Vietnam lagi gaspol membuat gebrakan yang tidak tanggung-tanggung: merombak total sistem politik dan birokrasinya.
Enggak cuma pamer gimik efisiensi, tapi beneran dipreteli dari akar sampai pucuk. Intinya, mereka sadar kalau negara enggak bakal lari kenceng kalau kebanyakan pejabat dan pegawai negeri kerjaannya numpang ngopi doang. Jadi, Vietnam mulai berani diet ekstrem untuk mengurangi lemak-lemak di tubuh pemerintahannya.
Memangkas birokrasi
Di bawah komando Sekretaris Jenderal Partai Komunis Vietnam, Tô Lâm, Negeri Paman Ho itu melalukan revolusi besar untuk membereskan birokrasi yang tak efektif dan efisien.
Rencana Vietnam enggak main-main. Langkah pertama adalah memangkas birokrasi di tingkat pucuk. Semua lembaga negara di tingkat pusat mengalami perampingan, dari kabinet, partai, hingga Majelis Nasional.
Jumlah kementerian juga dipangkas secara radikal dari 22 kementerian dan badan setingkat menteri menjadi hanya tersisa 14. Gila enggak? Istilahnya, mau membuat kabinet lebih ramping, biar enggak jadi dinosaurus birokrasi yang larinya lambat banget. (Vietnamnet, Februari 2025)
Bukan cuma jumlah lembaga yang dipotong, struktur di dalamnya juga disunat. Misalnya di Government Office (semacam Setkab versi Vietnam), jumlah unit dipangkas dari 28 jadi cuma 18. Harapannya, alur koordinasi jadi lebih cepat, perintah enggak nyasar-nyasar kayak surat cinta yang lupa ditulis alamat. (Vietnamnet, Maret 2025)
Lebih radikal dan lebih ngeri lagi, jumlah pegawai negeri akan dikurangi 1 dari 5 pegawai. Kenapa sampai segitu nekat? Karena Vietnam sadar, birokrasinya udah kayak mesin tua yang overheat. Penuh duplikasi fungsi, tumpang-tindih kewenangan, dan kebanyakan meja kosong yang isinya cuma tumpukan kertas nganggur.
Setiap tahun, negara ngabisin duit gede buat gaji pegawai yang produktivitasnya seret. Menurut data dari pemerintah, sekitar 30-40 persen pegawai negeri di Vietnam sebenernya bisa dikurangi tanpa ganggu pelayanan publik.
Setiap tahun Vietnam menghabiskan USD 23 miliar atau sekitar Rp 360 triliun untuk belanja pegawai. Gaji, tunjangan, fasilitas— semua dibayar negara, tapi kualitas pelayanan publiknya jauh dari kata optimal.
Belum lagi, makin gemuk birokrasi, makin banyak celah buat korupsi. Itu sudah semacam hukum alam di banyak negara berkembang, termasuk Vietnam. Dengan struktur yang lebih ramping, kontrol jadi lebih gampang, dan keputusan bisa meluncur lebih cepat.
Enggak cuma urusan birokrasi eksekutif, sistem politik di Vietnam juga ikut diet ketat. Partai Komunis yang jadi satu-satunya partai di sana, sadar kalau struktur politik yang terlalu berlapis justru jadi sarang inefisiensi. Makanya, dari level pusat sampai daerah, Vietnam mulai menggabungkan beberapa posisi yang fungsinya mirip-mirip. Kepala kantor partai di daerah misalnya, bisa merangkap jabatan kepala kantor pemerintahan lokal. Satu orang, dua topi. Efisien banget, walau yaa… resikonya sentralisasi makin kuat. (Vietnamnews, Februari 2025)
Memang ada kritik, sih. Ada suara-suara yang masih meragukan revolusi birokrasi ini. Sebab, reformasi birokrasi tak disertai transparansi yang kuat dan penguatan partisipasi publik. Padahal, kunci sukses reformasi birokrasi juga soal partisipasi pu
Pelajaran buat Indonesia
Vietnam boleh dibilang nekat, tapi banyak pelajaran yang bisa dipetik. Di Indonesia, di bawah pemerintahan Prabowo-Gibran, jumlah kementerian justru membengkak. Total ada 109 pejabat dalam Kabinet Merah Putih, dengan rincian: 48 menteri, 59 wakil menteri, dan delapan pejabat setingkat menteri. Itu belum ngomongin jabatan-jabatan gak penting, seperti utusan khusus, staf khusus, juru bicara, dan lain-lain.
Sudah birokrasinya super gemuk, eh berbagai urusan diserahkan kepada tentara. Selain mengembalikan Dwi Fungsi, Prabowo juga menggiring tentara mengurusi hal-hal yang jelas bukan keahliannya. Sementara birokrasi sipil yang gemuk hanya makan gaji buta, ngopi-ngopi doang. Tak ubahnya birokrasi pemerintahan itu tempat penampungan para pengangguran politik yang satu gerbong politik dengan pemerintah berkuasa.
Anggaran belanja pegawai kita terus naik tiap tahun, sementara kualitas layanan publik ya gitu-gitu aja. Belanja gaji dan tunjangan pegawai kementerian dan lembaga naik sebesar 8,3 persen per tahun atau Rp 20,2 triliun sejak 2020. Sementara itu peningkatan pembayaran gaji dan tunjangan aparatur sipil negara di pemda peningkatannya lebih tinggi lagi, yakni sekitar 8,9 persen atau Rp 31,3 triliun tiap tahun sejak 2010.
Sementara itu, belanja pegawai tahun ini meningkat dibanding tahun sebelumnya. Berdasarkan Buku Nota Keuangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025, belanja pegawai ditetapkan Rp 521,4 triliun, naik Rp 60,6 triliun dari 2024 yang sebesar Rp 460,8 triliun.
Beban birokrasi gemuk juga mewariskan beban anggaran setiap tahun pada pembayaran pensiun. Pembayaran pensiun pegawai K/L dan pemda menembus Rp 164 triliun pada 2024. Sedangkan tahun 2010 pembayarannya baru sekitar Rp 50 triliun.
Kalau mau ikutin Vietnam, kita harus berani: pangkas lembaga yang fungsinya dobel-dobel, digitalkan pelayanan, dan kurangi budaya “rapat mulu kerja kagak”.
Tapi ya balik lagi, kuncinya bukan sekadar potong-potong doang. Harus jelas juga arahnya mau kemana.
Vietnam udah kasih tamparan telak ke negara-negara tetangganya. Kalau mereka yang partai tunggal aja berani potong gemuk-gemuk birokrasi, masa kita yang suka pamer reformasi dan demokrasi malah gemukin birokrasi terus?