Serangan mendadak Israel pada 13 Juni pagi lalu, yang merupakan serangan paling nekat di wilayah Iran dalam beberapa dekade terakhir, sebenarnya ingin meniru keberhasilan masa lalu mereka di Lebanon. Tapi kali ini, serangan itu tak berhasil.
Pagi itu, jet tempur Israel membombardir sejumlah lokasi di Iran. Akibatnya, 60 warga sipil tewas di sebuah apartemen, beberapa ilmuwan nuklir top dan komandan militer senior dibunuh, serta sejumlah infrastruktur pertahanan udara dan nuklir terkena hantaman.
Serangan ini adalah eskalasi yang sangat berisiko, meniru model Israel di Lebanon pada September 2024. Saat itu, mereka sukses menyingkirkan pimpinan pasukan elite Hizbullah (unit Radwan), termasuk membunuh Sekjen Hassan Nasrallah dan penerusnya, Hashem Safieddine.

Gagal ditiru
Strategi “shock and awe”―doktrin militer yang bertujuan untuk mengalahkan musuh melalui penggunaan kekuatan besar dan cepat, dengan tujuan untuk melumpuhkan musuh secara fisik dan psikologis―ala Israel ini memang sempat efektif di Lebanon karena intel mereka sudah masuk sangat dalam. Tapi di Iran, yang mereka hadapi adalah negara dengan daya tahan jauh lebih kuat.
Presiden AS, Donald Trump juga pernah menekan Iran lewat strategi “maximum pressure”: gabungan sanksi berat, ancaman militer, dan negosiasi. Tujuannya, memaksa Iran tunduk pada kemauan sepihak Washington. Namun, itu juga gagal.
Strategi semacam ini pernah diterapkan dalam perang Ukraina–Rusia setelah negosiasi buntu, lewat operasi-operasi jarak jauh dan serangan langsung ke wilayah dalam Rusia.
Iran sudah lama memperkirakan kemungkinan diserang dengan pola yang sama seperti serangan Israel ke Hizbullah. Maka, mereka menyiapkan sistem penggantian kilat untuk para komandan militer yang gugur. Meski begitu, Israel tetap berhasil mengejutkan Iran secara taktis melalui infiltrasi dan sabotase dari dalam negeri.

Respons cepat dari Tehran
Tapi Iran tidak tinggal diam. Dalam waktu 72 jam, mereka langsung melakukan tiga serangan balasan besar. Sistem pertahanan udara diaktifkan kembali, unit drone disiagakan, dan pos-pos komando utama dipulihkan. Video dan foto serangan balik Iran terhadap target-target Israel langsung menyebar di dunia maya—sebagai tanda bahwa mereka sudah bangkit, dan menyampaikan pesan strategis.
Respons Iran yang cepat dan tegas membuat Trump yang awalnya terlihat antusias mendukung Netanyahu, bahkan sempat menggoda untuk bernegosiasi lagi atau mungkin ikut perang dengan kalkulasi “pasti menang”, berubah haluan jadi netral. Ia buru-buru ingin menurunkan tensi.
Tapi Iran tegas: setiap agresi Israel selalu dianggap tidak terpisah dari dukungan AS. Mereka sudah lama menyatakan bahwa kampanye militer Israel tidak mungkin terjadi tanpa dukungan logistik, intelijen, dan operasional dari Washington. Sementara itu, Netanyahu terus mencoba menyeret AS ke dalam agendanya untuk menggulingkan rezim Iran. Tapi Trump dan pihak lain kini makin hati-hati.
Senjata Kunci Iran: Selat Hormuz
Strategi Iran sangat jelas: jika AS ikut menyerang, maka prinsipnya adalah “keamanan untuk semua atau tidak ada sama sekali.” Ini mencakup keamanan laut, pasokan energi, dan pangkalan militer AS di kawasan.
Mohsen Rezaei, mantan komandan tertinggi Garda Revolusi Iran (IRGC), menyampaikan: “Amerika dan Eropa harus segera berhenti bersembunyi di balik Israel. Kalau tidak, mereka juga bisa kena. Pesawat mereka, entah itu milik Inggris, Prancis, atau AS, bisa saja ditembak jatuh. Kalau ini terjadi, eskalasi bisa makin serius. Dan kami sudah siap.”
Dia juga menambahkan, “Kami memang tidak ingin jadi pihak yang memulai, tapi kami siap jadi pihak yang menyelesaikan. Jika dukungan ke Israel terus berlanjut, bisa saja para pendukung itu ikut terseret ke dalam konflik.”
Iran punya banyak pilihan pertahanan dan serangan—baik konvensional maupun tidak—yang kini mulai mereka pertimbangkan secara serius setelah baku tembak terbaru ini.
Seperti kata Mohammad-Javad Larijani, penasihat senior pemimpin tertinggi Iran: “Ada satu aturan lama di Teluk Persia, jika fasilitas minyak kami diserang, maka tak akan ada negara lain yang bisa mengekspor minyak.”
Salah satu taktik yang mungkin digunakan adalah menutup Selat Hormuz—jalur penting pengiriman minyak dunia. Ini sudah disampaikan oleh Brigadir Jenderal Esmail Kowsari dari Komisi Keamanan Nasional Parlemen Iran.

