Ulil Abshar Abdallah, cendekiawan yang dulu dijuluki begawan Islam liberal, melakukan belokan tajam dalam pemikirannya. Dulu, pada 2018, ia bilang jarang ada negara yang maju karena kekayaan tambang alamnya.
“Negeri-negeri yang maju biasanya maju karena tambang yang lain. Yaitu kreativitas manusia,” paparnya melalui sebuah status di Facebook, 18 Juli 2018.
Dan kini ia kembali muncul di tengah riuh perbincaan publik soal bahaya pertambangan nikel di Raja Ampat. Menurutnya, orang boleh peduli lingkungan, tetapi jangan menjadi wahabi lingkungan.
Di sini, wahabi lingkungan merujuk pada aktivis lingkungan yang kaku dan hitam-putih, yang menolak sama sekali pertambangan, dan hanya ikut-ikutan menggabungkan wokeisme (ejekan untuk para aktivis yang dianggap hanya mengikuti tren keadilan sosial dari Barat) dan alarmisme global (tuduhan kepada aktivis yang melebihi-lebihkan bahaya krisis iklim atau kerusakan lingkungan.
Sepintas lalu, Gus Ulil seperti mau mengambil jalan tengah: peduli lingkungan, tetapi membolehkan bisnis ekstraktif yang membawa maslahat (well-being) kepada rakyat. Namun, jika ditelisik lebih jauh, ia sedang berupaya menghalau kritik terhadap ekonomi ekstraktif, yang terbukti merusak lingkungan, memicu konflik sosial, dan nir-manfaat bagi rakyat.
Bagi saya, tanpa kritik terbuka terhadap bisnis ekstraktif tanpa kendali hari ini, posisi Gus Ulil masih mengamini kelanjutan model ekonomi yang disebut ekstraktivisme.

Apa itu ekstraktivisme?
Ekstraktivisme adalah model ekonomi yang sudah tua: berusia 500-an tahun. Terhitung sejak bangsa-bangsa Eropa menunggangi kolonialisme untuk menguasai sumber daya alam (SDA) dunia ketiga, lalu dijual ke pasar Eropa. Di Nusantara, tonggaknya dimulai sejak Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) menginjakkan kaki pada 1602.
Eduardo Gudynas (2009), pakar ekologi Uruguay yang mempopulerkan istilah ekstraktivisme, mendefinisikan sebagai model ekonomi yang mengandalkan eksploitasi sumber daya alam, dalam skala besar-besaran dan intensif, untuk diekspor dalam bentuk mentah maupun sedikit pengolahan ke pasar global.
Untuk membedakan dengan ekstraksi SDA tradisional, Gudynas memberikan tiga ciri khas ekstraktivisme. Pertama, eksploitasi berskala besar dan intensif. Kedua, dijual dalam bentuk mentah atau proses pengolahan yang sangat minimal. Ketiga, berorientasi ekspor ketimbang mendukung industrialisasi di dalam negeri. Keempat, intensitas kerusakan lingkungan. Kelima, menciptakan “enklave ekonomi”.
Di Indonesia, Bung Hatta yang mendengunkan konsep ini pada 1947. Menurutnya, sejak mengadopsi pendekatan liberal pada 1870-an, Hindia-Belanda tak ubahnya sebuah “onderneming besar” yang bertugas menghasilkan bahan baku untuk pasar dunia.

Dua cerita kelam ekstraktivisme
Di balik klaim bahwa ekstraktivisme memberi maslahat, sejarah dan kenyataan aktual justru menyuguhkan dua kisah pahit.
Pertama, ekstraktivisme mewakili arsitektur ekonomi kolonial yang menempatkan negara pinggiran (jajahan dan bekas jajahan) sebagai penyuplai bahan mentah bagi industri di negara maju.
Indonesia berada di posisi itu. Sejak era VOC, Indonesia mengekstraksi SDA, lalu dijual dalam bahan mentah untuk menjadi bahan baku industri di Eropa. Dalam “Indonesia Menggugat”, Sukarno menyebut salah satu ciri imperialisme adalah menjadikan Indonesia sebagai penyuplai bahan baku bagi pabrik di Eropa.
Kedua, kisah kutukan sumber daya (resource curse). Istilah ini diperkenalkan oleh Richard Auty, ahli geografi ekonomi dari Lancaster University, pada 1993. Menurut dia, negara-negara yang berkelimpahan sumber daya, seperti minyak dan gas, seringkali mengalami performa ekonomi dan tata kelola pemerintahan yang lebih buruk dibanding negara-negara yang sumber dayanya terbatas.

