Panggung politik hari ini terasa semakin sesak. Ia dipenuhi oleh manusia politik yang merangkap sebagai pencari kekayaan. Politik, yang semestinya menjadi jalan pengabdian, kini lebih mirip arena balap untuk menumpuk harta dan memamerkan kemewahan.
Di tengah gemerlap hidup para pejabat negara dan politikus di parlemen, munculnya sosok manusia politik sederhana terasa seperti dongeng sebelum tidur. Indah untuk dikenang, namun terasa mustahil untuk ditemukan.
Tapi, sejarah bangsa ini pernah merekam sebuah masa yang berbeda. Sebuah era di mana politik adalah gelanggang penderitaan, dan para pelakunya tak berbeda dengan rakyat kebanyakan. Mereka adalah para pemikir yang hartanya adalah buku, serta para pejuang yang istananya adalah rumah kontrakan di gang-gang sempit. Dan, jika kita mencari poster utama dari generasi emas itu, wajah Haji Agus Salim akan muncul di barisan paling depan.
Lahir di Koto Gadang, Sumatera Barat, 8 Oktober 1884, dari keluarga jaksa dan hakim di zaman kolonial, Agus Salim merupakan anak dengan “privilege” di masanya. Orangtuanya punya jabatan terhormat di masanya sebagai jaksa.

Di masa mudanya, dia merupakan lulusan Hogere Burgerschool (HBS) Batavia dengan nilai tertinggi di seluruh Hindia Belanda. Tokoh yang menguasai tujuh bahasa ini sempat punya pekerjaan mentereng sebagai penerjemah di Kongsi Pertambangan hingga Konsulat Belanda di Jeddah.
Namun, Haji Agus Salim memilih meninggalkan semua zona nyaman itu, lalu memilih terjun ke gelanggang penuh penderitaan: dunia pergerakan. Konon ceritanya, ia adalah agen Belanda yang berupaya disusupkan ke tubuh Sarekat Islam (SI). Tujuannya untuk mengawasi organisasi yang sedang mekar di Hindia Belanda ini.
Namun, nasib berkisah lain. Ia terpukau dengan tokoh terpenting di SI kala itu, Haji Oemar Said Tjokroaminoto. Kemampuan berpidato, mengayam retorika, dan kedalaman ilmu sang ketua benar-benar memukai Haji Agus Salim. Ia pun resmi menjadi anggota SI.
Begitu menjadi anggota SI, gaya hidupnya pelan-pelan berubah. Sebagai manusia politik, ia memilih jalan hidup sederhana. Di Sarekat, Agus Salim tak menerima gaji. Demi menghidupi diri, ia bekerja sebagai jurnalis.
Pada 1915, ia bergabung ke Harian Neratja sebagai redaktur, sebelum diangkat menjadi kepala redaksi. Kegiatannya di bidang jurnalistik terus berlangsung hingga akhirnya menjadi pemimpin Harian Hindia Baroe di Jakarta. Ia juga mendirikan Surat Kabar Fadjar Asia. Selanjutnya ia menjadi redaktur Harian Moestika di Yogyakarta dan membuka kantor Advies en Informatie Bureau Penerangan Oemoem (AIPO).

Pada 1921, Agus Salim terpilih sebagai anggota Volksraad (parlemen Hindia Belanda). Ketika SI semakin bergeser ke kiri, Haji Agus Salim berada di sisi kanan. Saat itu, SI terbelah dalam dua kubu yang bertikai pandangan dan strategi perjuangan: SI Merah dan SI Putih. Haji Agus Salim berada di kubu Putih.
Setelah proklamasi kemerdekaan, Agus Salim dipercaya menemani Sjahrir dalam memperkuat politik diplomasi Indonesia di panggung dunia. Dia pernah menjabat Menteri Luar Negeri RI pada empat pemerintahan, dari 1947 hingga 1949.
Berkat kepiawannya berdiplomasi, Indonesia berhasil memperoleh pengakuan formal dan dukungan moral kemerdekaan dari Mesir (10 Juni 1947), Lebanon (29 Juni 1947), dan Suriah (2 Juli 1947).
Namun, siapa sangka, tokoh yang kerap dijuluki “The Grand Old Man” ini, sepanjang hidupnya menjadi pejabat negara justru hanya tinggal di rumah kontrakan.
Haji Agus Salim kerap berpindah-pindah kontrakan. Di Jakarta, Salim dan keluarganya pernah tinggal di daerah Tanah Abang, Karet, Petamburan, Jatinegara, di gang-gang Kernolong, Tuapekong, Gang Listrik dan masih banyak lagi.
Jangan dikira rumah kontrakannya bagus. Tak jarang Salim dan keluarganya mendapat rumah kontrakan yang atapnya bocor. Kalau hujan, ember akan ditata berderet-deret untuk menampung air yang berjatuhan di dalam rumah.

Ketika tinggal di kontrakan di Gang Listrik, Agus Salim dan keluarganya pernah hidup tanpa diterangi listrik gara-gara tak sanggup membayar iuran listrik.
Kesederhanaan itu bukanlah pencitraan. Mr. Mohammad Roem dan Kasman Singodimedjo pernah mengunjunginya dan menyaksikan sendiri bagaimana ruang tamu, ruang makan, dapur, dan kasur untuk tidur menyatu dalam satu ruangan besar tanpa sekat.
Pemandangan itu begitu mengguncang Kasman hingga ia melahirkan kutipan legendaris: “Een leidersweg is een lijdensweg. Leiden is lijden.” Jalan seorang pemimpin adalah jalan penderitaan. Memimpin itu menderita. Penderitaan itu juga tecermin dari jasnya yang penuh tambalan, hasil tisikan tangan setia sang istri, Zainatun Nahar.
Pelajaran apa yang bisa kita petik dari Agus Salim? Kesederhanaannya bukanlah karena keterpaksaan, melainkan karena pilihan sadar. Ia memilih untuk hidup setara dengan napas penderitaan rakyat yang diperjuangkannya. Baginya, kekayaan sejati bukanlah materi yang bisa dipamerkan, melainkan kekayaan intelektual dan integritas yang tak bisa dibeli. Politik adalah tentang memberi, bukan mengambil.
Kisah Agus Salim bukan sekadar nostalgia usang. Ia adalah sebuah cermin retak yang sengaja diletakkan di hadapan kita hari ini, untuk bertanya: masih adakah politisi yang memegang teguh prinsip “Leiden is lijden”?