Gen Z dan Perubahan Iklim

Pada Juni 2024, 13 anak muda di Hawaii menyeret pemerintah daerah setempat ke pengadilan. Dinyatakan menang, mereka berhasil mendapatkan hak atas suara yang lebih besar dalam kebijakan iklim.

Mereka menuntut negara karena dianggap melanggar hak mereka atas lingkungan yang bersih dan sehat, sesuai janji dalam konstitusi negara bagian.

Kemenangan ini memaksa pemerintah berjanji untuk mencapai netral karbon pada 2040 dan melakukan investasi lebih dari USD 40 juta untuk kendaraan listrik selama enam tahun ke depan.

Sekarang, makin banyak anak muda yang beralih ke aktivisme sebagai cara untuk mengolah beban emosional dari dunia yang semakin kacau akibat perubahan iklim.

Dari Greta Thunberg sampai Anjali Sharma di Australia, banyak anak gen Z yang melakukan aksi nyata soal isu iklim.

Walaupun PBB sudah memasukkan hak atas lingkungan yang bersih, sehat, dan berkelanjutan ke Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pada 2022―sehingga memungkinkan kita bisa menuntut pemerintah di pengadilan―namun perjuangan ini tetap tidak gampang.

Generasi yang tumbuh di tengah krisis iklim

Gen Z tumbuh di era ketika dampak perubahan iklim kian terasa kuat. Ini membuat mereka merasa tidak punya kontrol dan tak berdaya.

Generasi Z—anak-anak yang lahir antara tahun 1995 dan 2010—mencakup 30 persen dari populasi dunia. Di Australia sendiri, gen Z mencakup 18,2 persen (atau 4,6 juta orang) dari total 25 juta populasi negara itu.

Berbeda dari generasi sebelumnya yang punya waktu buat beradaptasi dengan perubahan lingkungan secara perlahan, gen Z langsung berhadapan dengan krisis ekologi yang parah. Ini membuat mereka merasa cemas dan tertekan atas masa depan planet bumi.

Rasa cemas dan takut yang mendalam

Banyak anak gen Z yang aktif di dunia digital dan punya kesadaran global, mengalami kecemasan iklim yang luar biasa. Mereka dihantui rasa takut, cemas, dan kepedulian yang dalam atas masa depan bumi.

Sebuah survei yang dilakukan dari September 2021 hingga April 2022, dengan 446 mahasiswa gen Z di Australia menunjukkan bahwa perubahan iklim jadi perhatian utama mereka.

Para mahasiswa ini merasa dikhianati generasi sebelumnya, pemerintah, dan institusi yang seakan tidak mengambil tindakan nyata meski bukti tentang ancaman lingkungan makin jelas, terutama di Australia.

Lebih dari 80 persen anak muda yang ikut survei merasa sangat khawatir, dan banyak yang mengalami kecemasan iklim yang parah.

Kecemasan ini muncul dalam berbagai bentuk, seperti eco-anxiety (kecemasan tentang lingkungan), solastalgia (rasa sedih akibat perubahan lingkungan), hingga climate grief (kesedihan mendalam tentang perubahan iklim). Semua kecemasan itu menggambarkan perasaan kompleks dari generasi yang tumbuh di tengah darurat lingkungan global.

Ancaman nyata buat masa depan

Gen Z menghadapi ancaman eksistensial akibat perubahan iklim. Ketakutan tentang bencana lingkungan yang bakal datang membuat mereka merasa cemas terus-menerus. Mereka pun merasa memiliki tanggung jawab besar untuk mengatasi perubahan iklim ini.

Gen Z menyaksikan langsung lingkungan lokal dan ekosistem global mengalami perubahan cepat yang seringkali merusak dan tidak bisa dikembalikan, seperti hilangnya keanekaragaman hayati, kepunahan spesies, sampai kerusakan ekosistem.

Banyak dari mereka merasa sedih, bukan cuma karena kerusakan fisik, tapi juga karena kehilangan harapan buat masa depan yang stabil dan sejahtera.

Lebih 96 persen gen Z di Australia percaya bahwa perubahan iklim disebabkan oleh manusia. Dan, ini membuat mereka semakin stres, cemas, hingga depresi ketika menghadapi kenyataan planet yang makin memanas.

Bagi beberapa anak muda, arus berita tentang bencana terkait iklim, ditambah pengalaman pribadi soal bencana alam seperti kebakaran hutan, banjir, kekeringan, atau siklon, membuat mereka mengalami trauma yang berdampak jangka panjang pada kesehatan mental.

