Setiap 8 Maret, dunia memperingati Hari Perempuan Sedunia sebagai refleksi atas perjuangan dan pencapaian perempuan dalam berbagai aspek kehidupan. Namun, peringatan ini juga menjadi pengingat akan tantangan yang masih dihadapi, baik secara global maupun di Indonesia, terutama di bawah pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
Secara global, isu kesetaraan gender masih menghadapi hambatan signifikan. Laporan HuffPost Spanyol menunjukkan bahwa pada 2025, kemunduran dalam kesetaraan gender terjadi akibat pengaruh gerakan politik sayap kanan yang ekstrem. Konsensus internasional yang sebelumnya mendorong kesetaraan gender kini dipertanyakan kembali. Hal ini mencerminkan tantangan yang dihadapi perempuan di seluruh dunia.
Di Indonesia, meskipun terdapat peningkatan dalam beberapa indikator, namun ketimpangan gender masih nyata terjadi. Indeks Pembangunan Gender (IPG) Indonesia mengalami kenaikan dari 90,82 pada 2016 menjadi 90,99 pada 2018, mendekati angka 100 yang menunjukkan kesenjangan pembangunan antara laki-laki dan perempuan semakin kecil.
Representasi perempuan dalam posisi manajerial hanya mencapai 11 persen, dan sekitar 4 persen atau 8 orang menjabat sebagai CEO di delapan korporasi besar. Dalam sektor politik, partisipasi perempuan Indonesia masih rendah. Kendala struktural dan budaya patriarki menghambat perempuan untuk berperan aktif dalam politik. Meskipun ada kebijakan kuota 30 persen bagi perempuan dalam pencalonan legislatif, tapi realisasinya masih belum optimal.
Pemerintah Indonesia telah menunjukkan komitmen anggaran untuk pemberdayaan perempuan. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) mendapatkan pagu anggaran sebesar Rp 300,65 miliar untuk tahun anggaran 2025. Anggaran ini dialokasikan untuk 19 fokus prioritas, termasuk penguatan regulasi, pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak, serta pengembangan Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA).
Selain itu, pemerintah mengalokasikan Dana Alokasi Khusus (DAK) nonfisik untuk perlindungan perempuan dan anak. Inovasi ini bertujuan memberikan pelayanan serta melindungi perempuan dan anak melalui instrumen Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Namun, efektivitas penggunaan anggaran tersebut masih menjadi pertanyaan. Penyerapan anggaran yang tidak maksimal dapat menghambat program kerja yang bertujuan meningkatkan kualitas perlindungan perempuan dan anak. Evaluasi terhadap daerah-daerah yang memperoleh anggaran ini perlu dilakukan untuk memastikan tidak ada dana yang disia-siakan.
Pada 2025, pemerintah berkomitmen menurunkan tingkat kemiskinan pada kisaran 7,0 persen–8,0 persen. Komitmen ini tercermin pada pengalokasian anggaran perlindungan sosial yang mencapai Rp 503,2 triliun. Anggaran ini diarahkan untuk mendukung transformasi sosial serta mewujudkan perlindungan sosial yang adaptif, guna mendorong percepatan pengentasan kemiskinan dan penurunan kesenjangan, terutama bagi penduduk miskin dan rentan.
Meski ada upaya dan komitmen anggaran, realisasi di lapangan masih menghadapi tantangan. Penting bagi pemerintah untuk memastikan bahwa anggaran yang dialokasikan benar-benar digunakan secara efektif dan tepat sasaran. Pengawasan dan evaluasi berkala perlu dilakukan untuk menilai dampak program terhadap pemberdayaan perempuan.
Hari Perempuan Sedunia 2025 seharusnya menjadi momentum bagi pemerintah dan masyarakat untuk berkomitmen lebih kuat dalam mewujudkan kesetaraan gender. Melalui langkah konkret dan kolaboratif, diharapkan masyarakat yang adil dan setara dapat terwujud.
Selamat Hari Perempuan Sedunia!