Menemukan Ulang Demokrasi: Dari Agora ke Majelis Rakyat (2)

Menjawab skandal demokrasi berarti menuntut “rethinking” mendalam—menyadari bahwa demokrasi bukan hanya soal pemilihan umum, tetapi antitesis feodalisme dan otoritarianisme.

Plato, di Republic (c. 375 SM), menjelaskan demokrasi lahir dari upaya keluar dari tirani. Ketika warga tertekan oleh kekerasan aristokratik, mereka menuntut kebebasan mendiskusikan hukum bersama. Bagi Plato, demokrasi ideal menekankan pemilihan pemimpin berdasarkan kebajikan, bukan warisan kekuasaan

Konsep demokrasi ini menjadi pertanyaan menarik bagi Immanuel Wallerstein (2001): bagaimana bisa demokrasi, dengan aspirasi radikalnya, kini telah menjadi slogan yang diterima secara umum tanpa isi yang nyata?

Pertanyaan retoris Wallerstein adalah pengingat yang baik bahwa dalam diskusi politik saat ini, demokrasi sering diklaim sebagai produk dari pemikiran liberal melalui revolusi politik besar pada abad ke-17 dan ke-18.

Bill of Rights (1689) sebagai bagian Revolusi Inggris (1642–1651), Declaration of Independence (1776) dalam revolusi Amerika dan Revolusi Prancis (1789) memainkan peranan penting dalam ide awal demokrasi modern yang kemudian berkembang dengan ditandai pemilihan umum, supremasi hukum, dan perlindungan hak individu.

Namun, John Keane menunjukan bahwa demokrasi tidak dapat diklaim sepihak sebagai ide liberal, karena asal-usulnya tak jelas. Ia menulis, “Akar bahasa demokrasi dan kapan kata itu pertama muncul masih misterius.” Keane juga menunjukkan bahwa demokrasi modern punya garis keturunan beragam, dan upaya liberal mengklaim adalah memisahkan pengaruh Afro-Asia dari Yunani Kuno.

David Graeber menambahkan, pemisahan ini bersamaan dengan kemunculan negara modern sebagai cara narasi Eurocentrik mengklaim keunggulan budaya “Eropa”.

Ancient Greece memang terkenal sebagai salah satu masyarakat paling kompetitif dalam sejarah manusia: segala aspek kehidupan—dari olahraga, filsafat, hingga teater tragedi—dibentuk sebagai kontes publik. Oleh karena itu, tak mengherankan jika mereka menjadikan pengambilan keputusan politik sebagai pertunjukan terbuka di agora.

Di sini Graeber dalam tulisannya yang lain menjelaskan bahwa demokrasi seharusnya lebih dari sekadar voting. Ia bilang “demokrasi mayoritas” butuh dua hal: (1) keyakinan semua orang punya suara setara, dan (2) kekuatan koersif untuk menegakkan keputusan.

Sepanjang sejarah, kombinasi ini sangat langka: di masyarakat egaliter tradisional, paksaan dianggap salah, dan diskusi dapat berjalan bebas. Sebaliknya, di kerajaan atau imperium, penguasa mengandalkan kekuatan, bukan kehendak rakyat, dengan dalih ilahi atau militer. Hanya di Athena kuno keduanya bersatu: warga menghargai kesetaraan suara, dan lembaga hukum menjalankan keputusan mayoritas.

Warga Athena yang sah—walaupun terbatas pada laki-laki dewasa yang penuh hak—berkompetisi dengan argumen di depan publik, untuk kemudian memutuskan kebijakan melalui pemungutan suara dan sortition (undian). Dengan begitu, Athena memenuhi kriteria demokrasi mayoritas: semangat egaliter untuk equal say dan aparat koersif yang siap menegakkan keputusan.

Tapi jauh sebelum Athena, Mesopotamia—di Sumer, Akkad, dan Babilonia—sudah punya dewan warga (ukkin atau ekallum). Kepala keluarga dan tokoh masyarakat berdiskusi untuk membuat kebijakan. Marija Gimbutas (1989) menegaskan bahwa sistem ini berfungsi sebagai check and balance terhadap kekuasaan raja, membuktikan bahwa tradisi konsultatif muncul jauh sebelum Athena.

