Tahun 1920-an, api pemikiran Kartini membakar semangat seorang remaja perempuan. Sujatin, nama remaja itu, terpukau membaca “Door Duisternis Tot Licht”.
“Tak ada buku bacaan lain, di antara sekian buku bacaan yang pernah kunikmati, yang lebih berpengaruh kepadaku selain yang satu ini,” kata Suyatin di dalam biografi yang ditulis Hanna Rambe, Mencari Makna Hidupku.
Sujatin Kartowijono merupakan sosok penting dalam derap perjuangan perempuan Indonesia, baik untuk kesetaraan gender maupun kemerdekaan bangsanya. Dia menjadi penerus cita-cita Kartini.
Mewarisi api Kartini
Sujatin lahir 9 Mei 1907 di Desa Kalimenur, Kabupaten Wates, Yogyakarta. Dia lahir dari keluarga berdarah priyayi.
Bapaknya, Mahmud Joyohadinoro, menjadi pegawai di jawatan kereta api Belanda. Sedangkan ibunya, Raden Ajeng Kiswari, seorang bangsawan yang dekat dengan Keraton Yogyakarta.
Suyatin adalah anak keempat dari lima bersaudara. Semua kakaknya perempuan. Karena itu, ketika Sujatin masih dalam kandungan, bapaknya sangat mengharap anak laki-laki.
Sehingga, ketika Sujatin lahir, bapaknya agak kecewa. Sang bapak, yang tercekoki anggapan patriarkis, enggan untuk menggendong Suyatin.
Suyatin mendengar kisah itu dari kakaknya ketika sudah menginjak Hollands Inlandsche SchoolHIS (sekolah dasar zaman Belanda). Saat itu, sebagai anak perempuan yang beranjak remaja, Suyatin merasakan langsung perlakuan yang tak adil karena faktor gender.
Namun, Sujatin tak menyerah. Kisah pahit itu menjadi pendorong semangatnya. Dia percaya, pendidikan akan memperbaiki nasib perempuan. Karena itu, selain belajar di sekolah, Suyatin berteman dengan buku-buku.
Dia membawa surat-surat Kartini, terutama yang terkompilasi di buku “Door Duisternis Tot Licht”. Dari bacaan itu, Sujatin tak hanya mendapat pengetahuan dan inspirasi, tetapi juga semangatnya.
Pada 1922, ketika bersekolah di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs atau MULO (sekolah setingkat SMP), dia mulai terjun ke gelanggang pergerakan sebagai aktivis Jong Java. Ia aktif dalam kegiatan organisasi kepemudaan itu.
Tersengat api Kartini, Sujatin juga rajin menulis. Ia banyak menuliskan kegelisahan maupun pemikirannya lewat koran Jong Java. Dia memakai nama pena dari nama bunga: Gerbera.
Setelah tamat dari MULO, lagi-lagi karena pengaruh Kartini, Sujatin melanjutkan pendidikannya ke sekolah guru. Dia bertekad menjadi pembawa obor bagi pencerahan bangsanya.
Tahun 1926, Sujatin mulai menjadi pengajar di sekolah dasar (HIS) swasta. Dia enggan menjadi guru di sekolah milik pemerintah. Sebagai konsekuensinya, dia menikmati gaji yang lebih kecil.
Berorganisasi dan bergerak
Tahun 1926, di sela-sela kesibukannya sebagai guru, Sujatin dan kawan-kawannya mendirikan organisasi perempuan bernama Poetri Indonesia.
Organisasi yang berbasis di Yogyakarta ini banyak menghimpun para guru. Salah satu aktivitasnya adalah membuka kursus-kursus dan pengajaran bagi rakyat, terutama perempuan.
Tahun 1928, di Batavia, kaum muda menggelar Kongres pemuda ke-2. Kongres yang melahirkan
“Sumpah Pemuda” itu bergaung ke seantero Hindia-Belanda dan memercikkan semangat untuk bersatu.
Melihat sukses Kongres Pemuda ke-2, Sujatin mulai mendekati sejumlah tokoh perempuan, seperti Nyi Hajar Dewantara dan R.A. Soekonto. Ia mengajak tokoh-tokoh itu menggagas kongres perempuan.
Ide Sujatin mendapat sambutan. R.A Soekonto, aktivis Wanita Oetomo, terpilih sebagai ketua panitia Kongres, sedangkan Nyi Hajar Dewantoro dan Sujatin menjadi bendahara panitia.
Kongres Perempuan pertama terlaksana pada 22-25 Desember 1928 di pendopo Joyodipuran, Yogyakarta. Sebanyak 600-an perempuan dari sekitar 30 organisasi menjadi peserta kongres itu.
Di kongres itu, Sujatin ikut menyampaikan pidato sambutan. Menariknya, meskipun sehari-hari menggunakan bahasa Belanda, tetapi di kongres itu ia menggunakan bahasa Indonesia (bahasa Melayu).
Kongres ini menjadi titik penting pergerakan perempuan Indonesia, baik untuk perjuangan kesetaraan gender maupun pembebasan nasional.
Kongres ini juga melahirkan kesepakatan untuk membentuk federasi bersama organisasi perempuan: Perikatan Perempuan Indonesia (PPI). Di pengujung 1928, PPI berganti nama menjadi Perikatan Perkoempoelan Isteri Indonesia (PPII).
