Nelson Mandela, bapak pejuang pembebasan Afrika Selatan, punya banyak warisan politik untuk dunia. Selain dikenal luas sebagai pejuang anti-apartheid, dia juga seorang nasionalis dan humanis radikal.
Mandela lahir 106 tahun lampau, tepatnya 18 Juli 1918, di sebuah desa dekat Sungai Mbhashe, di Provinsi Eastern Cape, Afrika Selatan.
Bapaknya, Nkosi Mphakanyiswa Gadla Mandela, seorang penasihat penguasa lokal, memberinya nama Rolihlahla. Dalam bahasa Xhosa, Rolihlahla berarti “dia yang mematahkan dahan pohon.” Ada juga yang mengartikannya “si pengacau”.
Ketika menginjak sekolah dasar di sebuah desa di Qunu, gurunya memberi nama berbau Inggris: Nelson. Saat itu, di sekolah yang dikelola Inggris, ada keharusan untuk mengadopsi nama kristiani.
Mandela termasuk segelintir orang Afrika Selatan yang berhasil menikmati pendidikan. Dari sekolah menengah hingga atas, dia menimba ilmu di sekolah bergensi yang dikelola oleh orang-orang Eropa.
Tahun 1939, Mandela memasuki pendidikan tinggi di University College of Fort Hare. Namun, dia tidak menuntaskan kuliahnya karena terlibat demonstrasi mahasiswa.
Namun, begitu pulang kampung, dia diancam akan dinikahkan jika tak melanjutkan kuliah. Akhirnya, sekitar tahun 1941, dia pergi ke Kota Johannesburg. Di sana dia sempat bekerja sebagai penjaga tambang.
Sebetulnya, pada 1943, Mandela berhasil meraih gelar sarjana di University of South Africa. Dia juga berhasil menuntaskan pendidikannya di Fort Hare.
Terlibat politik
Tahun 1943, Mandela melanjutkan pendidikan untuk meraih gelar sarjana hukum di University of the Witwatersrand di Johannesburg. Di kampus inilah dia berkenalan dengan tokoh-tokoh mahasiswa radikal di masa itu, seperti Joe Slovo dan Ruth First.
Tahun 1940-an itu, Mandela semakin terseret dalam arus politik perjuangan kemerdekaan negerinya. Tahun 1942, Mandela sempat menghadiri pertemuan nasional Kongres Nasional Afrika (ANC). Kemudian, pada 1944, dia turut andil dalam pendirian sayap pemuda ANC: Liga Pemuda ANC/ANYCL.
Saat itu, ANC mengedepankan strategi aksi langsung untuk melawan politik apartheid, seperti pemogokan dan aksi boikot. Mandela berkali-kali ikut serta dalam aksi-aksi tersebut. Gara-gara larut dalam pergerakan mahasiswa, kuliah Mandela pun terbengkalai.
Tahun 1952, Mandela dan 19 kawannya sesama aktivis ANC ditangkap karena tudingan komunisme. Dia dijatuhi hukuman kerja paksa selama sembilan bulan (tetapi di perpanjang hingga 2 tahun).
Pada 1953, setelah mendapat gelar sarjana hukum, dia mendapat izin praktik. Akhirnya, dia bersama kawannya, Oliver Tambo, mendirikan kantor hukum bernama: Mandela & Tambo.
Namun, sebagai pengacara, Mandela justru lebih banyak menolong orang-orang Afrika yang menjadi korban sistem hukum yang diskriminatif. Dia juga kerap mengadvokasi aktivis yang ditangkap Polisi.
Menjadi radikal
Tahun 1955, di Kliptwon, berlangsung Kongres Rakyat yang melibatkan berbagai organisasi politik di Afrika Selatan kala itu, seperti ANC-SACP (Partai Komunis), Kongres India-Afrika Selatan (SAIC), Kongres Kaum Demokrat Afrika Selatan (COD), dan Kongres Rakyat Kulit Berwarna. Kongres ini melahirkan kesepakatan yang disebut “piagam kebebasan”.
