Di tengah deru zaman yang serba digital, gagasan untuk membawa Indonesia melompat ke era kecerdasan buatan, akal imitasi atau artificial intelligence (AI) memang terdengar memukau.
Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka beberapa kali menyuarakan urgensi ini, bahkan berencana memasukkan AI ke dalam kurikulum pendidikan dari SD hingga SMA/SMK. Sebuah visi yang melesat jauh ke depan, membayangkan generasi muda kita fasih berbahasa mesin dan siap bersaing di panggung global.
Namun, di balik kilau visi futuristik itu, ada sebuah ironi besar, sebuah hantu di siang bolong yang datanya terpampang nyata: buta huruf fungsional. Ini bukanlah ketidakmampuan mengeja kata, melainkan ketidakmampuan memahami, menganalisis, dan menggunakan informasi dari apa yang dibaca. Sebuah penyakit kronis yang diam-diam menggerogoti potensi bangsa dari dalam.
Bank Dunia pada 2018 merilis data yang menampar: 55,4 persen populasi Indonesia berusia di atas 15 tahun tergolong buta huruf fungsional. Lebih dari separuh bangsa ini, meski bisa membaca tulisan di layar ponselnya, belum tentu mampu mencerna maknanya secara kritis. Mereka bisa membaca judul berita, tapi mudah terpapar hoaks. Mereka bisa melihat angka-angka dalam kontrak, tapi tak mampu memahami implikasinya. Mereka bisa membaca petunjuk obat, tapi kesulitan mengikuti dosisnya.
Data Asesmen Nasional (AN) 2021 dari Kemendikbudristek sendiri menunjukkan gambaran yang muram: satu dari dua siswa di Indonesia belum mencapai kompetensi minimum literasi. Pada jenjang sekolah menengah pertama (SMP), jumlah siswa yang belum mencapai kompetensi dasar sebesar 45 persen. Sedangkan di tingkat SMA, jumlahnya 42 persen. Miris.
Kondisi ini bergaung nyaring di panggung global. Laporan PISA 2022 menempatkan Indonesia di peringkat 10 besar dari bawah dari 81 negara untuk kemampuan literasi membaca. Skor kita anjlok 12 poin dibandingkan PISA 2018, menunjukkan adanya kemunduran belajar (learning loss) yang signifikan. Ini bukan lagi sekadar angka, melainkan cermin retak dari kapasitas nalar sebuah bangsa. Akibatnya bisa kita rasakan setiap hari. Kemampuan menyaring informasi menjadi tumpul, membuat masyarakat menjadi lahan subur bagi hoaks dan disinformasi. Tak heran jika laporan Indeks Literasi Digital Indonesia 2023 menunjukkan skor pilar “Keamanan Digital” dan “Etika Digital” masih menjadi yang terendah.
Di sinilah letak persoalan fundamentalnya. Ambisi untuk menguasai AI adalah niat baik, tetapi ia seperti ingin membangun sebuah gedung pencakar langit digital di atas fondasi yang keropos. Untuk apa kita memberikan superkomputer kepada generasi yang masih gagap nalar dan miskin daya analisis?
Mengejar tren global tanpa menjejakkan kaki pada realitas pendidikan dalam negeri adalah sebuah kebijakan yang melayang di awang-awang. Kebijakan pendidikan yang hebat bukanlah yang paling canggih, melainkan yang paling menapak tanah—yang mampu menjawab persoalan paling mendasar terlebih dahulu.
Dan, pertaruhannya kini menjadi taruhan masa depan bangsa, karena puncak bonus demografi menanti kita di antara tahun 2030 hingga 2040. Di hadapan kita ada dua gerbang: gerbang emas atau gerbang bencana. Gerbang emas hanya bisa terbuka jika jutaan anak muda yang membanjiri angkatan kerja adalah individu yang produktif, kritis, dan inovatif. Kunci untuk itu adalah kemampuan literasi fungsional yang kuat, yang akarnya ada pada kualitas pendidik, di mana hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) pun menunjukkan tantangan besar yang belum terselesaikan.
Tanpa pembenahan fundamental ini, kita akan terdorong masuk ke gerbang bencana. Bonus demografi akan menjelma menjadi malapetaka demografi: jutaan manusia usia produktif yang tidak produktif, yang mudah diadu domba oleh polarisasi politik, yang kesulitan bersaing bahkan untuk pekerjaan paling dasar, dan pada akhirnya menjadi beban sosial dan ekonomi. Sebuah bom waktu yang detaknya semakin kencang.
Maka, mas Gibran, dengan segala hormat, visi tentang AI itu penting sebagai tujuan jangka panjang. Namun, perjalanan seribu langkah menuju masa depan harus dimulai dengan satu langkah paling pertama dan paling vital. Selesaikan dulu fondasinya. Berantas buta huruf fungsional dengan kebijakan yang masif dan terukur, yang berpusat pada revolusi kualitas guru, perbaikan infrastruktur belajar yang timpang, dan penciptaan budaya membaca kritis di sekolah dan keluarga.
Karena revolusi sejati tidak dimulai dari coding, ia dimulai dari kemampuan reading dan reasoning. Jangan sampai kita sibuk mengajari anak-anak cara berbicara dengan mesin, sementara kita lupa mengajari mereka cara berpikir sebagai manusia.