Ekstraktivisme dan kutukan sumber daya alam
Faktanya, hampir semua negara yang terjebak dalam ekstraktivisme selalu mengidap kutukan sumber daya. Tak sedikit yang berakhir menjadi negara gagal (failed state).
Pertama, ketergantungan terhadap eksploitasi SDA memicu penyakit yang disebut penyakit Belanda (Dutch Disease). Penjelasannya sederhana: lonjakan ekspor komoditas, seperti migas dan minerba, membuat mata uang negara bersangkutan menguat. Penguatan mata uang itu berdampak pada ekspor non-gas, terutama manufaktur dan pertanian, menjadi lebih mahal dan tidak kompetitif. Di sisi lain, karena mata uang asing lebih murah, impor juga meningkat pesat.
Selain itu, biasanya sektor yang lagi mengalami booming komoditas akan memicu apa yang disebut efek pergeseran sumber daya (resource movement effect), yaitu mobilisasi besar-besaran modal dan tenaga kerja dari lagging sector (pertanian dan industri) menuju booming sector (migas). Kombinasi dari tiga faktor di atas memicu apa yang hari ini ramai didiskusikan di Tanah Air: deindustrialisasi prematur.
Di Indonesia, ini tidak sulit dijelaskan. Jika diperhatikan saksama, pertumbuhan ekonomi Indonesia melesat, rata-rata di atas 5 persen, Terjadi pada era booming komoditas yang disebut “Commodity Supercycle”, antara awal 2000-an hingga 2014. Di sisi lain, gejala deindustrialisasi kian terasa. Sejak 2009, kontribusi manufaktur terhadap PDB mulai terjun bebas.
Kedua, negara kaya SDA kerap bergantung pada ekspor komoditas yang harganya fluktuatif (volatility). Ini yang terjadi pada Indonesia: pertumbuhan ekonomi melesat saat terjadi booming komoditas. Ketika harga komoditas jatuh, pertumbuhan pun melambat.
Ketiga, ekonomi ekstraktif, yang bertumpu pada eksploitasi SDA untuk diekspor dalam bentuk mentah, tidak menciptakan nilai tambah (value added). Nilai tambah hanya terjadi jika ada pengolahan atau proses manufaktur. Mereka hanya menjual nilai ekonomis yang sudah terkandung di SDA tersebut.
Nah, demi mendapat keuntungan ekonomis itu, para pemain ekstraktif menyiasati izin konsesi, meminimalisir biaya eksplorasi, keringanan bea ekspor, keringanan pajak, berharap insentif produksi, dan lain-lain. Dan semua proses itu membutuhkan mekanisme politik atau kedekatan dengan pejabat politik. Makanya, ekonomi ekstraktif berkelindan dengan ekonomi pemburu rente (rent seeking) dan kapitalisme kroni.
Lebih jauh, karena bisnis ekstraktif selalu membutuhkan mekanisme politik, maka sistem politik pun menjadi oligarkis. Jangan heran, 354 orang (61 persen) dari 580 anggota DPR punya afiliasi bisnis (ICW, 2024). Tak sedikit pebisnis merangkap pimpinan parpol.
Keempat, negara kaya SDA sering abai menyisihkan keuntungan ekspornya demi membangun human capital (Gylfason 2001). Penyebabnya, ekonomi ekstraktif tidak membutuhkan inovasi dan tenaga kerja terampil. Ekonom Faisal Basri menyebutnya “ekonomi yang mengandalkan otot”.