Untuk diketahui, Selat Hormuz adalah jalur air sempit yang menghubungkan Teluk Persia dengan Teluk Oman dan Laut Arab. Selat ini adalah satu-satunya rute laut bagi negara-negara besar penghasil minyak di Teluk Persia untuk mengirimkan komoditas mereka ke pasar global. Negara-negara seperti Arab Saudi, UEA, Kuwait, Irak, dan Qatar sangat bergantung pada jalur ini.
Sekitar 20-25 persen dari total konsumsi minyak dunia atau sekitar sepertiga dari seluruh minyak yang diperdagangkan melalui laut melewati Selat Hormuz setiap hari. Ini setara dengan sekitar 17-21 juta barel per hari. Bayangkan, jika selat ini ditutup, seperti apa dampaknya secara ekonomi terhadap negara teluk, Eropa, dan dunia?
Selain itu, sepertiga dari pasokan LNG global juga melintasi selat ini, terutama dari Qatar, salah satu eksportir LNG terbesar di dunia.
Pada titik tersempitnya, lebar selat ini hanya sekitar 39 kilometer. Jalur pelayaran untuk kapal tanker raksasa bahkan lebih sempit lagi, hanya sekitar 3 km di setiap arah. Kondisi ini membuatnya sangat rentan terhadap blokade atau gangguan militer.
Salah membaca medan Iran
Israel salah kalkulasi besar saat mengira strategi Lebanon bisa diterapkan begitu saja di Iran. Ada beberapa kesalahan besar:
Pertama, kekuatan militer Iran sangat besar. Pembunuhan terhadap salah satu pemimpinnya hanya butuh pergantian cepat. Berbeda dengan Hezbollah yang lebih kecil, sebuah organisasi milisi yang mengandalkan rantai komandonya pada seorang pemimpin tertinggi, Iran punya struktur militer luas, pengalaman panjang, dan sistem cadangan yang dalam. Jadi membunuh beberapa komandan tidak akan melumpuhkan pertahanan nasional.
Kedua, Iran terlalu besar untuk dikuasai. Secara geografis, wilayah Iran sangat luas. Meski ada serangan ke bagian barat, namun sebagian besar infrastruktur vital mereka tersebar di wilayah tengah dan timur. Doktrin militer mereka memang didesain untuk kondisi ini.
Ketiga, intelijen Israel tidak sepenuhnya unggul. Memang mereka berhasil menyusup ke beberapa lingkaran komando, tapi tidak sampai mendominasi penuh. Setelah serangan, pasukan keamanan Iran berhasil membongkar beberapa sel mata-mata yang diduga menjadi penyebab ledakan-ledakan sebelumnya. Beberapa di antara mereka sudah dieksekusi mati lewat pengadilan singkat.

Senjata rahasia Iran: Solidaritas nasional
Kesalahan terbesar Israel mungkin ada di sini: mereka mengira serangan dari luar akan memicu perlawanan dari dalam, semacam pemberontakan kelompok separatis atau oposisi. Ini seperti bermimpi Iran akan senasib dengan Libya dan Suriah, ada oposisi internal yang kuat.
Sejarah membuktikan, rakyat Iran, bahkan yang paling kritis dan beroposisi terhadap pemerintah, biasanya justru bersatu saat diserang dari luar. Ini bukan karena propaganda negara, tapi karena ingatan kolektif tentang perang, invasi, dan isolasi.
Dalam tiga hari, Israel telah membunuh 224 warga Iran, sebagian besar sipil, dan menghancurkan banyak bangunan tempat tinggal. Provokasi sebesar ini tentu punya konsekuensi. Dan dalam konflik ini, kekuatan penangkal Iran bukan cuma senjata, tapi juga semangat sosial dan persatuan nasional.
Perang yang belum usai
Saat ini situasinya masih cair. Israel menyerang, Iran membalas. Tapi yang lebih penting, serangan ini menunjukkan batas kemampuan militer Israel ketika berhadapan dengan negara berdaulat yang punya pertahanan dalam dan rakyat yang siap dimobilisasi.
Negara-negara Barat yang sebelumnya bungkam saat Israel menggempur Gaza, kini mulai turun tangan secara diplomatis. Washington sedang panik mencegah perang meluas. Dulu pasif, sekarang aktif menengahi. Sementara Netanyahu terus mendorong AS agar ikut campur, demi menghantam program nuklir Iran dan menjatuhkan pemerintahannya.
Tapi Iran sudah menarik garis tegas. Menteri Pertahanan Aziz Nasirzadeh menyatakan: “Kami siap penuh dan akan mendukung pasukan kami dengan segala cara. Kami siap untuk pertempuran yang berlangsung bertahun-tahun.”
Seperti halnya konflik besar lainnya, ujungnya belum pasti. Tapi apakah perang ini akan membesar atau malah mandek jadi ketegangan regional, kini bergantung bukan pada Israel—melainkan apakah AS mau ikut masuk ke dalam api atau tidak.
Ali Salehian, peneliti senior di lembaga kajian Governance and Policy yang berafiliasi dengan Universitas Teknologi Sharif. Ia juga sedang menempuh studi doktoral (PhD) di Universitas Tarbiat Modarres, Teheran, Iran.
Diterjemahkan dari sumber aslinya di https://thecradle.co/