Gagasan kebangsaan kolot, yang terlalu mengagungkan klaim teritorial dan chauvinisme, yang mengidentikkan diri dengan baris-berbaris dan memanggul bedil-bedilan, akan tergilas oleh perkembangan zaman.
Penyebabnya, dunia yang makin terglobalisasi menggerus batas-batas bangsa. Sementara, perkembangan teknologi informasi telah menggulung apa yang disebut “efek jarak jauh” (time-space distanciation).
Kita juga sedang bertatap muka dengan tantangan abad 21: globalisasi, kemajuan teknologi (kecerdasan buatan, penguasaan data, dan lain-lain), ketimpangan ekonomi, dan ancaman krisis perubahan iklim.
Kalau gagasan kebangsaan tidak seiring-sejalan dengan semangat zaman, tidak bisa menjawab tantangan zaman, boleh jadi akan usang. Hanya tinggal kenangan atau artefak sejarah.
Di samping tantangan zaman, proyek kebangsaan kita kini tengah dicegat oleh dua tantangan langsung. Pertama, proyek neokolonialisme yang melucuti pilar utama dari sebuah bangsa merdeka, yakni kedaulatan. Kedua, bangkitnya politik sektarian berbaju SARA, yang berpotensi mengancam merobohkan rumah kebangsaan kita yang dibangun di atas pengakuan terhadap keragaman.
Menghadapi berbagai tantangan di atas, kita perlu bertafakur sejenak, sembari membuka lembar demi lembar risalah pemikiran para pendiri bangsa soal kebangsaan. Salah satunya Bung Hatta.
Pada 1932, melalui pamflet politik berjudul Ke Arah Indonesia Merdeka, Bung Hatta menorehkan buah pikirannya mengenani kebangsaan. Bagi saya, gagasan-gagasan kebangsaan Bung Hatta sangat menarik untuk diulas.
Menurut Bung Hatta, tidak ada pergerakan kemerdekaan di bawah kolong langit yang tidak dibalut dengan semangat kebangsaan. Sebab, hakikat dari setiap perjuangan kemerdekaan adalah membebaskan tanah air dan bangsanya.
Bagi Bung Hatta, perjuangan memerdekakan bangsa merupakan prasyarat bagi cita-cita persaudaraan segala bangsa dan umat manusia. “Hanya bangsa-bangsa dan manusia yang sama derajat dan sama merdeka dapat bersaudara,” tulisanya.
Yang menarik, gagasan kebangsaan Bung Hatta tidak mempertentangkan antara cita-cita kebangsaan dengan cita-cita mewujudkan persaudaran manusia. Tentu saja, gagasan semacam ini merobohkan anggapan kaum internasionalis radikal, yang selalu mempertentangkan semangat kebangsaan dan internasionalisme.
Yang menarik lagi, Bung Hatta tidak menampik potensi penyalahgunaan semangat kebangsaan ini. Seperti dicontohkannya, atas nama “membela kehormatan bangsa”, seringkali kaum borjuis memanfaatkan konsep kebangsaan guna memobilisasi rakyat dalam perang untuk memuluskan kepentingan ekonominya.
“Rakyat yang banyak dipakai mereka sebagai perkakas saja. Rakyat menderita azab dunia di atas medan peperangan, menjadi umpan pelor dan gas racun,” tulisnya.
Saking tak terhindarkannya penggunaan semangat kebangsaan dalam perjuangan kemerdekaan, Bung Hatta menyebutnya sebagai konsekuensi “real-politiek“, yakni teknik berpolitik dengan bergerak dari situasi kongkret.
Tetapi Bung Hatta menyadari, semangat kebangsaan itu punya aneka rupa. “Ada kebangsaan cap ningrat, ada kebangsaan cap intelek, dan ada pula kebangsaan cap rakyat,” tulis tokoh kelahiran tanah Minang ini.
Kebangsaan ningrat menempatkan kaum ningrat sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan. Model kebangsaan ini sangat aristokratik dan feodal. Kekuasaan di tangan segelintir orang bangsawan dan terwariskan turun-temurun. Tentu saja, Bung Hatta tidak setuju dengan model kebangsaan ini, karena mengabaikan hak-hak rakyat banyak.
Sementara kebangsaan intelek menginginkan kekuasaan negeri dijalankan oleh kaum terpelajar. Mereka menempatkan kecakapan sebagai ukuran kepantasan memimpin. Agar negeri bisa maju dan makmur, maka kendali negara harus di tangan orang-orang cakap dan berpengetahuan.
Angan-angan mendirikan negara yang diperintah oleh cerdik pandai bukanlah hal baru. Plato sudah mengumandangkannya 2300-an tahun lampau. Negara yang baik harus diperintah oleh akal, kata filsuf Yunani itu.
Meski terlihat menarik, kebangsaan cap intelektual ini ditampik oleh Bung Hatta. Sebab, kebangsaan ini terlalu mengglorifikasi keunggulan kaum terpelajar, tetapi mengabaikan dan merendahkan kapasitas politik rakyat banyak.
Dia condong pada konsep kebangsaan ketiga, yakni kebangsaan cap rakyat, yang mengakui dan menempatkan rakyat sebagai pemegang kendali negara. Kebangsaan rakyat menjejakkan kakinya pada konsep kedaulatan rakyat.
Singkat cerita, jika kita ambil api gagasannya, konsep kebangsaan Bung Hatta punya tiga api. Pertama, penentangan terhadap kolonialisme dan segala bentuk penindasan bangsa atas bangsa di atas muka bumi ini. Karena itu, kebangsaan ala Bung Hatta sangat sadar, mimpi mewujudkan humanisme universal hanyalah angan-angan kosong jika masih ada bangsa yang kemerdekaan atau kedaulatannya terenggut oleh bangsa lain.
Kedua, jalan cita-cita kebangsaan ala Bung Hatta menuju pada persaudaran umat manusia atau antar bangsa. Karena itu, kebangsaan Bung Hatta menolak penyakit-penyakit kebangsaan yang anti persaudaraan antarumat manusia, seperti chauvinisme maupun xenophobia.
Ketiga, pemihakan pada kedaulatan rakyat, bahwa jalan kemerdekaan sekaligus cita-cita mendirikan negara merdeka haruslah meniti jalan kedaulatan rakyat. Kebangsaan ala Bung Hatta menempatkan rakyat sebagai protagonis dalam politik kenegaraaan.
Karena tiga api itulah, gagasan kebangsaan Bung Hatta tidak tergerus oleh perkembangan zaman. Cita-citanya tidak pernah padam oleh perkembangan-perkembangan baru dalam tata baru bermasyarakat.