Selain itu, bisnis ekstraktif tergolong padat modal, tetapi penyerapan tenaga kerjanya kecil. Tidak heran, ketika terjadi booming komoditas, bisnis ekstraktif berjaya, efek menetesnya sangat minim pada perluasan lapangan kerja dan kesejahteraan.
Terakhir, ekstraktivisme juga dengan konflik sumber daya alam, terutama konflik agraria dan pengusiran masyarakat adat. Dalam banyak kasus, konflik sumber daya itu melibatkan aparat bersenjata dan premanisme, yang berujung kekerasan dan pelanggaran HAM. Dan tak lupa, ekstraktivisme memicu deforestasi, meninggalkan lubang-lubang raksasa yang sulit direklamasi, hingga pencemaran lingkungan.
Mimpi hilirisasi
Hilirisasi, yang mulai didengunkan sejak pengesahan UU Minerba pada 2009 dan mulai terlaksana sejak era Presiden Joko Widodo, seharusnya tak hanya bicara nilai tambah, tetapi juga diletakkan sebagai jalan keluar atas jebakan ekstraktivisme.
Pertama, agenda hilirisasi harus terintegrasi dengan peta jalan industrialisasi nasional. Misalnya, hilirisasi diarahkan untuk menghasilkan bahan baku yang dibutuhkan industri dalam negeri. Selain itu, hilirisasi didorong semakin ke hilir, sehingga menghasilkan barang jadi siap pakai.
Kedua, agenda hilirisasi bisa mengurangi intensitas eksploitasi SDA dan meminimalisir kerusakan lingkungan.

Ketiga, keuntungan dari pertambanan dan hilirisisasi dimanfaatkan untuk investasi pembangunan sumber daya manusia, terutama pendidikan dan kesehatan. Sebab, kekayaan terpenting sebuah bangsa bukan SDA-nya, tetapi sumber daya manusianya.
Sayang sekali, hal itu belum terjadi. Hilirisasi nikel, misalnya, sebagian besar baru mengubah bijih nikel (saprolite ores) menjadi Ferronickel (FeNi) dan Nickel Pig Iron (NPI), yang merupakan tahap awal atau produk antara (intermediate product) dari pohon industri.
Seharusnya, hilirisasi nikel didorong untuk melahirkan minimal baja tahan karat (stainless steel), yang menjadi bahan baku sendok, panci, komponen otomotif, atau material konstruksi.
Jadi, agak lucu, hilirisasi nikel sudah berjalan sejak 2020, tapi kita masih mengimpor sendok, garpu, panci, pisau dan peniti. Kalau kita produsen biji nikel, tapi masih mengekspor barang produk akhirnya, manfaat dari nilai tambah yang tinggi masih lari ke negara lain.
Selain itu, sekitar 75-90 persen investasi smelter nikel di Indonesia merupakan investasi asing, terutama Tiongkok. Dan berdasarkan data BPS pada 2023, hampir 89 persen ekspor hasil smelter nikel dikirim ke Tiongkok.
Lebih parah lagi, cerita yang kerap muncul dari daerah atau kabupaten yang menjadi pusat smelter nikel adalah kisah pilu kerusakan ekologi: deforestasi massif, pencemaran air/laut, polusi udara, dan banyak lagi lainnya. Belum cerita tersingkirnya masyarakat adat dari lokasi pertambangan.
Saya bukan penolak mutlak pertambangan. Tapi saya hanya menentang pertambangan dalam bingkai ekstraktivisme, yang perizinannya melalui mekanisme politik yang korup, merampas hak masyarakat adat, manfaatnya hanya dinikmati segelintir elite, dan merusak lingkungan.
Untuk benar-benar keluar dari kerangka ekstraktivisme, hilirisasi harus terintegrasi penuh dengan peta jalan industri nasional, menciptakan produk jadi untuk pasar domestik dan ekspor, memastikan alih teknologi, bersih dari rent-seeking dan kapitalisme kroni, tidak melanggar hak-hak masyarakat adat, dan dijalankan dengan standar lingkungan dan sosial yang paling ketat.