Lalu, Republik Venesia memiliki demokrasi oligarkis. Dewan Besar (Maggior Consiglio) memilih Doge lewat undian dan voting berlapis. Paolo Preto (2000) menyebut ini lebih terbuka dibanding monarki absolut saat itu. Meski tak inklusif, Venesia menunjukkan cara keseimbangan kekuasaan dalam oligarki.

Di Iran Klasik, majelis shura—lembaga konsultatif para ulama dan bangsawan—berperan membatasi kekuasaan khalifah, menegaskan bahwa tradisi demokrasi konsultatif juga berkembang di wilayah Timur sebelum liberalisme Barat memonopoli narasi.

Pasca itu, baru kemudian pada awal abad ke-19, Alexis de Tocqueville melihat demokrasi lewat pemilu, terinspirasi kesetaraan suara di Amerika. Namun di sini, demokrasi sebagai pengetahuan teknis (electoral) secara tidak beralasan disalahartikan sebagai pemahaman politik.

Aristoteles, dalam Politics (c. 350 SM) menegaskan bahwa demokrasi—adalah pemahaman politik—muncul sebagai reaksi terhadap ketidakadilan sosial menuntut representasi setara melawan dominasi aristokrat. Baginya, demokrasi terbaik terwujud bila kekuasaan dibatasi aturan dan berbentuk “polity”—di mana sortition (undian) sebagai cara memastikan keterlibatan setiap warga, meminimalkan dominasi oleh elite kaya.

Moses Finley menjelaskan pandangan Aristoteles dengan mengamati tradisi Yunani Kuno bahwa pemilihan umum adalah instrumen yang sepenuhnya aristokratis yang dasarnya sepenuhnya bertentangan dengan gagasan demokrasi. Ini karena pemilihan umum tidak didasarkan pada praanggapan kesetaraan dan relevansi semua anggota masyarakat, tetapi berasal dari gagasan relevansi memilih yang terbaik, atau aristoi.

Mengingat hal ini, Finley kemudian menilai demokrasi Athena dapat menjadi solusi bagi masyarakat politik kontemporer dengan majelis rakyat, undian, rotasi jabatan, dan juri—sebagai solusi untuk masalah politik modern seperti populisme, kerusakan lingkungan, dan korupsi. Sortition akan dapat membatasi kekuasaan dan menjauhkan oligopoli dari finansial, politik profesional, dan birokrasi.

Dengan demikian, “rethinking democracy” bukan sekadar menyesali skandal electoral. Kita bukan sekadar menegaskan demokrasi hanya sebagai nilai deliberasi, tapi juga demokratis. Pengalaman Athena mengajarkan bahwa ketika persaingan sehat dalam arena publik dipadu dengan aparatus koersif, demokrasi mayoritas dapat terjadi. Namun kita tidak boleh berhenti di situ: warisan

Mesopotamia, Venesia, dan Iran Klasik menunjukkan bahwa tradisi konsultatif dan checks and balances sudah hadir jauh sebelum pemilihan umum menjadi primadona.

Alternatif Radikal: Logic of chance dan majelis rakyat

Untuk mengatasi kekeringan demokrasi liberal yang jauh dari nilai deliberatif dan demokratis, kita perlu alternatif radikal yang membebaskan rakyat dari cengkeraman elite politik. Dua ide utama yang patut diangkat adalah “logic of chance” (logika undian) dan majelis rakyat.

“Logic of chance” berasal dari Aristoteles (c. 350 SM) yang berpendapat: “Pemilihan melalui undian adalah demokratis, sedangkan pemilihan melalui suara bersifat oligarkis,” sebab undian meniadakan keunggulan modal, popularitas, atau koneksi politik. Montesquieu (1748) mendukung, dengan menyebut bahwa undian mampu mencegah korupsi dan dominasi elite, memberi peluang setara pada setiap warga.

Josiah Ober (2008) menunjukkan bahwa di Athena kuno, sortition bukan sekadar undian sembarangan: warga terpilih dilatih singkat dan didampingi ahli, memastikan mereka mampu menjalankan tugas pemerintahan. Lewat rotasi jabatan berbasis undian, Athena mencegah kekuasaan terkonsentrasi pada segelintir orang—setiap warga, tak peduli latar belakang ekonomi, punya kesempatan nyata berpartisipasi.