Tahun-tahun itu, Mandela semakin terpapar dengan ide-ide marxisme. Dia mulai membaca Karl Marx, Lenin, dan Mao Zedong. Dia sangat tertarik dengan gagasan “masyarakat tanpa kelas”. Menurutnya, gagasan itu sejalan dengan tradisi komunal masyarakat Afrika.
Tahun-tahun itu, Mandela menyaksikan langsung berbagai kebijakan apartheid yang tak terhalangi. Semisal pengusiran paksa warga kulit hitam di pinggiran Sophiatown, Johannesburg, pada 1955.
Di pengujung 1956, Mandela dan 20-an kawannya ditangkap. Didakwa dengan Undang-Undang Penghianatan Negara. Proses persidangan berlangsung hingga 1961. Dia akhirnya dibebaskan pada Maret 1961.
Namun, pada saat Mandela disidang, sebuah peristiwa meledak: pembataian Sharpeville. Hari itu, 21 Maret 1960, polisi menembak membabi-buta 7.000-an demonstran di depan kantor polisi. Sebanyak 69 demonstran gugur dalam kejadian itu.
Setelah rentetan kejadian itu, pandangan Mandela makin bergeser menjadi radikal. Menurut keyakinannya, perjuangan damai tidak akan membebaskan rakyat Afrika. Sebagai gantinya, belajar dari Tiongkok dan pengalaman revolusi di tempat lain, perjuangan harus digeser menjadi perjuangan bersenjata.
Di Juni 1961, Mandela bersama kawan-kawan radikalnya, seperti Joe Slovo, Walter Sisulu, Oliver Tambo, mendirikan organisasi bersenjata: Umkhonto we Sizwe (Tombak Bangsa). Organisasi ini mulai melancarkan serangan bersenjata dan gerilya kota terhadap rezim apartheid.
Awal 1962, dengan menggunakan nama samaran David Motsamayi, Mandela menyelinap keluar dari Afrika Selatan. Dia berkeliling Afrika dan mengunjungi Inggris, demi mendapat dukungan senjata. Dia juga mengikuti pendidikan militer di Etiopia dan Maroko.
Tahun-tahun itu, Mandela makin terobsesi dengan revolusi Kuba. Dia membaca karya-karya Fidel Castro dan Che Guevara. Organisasi bersenjatanya, Umkhonto we Sizwe, diimpikan akan seperti “Gerakan 26 Juli” Fidel dan Che Guevara.
Sayang, tak lama setelah kepulangannya, Mandela kembali ditangkap polisi. Dia dinyatakan bersalah dan dihukum lima tahun penjara. Awalnya dia ditahan di penjara lokal Pretoria, lalu dipindahkan ke penjara di tengah Pulau Robben.
Sialnya, saat Mandela menjalani hukuman penjara, polisi menggeledah rumah persembunyian aktivis ANC dan komunis. Dari situ muncul tuduhan bahwa Mandela dan kawan-kawannya mendalangi aksi-aksi sabotase.
Gara-gara tuduhan baru itu, Mandela dijatuhi hukuman penjara seumur hidup. Dalam proses persidangan, Mandela menyampaikan pidato yang terkenal: Speech from the Dock. Di pidato yang menggetarkan itu, Mandela mengakui siap mati demi demokrasi dan kebebasan Afrika Selatan.
Selama di kurungan penjara, nasib malang tak henti-hentinya menghampiri Mandela. Mulai dari kematian ibunya hingga anak laki-lakinya. Dan, pahitnya, dia dilarang menghadiri pemakaman dua orang yang dicintainya itu.
Mandela baru bebas di tahun 1990, setelah 27 tahun merasakan pahit-getirnya menjalani kurungan di Pulau Robben.
Pasca rezim apartheid
Setelah keluar dari penjara, dukungan terhadap perjuangan Mandela makin meluas. Tak hanya di Afrika Selatan, tetapi di berbagai belahan dunia.