Krisis identitas

Bagi gen Z, kecemasan tentang perubahan iklim bukan cuma soal takut akan kehancuran lingkungan, tapi juga krisis identitas dan tujuan hidup.

Di tengah dunia yang makin tidak stabil dan tak terduga, banyak anak muda yang mulai bertanya-tanya tentang masa depan mereka. Apakah masih layak buat merencanakan masa depan dengan cara tradisional, seperti mengejar karier, berkeluarga, atau atau membeli rumah, sementara planet ini makin rusak.

Krisis identitas ini diperparah dengan tekanan untuk bertindak. Banyak anak muda merasa punya tanggung jawab besar untuk menangani perubahan iklim, tapi di sisi lain juga membikin mereka merasa bersalah dan malu jika tindakan mereka tidak cukup dan tidak berdampak.

Tekanan ini membuat mereka sering kali merasa lelah dan kehilangan semangat.

Aktivisme sebagai pelarian

Sebagai respons atas tantangan ini, beberapa anggota gen Z mengubah kecemasan mereka menjadi gerakan aktivisme.

Aktivisme iklim menjadi cara buat mereka merasa punya kontrol dan pengaruh di tengah tantangan besar.

Aktivisme ini wujudnya bermacam-macam, dari ikut aksi mogok iklim global sampai mengadvokasi kebijakan berkelanjutan di tingkat lokal. Tapi, aktivisme ini tidak selalu menyembuhkan kecemasan iklim.

Faktanya, 65 persen gen Z di Australia lebih memilih untuk tidak terlibat dalam aktivisme iklim tradisional. Sebaliknya, mereka memakai teknologi dan media sosial untuk menyuarakan kekhawatiran mereka.

Walau aktivisme bisa memberi mereka tujuan hidup dan komunitas, ini juga melelahkan. Kebutuhan buat terus berjuang, ditambah dengan lambatnya perubahan, bisa bikin burnout dan memperburuk kesehatan mental.

Tekanan untuk selalu “aktif” dan terlibat dalam aktivisme juga bisa menguras mental dan emosional, menambah perasaan putus asa dan hilang harapan.

Pentingnya dukungan kesehatan mental

Melihat tantangan kesehatan mental yang berat akibat kecemasan iklim, semakin banyak yang sadar kalau gen Z butuh dukungan kesehatan mental yang kuat.

Dukungan ini harus fokus untuk menangani kecemasan iklim yang unik, seperti rasa takut dan putus asa yang sangat mendalam, serta perasaan tidak berdaya yang sering dialami anak muda.

Kita butuh lebih banyak profesional kesehatan mental yang terlatih untuk menangani kecemasan lingkungan dan masalah-masalah yang terkait. Pendekatan terapi yang fokus pada peningkatan ketahanan diri, memberi rasa kontrol, dan membantu anak muda memahami emosi kompleks mereka, sangat dibutuhkan.

Membangun komunitas yang mendukung, di mana anak muda bisa berbagi pengalaman dan perasaan tentang perubahan iklim, juga penting.

Sekolah dan lembaga pendidikan juga bisa berperan besar dengan memasukkan diskusi tentang kesehatan mental dan perubahan iklim ke dalam kurikulum mereka.

Dengan memberi anak muda alat untuk memahami dan mengelola emosi mereka, inisiatif pendidikan ini bisa membantu mengurangi dampak psikologis dari kecemasan iklim.

Tetap maju ke depan

Tantangan yang ditimbulkan oleh kecemasan iklim buat gen Z memang besar dan kompleks.

Tapi, pentingnya peran mereka tak bisa diabaikan. Dengan krisis iklim yang terus memburuk, keterlibatan gen Z dalam membentuk masa depan yang lebih tangguh dan berkelanjutan sangat krusial.

Sudut pandang mereka yang unik dan semangat yang tidak pernah padam untuk perubahan menjadikan mereka pemain kunci dalam menanggapi pemanasan global serta menjembatani perbedaan generasi, mendorong kerja sama global, dan memastikan aksi iklim berdasar pada ilmu pengetahuan dan keadilan.

Diana Bogueva & Dora Marinova, Curtin University, Australia.




Versi asli dalam bahasa Inggris tayang sebelumnya di 360info.org

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Prev
Beethoven, Sang Musisi Revolusioner

Beethoven, Sang Musisi Revolusioner

Lebih dari 250 tahun lampau, Tuhan menganugerahkan tokoh besar yang mampu

Next
Kartini, Pembatik dan Duta Batik Pertama

Kartini, Pembatik dan Duta Batik Pertama

Kartini adalah manusia multitalenta

You May Also Like
Total
0
Share