Usai kongres itu, aktivisme Sujatin meningkat. Dia makin terbenam dalam pergerakan kesetaraan gender dan emansipasi sosial. Dia tak hanya melawan patriarki, tetapi juga sistem sosialnya: feodalisme.
Selain bergelut dengan isu-isu pendidikan, dia juga terlibat dalam berbagai advokasi rakyat jelata. Mulai dari mengadvokasi mereka yang terlilit utang hingga memprotes diskriminasi di tempat kerja.
Tahun 1932, di sela-sela kesibukan berorganisasi, Sujatin bertemu pasangan hidupnya: Pudiarso Kartowijono. Kebetulan, Pudiarso juga seorang aktivis pergerakan. Mereka menikah tahun itu juga.
Tahun 1942, penguasa di Nusantara berubah, dari Hindia-Belanda menjadi fasisme Jepang. Saat itu, demi memobilisasi dukungan rakyat Indonesia kepada perang Asia Timur Raya, Jepang membentuk banyak organisasi massa, termasuk Fujinkai untuk perempuan.
Sujatin menolak ide pembentukan Fujinkai. Menurut dia, gerakan perempuan tak memerlukan organisasi baru lagi, melainkan memperluas yang telah ada.
“Segera setelah itu, aku menerima surat dari penyelenggara pertemuan: hati-hati, Kempetai. Dua hari kemudian, namaku masuk daftar hitam Jepang,” kenang Sujatin dalam The Encyclopedia of Indonesia in the Pacific War.
Revolusi dalam revolusi
Usai proklamasi kemerdekaan, gerakan perempuan kembali menggeliat untuk mendukung revolusi nasional.
Di Yogyarkata, kaum perempuan berbaris membentuk Persatuan Wanita Indonesia (Perwani). Organisasi ini bertekad untuk memobilisasi perempuan ke dalam revolusi kemerdekaan.
Di Jakarta, perempuan membentuk Wanita Indonesia (WANI). Organisasi ini banyak mendirikan dapur umum dan mengatur distribusi beras demi menopang revolusi yang sedang bergolak.
Sujatin, yang kala itu berada di Jakarta, bergabung dengan WANI. Saat itu, kondisi Jakarta sudah mencekam sejak kedatangan Inggris yang diboncengi NICA pada 15 September 1945. Akibatnya, aktivitas dapur umum pun tidak aman dari bahaya.
Saat itu, seiring-sejalan dengan semangat revolusi yang terus berkobar, aktivis-aktivis perempuan terus bergerak untuk mengonsolidasikan kekuatan.
Pada 15-17 Desember 1945, di Klaten, Jawa Tengah, Perwani dan WANI berhasil menyelenggarakan kongres perempuan pertama pasca Proklamasi. Sujatin ikut serta dalam kongres ini.
Kongres itu kemudian meleburkan Perwani dan WANI ke dalam wadah baru: Persatuan Wanita Republik Indonesia (Perwari). Sujatin menjadi bagian dari organisasi ini.
Tak berselang lama, pada Februari 1946, sebuah konsolidasi perempuan yang diinisiasi oleh Perwari menghidupkan Badan Kongres Wanita Indonesia untuk mendorong konsolidasi gerakan perempuan yang lebih luas.
Kelanjutannya, pada Juni 1946, ada Kongres Wanita Indonesia (Kowani) yang diselenggarakan di Madiun, Jawa Timur. Di Kowani, Sujatin ditunjuk sebagai ketua di Dewan Pimpinan Pusat.
Usai penyerahan kedaulatan, Perwari dan Kowani aktif memperjuangkan isu-isu perempuan, termasuk memperjuangkan undang-undang perkawinan yang demokratis dan berkeadilan.
Tahun 1950-an, Perwari terusik oleh praktik poligami di kalangan pegawai negeri sipil. Puncaknya, pada 1952, pemerintah membuat peraturan tentang pembagian uang pensiun untuk pegawai negeri yang memiliki istri lebih dari orang. Bagi Perwari, peraturan itu sama saja dengan melegitimasi poligami.
Tahun 1953, Sujatin ditunjuk sebagai Ketua Umum Perwari. Di bawah kepemimpinannya, Perwari berdiri paling depan menentang poligami.
Puncaknya, pada 17 Desember 1953, Perwari memerintahkan seluruh cabangnya menggelar aksi memprotes PP yang membolehkan poligami. Aksi itu mendapat dukungan luas.
Belum selesai isu PP, tahun itu juga tersiar kabar rencana pernikahan Sukarno dengan Hartini. Sujatin dan Perwari meradang. Saat itu, tak banyak organisasi perempuan yang berani memprotes poligami Sukarno.
Tetapi Sujatin dan Perwari berani memilih jalan yang konsisten untuk menentang poligami. Perwari menunjuk Sujatin untuk menyampaikan protes langsung kepada Presiden Sukarno.
Di tahun yang sama, Perwari dan organisasi perempuan lainnya tengah berjuang keras untuk menghasilkan undang-undang perkawinan yang demokratis.
Tahun 1960-an, Sujatin mulai mengurangi keterlibatannya di Perwari. Akan tetapi, perhatiannya pada isu-isu perempuan tidak pernah surut.
Di masa Orde Baru, dia sempat mengisi beberapa jabatan di pemerintahan, seperti konsultan Departemen Sosial (1974-1978). Dia juga sempat memimpin Persatuan Wredatama Republik Indonesia (PWRI).
Pada 1 Desember 1983, Sujatin menghembuskan napas terakhirnya di RS Cipto Mangunkusumo.