Demokrasi sering kita anggap panggung di mana setiap suara warga setara, dan dari sanalah lahir kebijakan yang adil untuk semua. Namun, realitasnya kini menunjukkan demokrasi mulai kehilangan pijakan aslinya—terutama ketika ia dihadapkan pada praktik elektoral yang semakin mahal, eksklusif, dan terpolarisasi.
Di sisi lain kekecewaan terhadap demokrasi dalam politik memicu wacana global yang semakin keras, seperti yang diungkapkan dalam artikel The Atlantic berjudul “Democracy Is Not Dying,” yang justru secara paradoks menyoroti krisis kepercayaan terhadap sistem ini
Di satu sisi, rezim otoriter—seperti di Tiongkok dan Rusia—kian menguat. Di sisi lain, norma-norma demokrasi liberal—hak berdemonstrasi, suara legislatif dan independensi yudikatif—merosot di rezim yang seharusnya berpegang pada prinsip ini.
Bahkan di negara-negara yang tampaknya sedang bertransisi menuju demokrasi, seperti beberapa di kawasan Asia Tenggara, sering kali kita menemukan apa yang disebut “demokrasi illiberal.”
Pemilu diadakan secara rutin, namun seperti di Indonesia, misalnya, demokrasi kian jauh dari cita-cita reformasi. Penangkapan peserta demonstrasi Hari Buruh (May Day) dan intervensi negara terhadap pers adalah contoh nyata penurunan norma demokrasi liberal. Kita menyaksikan jurang antara elite dan rakyat kecil melebar: setiap lima tahun sekali, rakyat dimobilisasi, tetapi sedikit sekali dari mereka yang benar-benar terlibat dalam kebijakan publik.
Dan puncaknya demokrasi telah dikritik gagal dalam mengatasi climate crisis. Baru-baru ini kerusakan yang ditimbulkan penambangan nikel semakin meluas ramai dalam perbincangan publik Indonesia.
Erosi demokrasi ini sulit dipahami oleh pemikir demokrasi liberal. Pemikir liberal, yang pernah optimis pasca-runtuhnya Tembok Berlin sebagaimana diungkapkan dalam Thesis Huntington tentang kemenangan demokrasi liberal, kini harus menghadapi kenyataan bahwa sistem yang mereka konvergensikan ke negara dunia ketiga tidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya.
Banyak yang menyalahkan aktor-aktor jahat—politisi korup atau populis—tanpa menyadari bahwa akar masalahnya terletak pada kegagalan struktural sistem demokrasi itu sendiri.

Wakil Presiden RI Mohammad Hatta memasukkan kertas suara saat Pemilihan Umum 1955. Pemilu 1955 dianggap pemilu paling demokratis dalam sejarah Indonesia. Kredit: IPPHOS
Skandal demokrasi
Alexis de Tocqueville mengatakan pada awal abad ke-19 bahwa “tirani mayoritas” muncul ketika suara terbanyak menindas hak minoritas. Dari pemikiran ini lahir paradoks elektoral: lahirnya pemimpin-pemimpin populis yang menggeser demokrasi menuju otoritarianisme.
Paradox electoral terbukti relevan hari ini, terutama atas munculnya pemimpin populis yang memanfaatkan retorika “anti-asing” atau “anti-elite” untuk membenarkan pelemahan mekanisme dan menyingkirkan checks and balances.
John Keane (2009) menyebut fenomena modern ini “demokrasi cangkang kosong,” di mana ritual pemilu menutupi minimnya substansi partisipasi. Sejak 2.400 tahun sebelumnya, Plato dalam The Republic (c. 375 SM) memperingatkan retorika demagogis dapat mengelabui massa, memanipulasi emosi, dan mendorong keputusan tidak rasional—fenomena “tirani populisme”.
Dalam konteks Indonesia, populisme telah memunculkan undang-undang (UU) yang tampak mewakili “suara rakyat,” namun disusun untuk mengonsolidasikan kekuasaan eksekutif. Ketika pemimpin populis menang tanpa prosedur deliberasi sehat, mereka menekan kebebasan pers, membungkam lembaga pengawas, dan melemahkan perlindungan HAM.
Paradoks demokrasi semakin nyata: proses pemilihan umum (election) yang seharusnya menegakkan kedaulatan rakyat malah melahirkan parlemen dan pemimpin terputus dari akar masyarakat. Sistem elektoral Indonesia, di mana biaya kampanye mencapai puluhan miliar rupiah per kursi legislatif, menghasilkan lembaga legislatif yang berhutang pada konglomerasi dan donor besar.
Survei Litbang Kompas (2023) mencatat 65 persen warga dewasa tidak puas dengan representasi politik, dan 58 persen menyatakan wakil rakyat “tidak peka” terhadap isu-isu mendesak—kenaikan harga pangan, akses kesehatan, hingga krisis iklim.

Krisis iklim menjadi kegagalan utama demokrasi. Menurut World Resources Institute (2022), Indonesia mengalami laju deforestasi 0,7 juta hektare per tahun dan menyumbang 2,3 persen emisi global. Survei Kedaireka–Bappenas (2023) menunjukkan 72 persen publik menilai pemerintah kurang tegas menangani kebakaran hutan dan pelepasan lahan sawit. Meski 70 persen warga mendesak kebijakan hijau—pembatasan izin pembukaan lahan—DPR malah merevisi UU PPLH (2023) sehingga kewajiban reklamasi tambang longgar, mengabaikan krisis iklim demi kepentingan investor.
Kekecewaan publik juga mencakup kegagalan legislasi. IndoBarometer (2023) mencatat hanya 20 persen masyarakat mempercayai partai politik—turun drastis dari 45 persen pada 2014. Banyak UU baru justru merugikan rakyat. UU Cipta Kerja (2020) misalnya memuluskan investasi dengan mengorbankan perlindungan buruh; sedangkan revisi UU KPK (2019) melemahkan pemberantasan korupsi.
Survei LIPI (2023) mengungkap 70 persen responden kecewa karena minimnya uji publik dan pelibatan serikat buruh; yang berujung pada ketimpangan ekonomi kian melebar: Gini coefficient naik dari 0,377 (2019) menjadi 0,381 (2022) (BPS). Demokrasi yang seharusnya mempersempit jurang kaya-miskin justru memelihara oligarki.