, termasuk kriminalisasi tokoh adat Dolok Parmonangan di Simalungun, Sumatera Utara. Juga perjuangan masyarakat adat Awyu dan Moi, dari Papua, yang tengah tengah memperjuangkan hutan adat di Jakarta.

Setiap tahun, pada ritual Hari Nasional, termasuk upacara HUT Kemerdekaan RI, kostum masyarakat adat dikenakan oleh pejabat tertinggi negara, tetapi kebijakan untuk melindungi masyarakat adat sangat minim.

Merujuk data Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) per 18 Maret 2024, sudah ada 28,2 juta hektar dari 1.452 peta wilayah adat dari yang telah teregistrasi. Namun, pemerintah pusat via KLHK baru menetapkan hutan adat seluas 244.195 hektar.

Tentu saja, ini miris sekali. Mereka yang hidup turun-temurun dari leluhurnya, menempati sebuah wilayah jauh sebelum kolonialisme dan negara RI terbentuk, membentuk nilai-nilai sosial, tradisi, sistem hukum, bahkan cara mengorganisasikan ekonomi sendiri, justru ditinggalkan dan diabaikan, bahkan diusir dan dikriminalisasi. 

Padahal, Indonesia merdeka didirikan di atas cita-cita sebagai negara yang inklusif, yang menjadi rumah bersama semua anak bangsa tanpa memandang suku, agama, ras, gender, dan lain-lain. Prinsip inklusivitas itu juga menjadi jiwa UUD 1945. Sayang, penerjemahannya dalam kebijakan politik belum mencakup masyarakat adat.

Karena itu, negara ini butuh payung hukum khusus untuk menaungi eksistensi dan hak-hak masyarakat adat. Prinsip utama dari Undang-Undang itu haruslah pengakuan (rekognisi) terhadap eksistensi dan hak-hak masyarakat adat. 

Pengakuan ini berdiri di atas fakta bahwa masyarakat adalah komunitas yang sudah ada jauh sebelum Republik Indonesia ada, yang memiliki wilayah, sistem hukum, sistem kepercayaan, kekayaan tradisi, sistem pengetahuan dan lain-lain. 

Dalam naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia, mereka seharusnya diberikan otonomi untuk menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai dengan sistem hukum, kepercayaan, pengetahuan dan tradisi yang mereka anut.

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Prev
Perempuan Jepang dalam Perjuangan Pembebasan Palestina

Perempuan Jepang dalam Perjuangan Pembebasan Palestina

Kalau kamu pikir perjuangan Palestina cuma urusan orang Arab atau Islam, think

Next
Perjuangkan Kesejahteraan, Komunitas Ojol Siap Menangkan Pram-Doel

Perjuangkan Kesejahteraan, Komunitas Ojol Siap Menangkan Pram-Doel

Nasib pekerja platform, termasuk ojek online (ojol), masih jauh dari sejahtera

You May Also Like
Total
0
Share