Sebagai misal, pada 16 April 1990, sebuah konser besar bertajuk Nelson Mandela: An International Tribute for a Free South Africa, berlangsung di Stadion Wembley, London, Inggris. Sejumlah artis ternama, seperti Neil Young dan Tracy Chapman, tampil di acara itu. Mandela hanya muncul selama 45 menit di atas panggung.
Dia berkeliling Prancis, Vatikan, Inggris, AS, Kuba, Jepang, Australia, Malaysia, dan Indonesia. Di Indonesia, Mandela sempat bertemu Presiden Soeharto.
Sepanjang 1990-1993, Mandela bernegosiasi dengan rezim apartheid, de Klerk. Proses negosiasi itu, yang melahirkan Konvensi untuk Demokrasi Afrika Selatan (CODESA), berujung pada kesepakatan menyelenggarakan pemilu pada tahun 1994.
Pada pemilu 1994, ANC memenangi pemilu dengan meraih suara mayoritas: 63 persen. Selain menguasai parlemen untuk pertama kalinya dalam sejarah Afrika Selatan, kemenangan itu juga mengantarkan Mandela sebagai presiden pertama Afrika Selatan pasca rezim apartheid.
Hanya, keberhasilan Mandela mengakhiri rezim apartheid, baik lewat dukungan internasional maupun proses negosiasi, membawa konsekuensi. Dia terpaksa meninggalkan banyak cita-cita politiknya di masa perjuangan.
Semasa berjuang, Mandela berkomitmen untuk menasionalisasi perusahaan strategis, menjalankan reforma agraria, dan menghapus kemiskinan.
Misalnya, karena dorongan Thabo Mbeki, seorang aktivis ANC yang lebih moderat, Mandela bertemu dengan kelompok bisnis. Sebagai imbal baliknya, Mandela mengurungkan niatnya pada agenda nasionalisasi perusahaan strategis.
Tak terpungkiri, ketika Mandela menjadi presiden dari 1994-1999, Afrika Selatan justru meniti jalan neoliberalisme. Di bawah desakan IMF, yang sudah memberi pinjaman sebesar USD 850 juta, rezim Mandela dipaksa menghapus bea impor, memangkas belanja sosial, dan menjalankan privatisasi.
Secara politik, Mandela memang berhasil mengembalikan hak-hak politik rakyat Afrika Selatan, terutama yang berkulit hitam. Secara politik, warisan politik apartheid pelan-pelan menghilang.
Namun, pada lapangan ekonomi, struktur ekonomi warisan apartheid masih bertahan. Kebijakan pengurangan pajak dari 48 persen menjadi 29 persen justru menguntungkan segelintir pengusaha berkulit putih yang menguasai ekonomi Afrika Selatan sejak lama.
Di Afrika Selatan, pengangguran dan kemiskinan masih didominasi orang-orang berkulit hitam. Mereka identik dengan pekerja kurang terampil dan berupah rendah.
Memang, setelah masa jabatannya berakhir pada 1999, Mandela berhasil mewariskan tradisi politik yang positif bagi Afrika Selatan, yakni tidak memperpanjang masa jabatan dan membangun dinasti.
Setelah tak menjabat lagi sebagai presiden, Mandela undur diri sebagai orang biasa. Dia banyak terlibat dalam kegiatan amal. Ia pun menjadi salah satu corong penting kampanye pemberantasan AIDS.
Secara politik, Mandela juga tetap kritis. Dia mengecam intervensi NATO di Kosovo. Tahun 2003, dia juga menjadi penentang perang AS di Irak. Dia juga terus bersolidaritas untuk perjuangan rakyat Palestina.
Kepada pemimpin Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), Yasser Arafat, Mandela pernah bilang: “Kemerdekaan Afrika Selatan tidak akan lengkap tanpa kemerdekaan Palestina.”
Pada 5 Desember 2013, di usianya yang ke-95 tahun, Nelson Mandela mengembuskan napas terakhirnya.