Di era modern, Robert A. Dahl (1989) dan John Burnheim (1985) menguji ide serupa. Dahl mempelajari dewan kota di AS yang dipilih secara acak dan menemukan kebijakan yang dihasilkan lebih inovatif serta inklusif, bebas dari tekanan partai atau donor. Burnheim mengusulkan “demarchy,” di mana badan publik dibentuk via undian dan diawasi secara berkala melalui aleatory review (pengawasan acak berkala), mencegah oligarki mendikte kebijakan sambil menjaga akuntabilitas,

Di sisi lain, model majelis rakyat—yang muncul pasca Revolusi Paris 1789 dan mencapai puncaknya pada Paris Commune 1871—juga menawarkan alternatif penting. Selama periode 1792–1795, kota-kota Prancis membentuk pemerintahan komunal (commune) yang menekankan prinsip egaliter dan partisipatif: rapat warga diadakan secara langsung, pengawasan oleh komite terbatas, dan pengambilan keputusan dilakukan bersama—tanpa intervensi partai politik hirarkis.

Charles Tilly (2002) menulis bahwa “commune” ini berhasil mendemokratisasi administrasi lokal, meski rapuh karena dikepung kekuatan militer. Ketika Paris Commune 1871 meletus, walaupun singkat, kaum pekerja merasa terwakili oleh komite rakyat yang menetapkan upah berdasarkan kebutuhan dan membuka ruang bagi partisipasi pria dan wanita pekerja. Karl Marx melihat ini sebagai “percikan api” revolusi sosial: di mana rakyat biasa, bukan elite politik, memegang kendali pemerintahan.

Kedua pendekatan ini membuktikan bahwa demokrasi langsung—dengan rakyat sebagai pusat kekuasaan—bukan khayalan, melainkan kenyataan yang pernah dijalani, meski akhirnya runtuh oleh kekuatan luar.

Menggabungkan sortition dan majelis rakyat, kita bisa ciptakan model baru: undian menjamin representasi demokratis merata, sementara majelis rakyat membuka ruang deliberatif yang memperkuat solidaritas sosial.

Penerapannya tak mustahil, setidaknya sebagai harapan di tingkat lokal:

• Sortition di level terbawah

Gunakan undian untuk memilih anggota “Forum Konsultasi Kebijakan Desa” atau “Majelis Rakyat Kecamatan.” Semua warga—petani, nelayan, pemuda, perempuan—punya kesempatan sama untuk ikut menyusun RKPDes atau RAPBD. Anggota terpilih dilatih dasar-dasar kebijakan publik, seperti tata kelola, etika diskusi, dan pemahaman demokrasi, agar kompeten bertugas. Ini memastikan keputusan lokal lahir dari warga biasa, bukan elite.

• Majelis rakyat sebagai arena deliberatif inklusif

Adakan majelis warga rutin di desa atau kelurahan—bukan cuma formalitas musyawarah desa. Rapat ini melibatkan tokoh adat, pemuda, perempuan, pekerja informal, dan kelompok rentan, membahas isu seperti bencana, anggaran desa, atau ekonomi lokal. Dengan pendekatan deliberatif, warga belajar menyelesaikan perbedaan, merancang solusi bersama, dan memastikan elite politik mendengar aspirasi langsung mereka.

• Kebijakan politik-ekonomi redistributif

Agar demokrasi bermakna ekonomi, negara perlu menerapkan pajak progresif pada transaksi finansial dan royalti tambang, lalu alokasikan hasilnya ke Dana Desa atau Dana Kelurahan yang dikelola majelis rakyat. Ini menjamin kekayaan alam dan keuangan mengalir ke komunitas. Insentif pajak untuk koperasi rakyat dan infrastruktur desa harus diprioritaskan, menggantikan subsidi yang hanya menguntungkan elit.

Dengan ini setidaknya penulis yakin kita tidak hanya merevitalisasi demokrasi liberal, tetapi juga menjadikannya alat untuk keadilan sosial dan perlindungan lingkungan, dua isu yang sering diabaikan dalam sistem demokrasi saat ini.

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Prev
Sukarno dan Mimpinya Soal Sepak Bola

Sukarno dan Mimpinya Soal Sepak Bola

Timnas Indonesia berhasil menundukkan Timnas Tiongkok di ajang kualifikasi Piala

You May Also Like
Total
0
Share