Inkonsistensi Reformasi Birokrasi Pemerintahan Prabowo-Gibran

Di tengah tekanan ekonomi global, beberapa negara mengambil langkah ekstrem dalam menata ulang birokrasi mereka. Argentina, di bawah kepemimpinan Javier Milei, misalnya, memangkas ribuan pegawai negeri sebagai bagian dari strategi efisiensi fiskal.

Hasilnya, pada Januari 2024, Argentina mencatat surplus anggaran sebesar 2,4 persen dari PDB—pertama kalinya dalam lebih dari satu dekade—dan berhasil menekan inflasi yang sebelumnya melampaui 200 persen.

Amerika Serikat (AS), di bawah kepemimpinan Donald Trump yang belum genap sebulan menjabat presiden, menawarkan program pengunduran diri bagi dua juta pegawai federal. Langkah ini diperkirakan akan menghemat anggaran hingga Rp1.600 triliun.

Kedua negara ini menunjukkan reformasi birokrasi dengan merampingkan struktur pemerintahan adalah bagian tak terpisahkan dari efisiensi fiskal.

Jalan ninja reformasi birokrasi ala Prabowo

Pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka memulai tahun 2025 dengan retorika efisiensi anggaran. Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 menargetkan pemangkasan belanja negara pada sektor yang dianggap tidak esensial, seperti perjalanan dinas, studi banding, dan belanja seremonial.

Komposisi kabinet Prabowo-Gibran. Kredit chart: CELIOS

Menteri Keuangan, Sri Mulyani pun bergerak cepat menyusun skema efisiensi yang menargetkan pemangkasan belanja negara sebesar Rp 256,1 triliun atau sekitar 7 persen dari total belanja negara.

Namun, di saat yang sama, alih-alih memangkas birokrasi, Prabowo malah memperbesar kabinet dengan menambah jumlah kementerian dan posisi strategis.

Kabinet Merah Putih yang diumumkan pada Oktober 2024 terdiri dari 48 menteri, lima pejabat setingkat menteri, dan 59 wakil menteri—total 112 posisi—menjadikannya sebagai salah satu kabinet terbesar dalam sejarah Indonesia.

Meski belum ada data resmi terkait dampak anggaran dari penambahan kementerian dan wakil menteri, secara logika, kabinet yang semakin besar justru akan berimplikasi pada penambahan beban fiskal. Lebih banyak pejabat berarti lebih banyak belanja pegawai, tunjangan, fasilitas, dan anggaran operasional.

Selain itu, struktur yang semakin besar berisiko memperumit koordinasi dan efektivitas kebijakan. Sebagai contoh, sektor pangan kini ditangani oleh Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Pangan, dan Badan Pangan Nasional. Kondisi ini berpotensi menyebabkan tumpang tindih kebijakan dan birokrasi yang semakin lamban.

Menguji konsistensi reformasi birokrasi Prabowo

Situasi ini semakin menambah kompleksitas dalam pemerintahan dan sangat kontra produktif. Banyaknya kementerian boleh jadi merupakan dampak dari politik dagang sapi, mengakomodasi berbagai kepentingan politik sebagai kue pemenangan pilpres 2024.

Perbandingan anggaran Kabinet era Jokowi-Amin dengan Prabowo-Gibran. Kredit: CELIOS

Jika kabinet ini banyak diisi oleh orang-orang yang tidak memiliki fungsi strategis yang jelas, yang menjadi pertanyaan besar: bagaimana pemerintah bisa bicara efisiensi anggaran jika di saat yang sama justru memperbesar struktur pemerintahan?

Reformasi birokrasi yang didorong oleh Prabowo seharusnya tidak sekadar berfokus pada pengurangan biaya di sektor yang tampak boros. Efisiensi bukan hanya soal memangkas belanja, tetapi juga memastikan birokrasi lebih ramping, produktif, dan transparan dalam bekerja untuk kepentingan publik.

Reformasi birokrasi tanpa arah jelas hanya akan menjadi dalih penghematan tanpa transformasi yang nyata dalam sistem pemerintahan. Di sinilah pentingnya prinsip good governance.

Reformasi birokrasi yang ideal bukan hanya soal mengurangi beban fiskal, tetapi juga tentang membangun birokrasi yang responsif, kompeten, dan akuntabel. Pemangkasan anggaran tanpa diiringi dengan peningkatan kualitas pelayanan publik hanya akan membuat rakyat kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah.

Reformasi birokrasi harus memastikan pelayanan publik lebih cepat, efisien, dan bebas dari tumpang tindih kewenangan antarlembaga. Jika hanya memangkas tanpa membangun sistem yang lebih baik, maka yang terjadi adalah stagnasi, bukan kemajuan.

Jadi, dalam hal ini bukan sekadar apakah pemerintah Prabowo-Gibran bisa memangkas anggaran atau tidak. Pertanyaannya adalah, apakah reformasi ini benar-benar membawa Indonesia menuju birokrasi yang lebih efektif, transparan, dan berpihak pada kepentingan rakyat. Atau, justru hanya menjadi permainan politik yang membebani anggaran tanpa manfaat nyata.

Karena kalau hanya sekadar “menghemat”, Argentina dan AS sudah membuktikan bahwa solusi ekstrem bisa menjadi pilihan untuk dilakukan.

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Prev
10 Aksi Protes Mahasiswa Pembawa Perubahan Sosial

10 Aksi Protes Mahasiswa Pembawa Perubahan Sosial

“Masih usia muda tapi tidak revolusioner, itu kontradiksi biologis,” kata

Next
Seabad Pramoedya Ananta Toer: Arti Penting Sejarah

Seabad Pramoedya Ananta Toer: Arti Penting Sejarah

Hai, pembaca Merdika

You May Also Like
Total
0
Share