Pekan lalu, saat saya menggulir konten di X, video konser band punk tampak menarik perhatian. Musiknya menarik, lirik lagunya dahsyat.
Sukatani, band punk asal Purbalingga itu, sedang menyanyikan lagu “Bayar Bayar Bayar”. Liriknya mengkritik praktik suap dan pungli di lembaga kepolisian. Tentu sebagian besar kita yang pernah mengalami nasib sial itu merasa tersambung oleh lagu itu.
Hari ini, Sukatani riuh di medsos. Sebuah video, yang menampilkan dua personel band ini sedang menyampaikan permintaan maaf kepada Kapolri dan institusi kepolisian, menjadi pemicunya.
“Mohon maaf sebesar-besarnya kepada bapak Kapolri dan institusi Polri atas lagu ciptaan kami dengan judul Bayar Bayar Bayar yang liriknya bayar polisi, yang telah kami nyanyikan sehingga viral di berbagai platform media sosial yang sudah kami upload,” kata Alectroguy, salah satu personel grup band punk ini.
Singkat cerita, banyak yang menduga, lantaran lagu “Bayar Bayar Bayar” itu, Sukatani mendapat intimidasi dan tekanan dari kepolisian. Hastag #kamibersamasukatani pun trending di X. Hanya dalam hitungan jam, tagar ini dicuitkan oleh lebih dari 210 ribu orang.
Siapa Sukatani?
Band Sukatani hadir meramaikan jagat musik Indonesia sejak 2022. Didirikan oleh dua anak muda asal Purbalingga, Muhammad Syifa Al Ufti aka Electroguy dan Novi Chitra Indriyaki aka Twister Angels, Sukatani mengusung musik bernuansa kritik sosial.
Sebelum mendirikan Sukatani, kisah dua anak muda ini cukup menarik. Electroguy dan Twister Angels adalah aktivis gerakan sosial. Mereka menjadi bagian dari gerakan perpustakaan jalanan di Purbalingga.
Pada 2017, tergetar marah melihat petani yang tanahnya dirampas oleh proyek pembangunanisme ala Jokowi, mereka berangkat ke Kulon Progo, Yogyakarta. Di sana mereka bersolidaritas kepada petani yang menjadi korban proyek pembangunan New Yogyakarta International Airport (NYIA).
Pucuk dicinta ulam pun tiba, demikian kata peribahasa kita. Pengalaman mengadvokasi, bersolidaritas, dan berinteraksi dengan petani Kulon Progo memberi anak-anak muda itu sebuah pengalaman emas. Sekembalinya ke Purbalingga, mereka langsung mendirikan kolektif petani muda bernama Harvest Mind. Dibakar oleh mimpi membangun masyarakat yang egaliter dan demokratis, anak-anak muda ini mendirikan komunitas bernama Black Farm Municipal.
Ini bukan sekadar kolektif gagah-gagahan. Dengan menyewa lahan seluas 4.200 meter di wilayah Kalimanah, Purbalingga, kolektif muda Harvest Mind berpraktik. Mereka membangun pertanian organik.
“Sebagai anak muda di zaman sekarang, logika menjadi petani pasti bertabrakan dengan banyak realitas yang menimbulkan banyak kontradiksi. Contoh misalnya, sulitnya mendapatkan akses lahan karena modal yang minim,” kata Alectroguy, seperti dikutip Gregorius Manurung dalam artikel berjudul “Punk Sukatani, Ajojing di Pusaran Krisis Agraria” di Jurno.id.
Kisah mereka yang keren dan luar biasa sebagai petani muda yang inovatif pernah diangkat secara khusus oleh Kompas.com pada 31 Agustus 2021.
Twister Angel, sang vokalis Sukatani, punya kebiasaan merekam berbagai peristiwa sosial di sekitarnya dalam lirik-lirik lagu. Sebagai vokalis sebuah band di Purwokerto sejak 2013, Twister Angel tak sulit memotret sudut kecil dari realitas sosial untuk menjadi lirik lagu.
Lirik-lirik itu kemudian dikirimkan kepada Alectroguy. Keduanya kemudian menyusun lirik-lirik itu menjadi sebuah lagu yang punya pesan kuat. Mereka mencoba menggabungkan street punk dengan instrumen elektronik.
Album debut mereka, Gelap Gempita, meluncur pertama kali pada Juli 2023. Berisi delapan lagu, album ini menyuarakan protes sosial terhadap keadaan, mulai dari penggusuran, konsumerisme, dan ajakan untuk bertani.
Lewat lagu “Alas Wirasaba”, Twister Angel berkisah tentang kenyataan pahit masa kecilnya di sebuah desa yang menjadi tempat berdirinya proyek pangkalan udara Wirasaba.
Melalui lagu itu, Twister dan Sukatani hendak menebalkan pesan bahwa penggusuran bukan hanya soal perampasan tanah dan aset (rumah), tetapi juga hilangnya tempat bermain dan teman-teman bermain. Penggusuran menghilangkan situs-situs penting yang membentuk ingatan seseorang akan pengalaman masa kecil dan ikatan sosialnya dengan teman, tetangga, dan warga sekampung.
Yang menarik, setiap tampil, Sukatani mengenakan balaclava, yang mengingatkan kita pada gerilyawan kiri di rimba raya Lacandon, negara bagian Chiapas, Meksiko: Ejército Zapatista de Liberación Nacional atau Tentara Pembebasan Nasional Zapatista (EZLN).
Kami Bersama Sukatani
Dukungan untuk Sukatani menggema di media sosial dan aksi protes #IndonesiaGelap. Pembredelan pameran lukisan, larangan pementasan teater, dan pembungkaman terhadap Sukatani, merupakan alarm nyaring akan masa depan Indonesia yang semakin gelap.
Karena itu, solidaritas adalah kunci. No pasaran, begitu slogan pejuang anti-fasis di Spanyol. No pasaran berarti jangan biarkan mereka lewat. Terhadap kebijakan yang fasistik, kita memang harus berseru: no pasaran. Jangan biarkan mereka melangkah sejengkal pun. Jangan biarkan pembungkaman dan intimidasi tanpa perlawanan.
Di seberang Istana Negara, peserta aksi Kamisan memutar lagu “Bayar Bayar Bayar” di hadapan polisi yang berbaris di sana. Di Bandung, aksi protes #IndonesiaGelap juga menyerukan solidaritas untuk Sukatani.
Di media sosial, lagu “Bayar Bayar Bayar” justru menjadi semakin populer. Sejumlah musisi, mulai dari Iksan Skuter, David Bayu (mantan vokalis Naif), Baskara Putra, Fanny Soegi, Voice of Baceprot, Soleh Solihun, Bisma Karisma, Robi Navicula, Eno Netral, Stevi Item (DeadSquad), dan lain-lain.
Mari kita tutup artikel ini dengan kutipan dari Victor Hugo: “Ketika kediktatoran sudah benar-benar nyata, maka revolusi menjadi sebuah keharusan.” Kami bersama Sukatani!