Ekosistem Pangan, BUMN dan Kedaulatan Pangan

Mengelola pangan bukan sekadar urusan tanam dan panen—tapi soal membangun jejaring cerdas dari hulu ke hilir, dari petani ke pasar, dari ladang ke logistik. Di era Prabowo, sinergi antara BUMN dan ekosistem pangan jadi kunci untuk mencapai kedaulatan yang sesungguhnya: ketika setiap tangan petani dihargai, setiap kebijakan terhubung, dan setiap rantai pasok menyatu dalam visi besar ketahanan pangan nasional.

Kebijakan pangan pemerintahan Prabowo Subianto berfokus untuk mencapai kedaulatan dan ketahanan pangan, serta meningkatkan kesejahteraan petani. Berbagai instruksi presiden (inpres) pun dikeluarkan untuk mendukung kebijakan ini, seperti Inpres Nomor 2 Tahun 2025 tentang Percepatan Pembangunan, Peningkatan, Rehabilitasi, Serta Operasi dan Pemeliharaan Jaringan Irigasi untuk Mendukung Swasembada Pangan; Inpres Nomor 3 Tahun 2025 tentang Pendayagunaan Penyuluh Pertanian dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan; hingga Inpres Nomor 6 Tahun 2025 tentang Pengadaan dan Pengelolaan Gabah/Beras Dalam Negeri serta Penyaluran Cadangan Beras Pemerintah.

Lantas bagaimana kebijakan ini bisa disinergikan antara hulu (produksi) dan hilirisasi (penjualan hasil)?

Harus diakui, ada beberapa problem yang dihadapi sektor ekosistem pangan ini. Pertama, kita tidak memiliki data pangan yang terintegrasi dan presisi.

Kedua, belum tersinkronisasinya antara kebijakan hulu dan hilir di sektor pangan.

Ketiga, kebijakan ekspor dan impor kita masih menguntungkan kartel pangan dan belum meningkatkan daya beli dan kesejahteraan petani.

Padahal Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 sudah sangat jelas menyatakan, cabang-cabang produksi yang menyangkut hajat hidup orang banyak adalah produksi yang dikuasai negara. Karenanya, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menjadi kunci penting dalam kebijakan pangan kita. BUMN harus terintegrasi satu sama lain.

Lantas bagaimana solusinya? Pertama, kita harus bisa menyinergikan kebijakan BUMN dengan sistem yang mengatur ekosistem pangan. Harus ada kolaborasi kuat antara
ekosistem pangan dengan BUMN di bidang pangan. Ekosistem pangan ini mencakup semua sektor, aktivitas, dan infrastruktur yang terlibat dalam produksi, pengolahan (agregasi), distribusi, konsumsi, hingga pengelolaan sisa makanan (waste management) di suatu wilayah. Ini bukan hanya tentang rantai pasok linier, tetapi lebih seperti jaringan yang saling terhubung dan mempengaruhi.

Di sektor BUMN bisa kita petakan klaster yang ada pada sektor hulu seperti PT Pupuk Indonesia yang menyediaan pupuk sebagai komponen penting dalam produksi hasil pertanian, juga Badan Urusan Logistik (Bulog). Kemudian ada klaster BUMN hilir yang mengatur roda penjualan dari produk-produk pertanian, seperti PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) sebagai induk holding, PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI), PT Perikanan Indonesia (Perindo), PT Berdikari, hingga PT Garam. BUMN ini tergabung dalam holding BUMN pangan, yang dikenal sebagai ID Food.

Nantinya ekosistem pangan di sini akan mencakup seluruh rantai pasok makanan—dari produksi, distribusi, hingga konsumsi. Termasuk juga petani, pelaku usaha, teknologi, logistik, hingga sistem pembiayaan dan kebijakan.

Ekositem pangan ini pun harus menyinergikan kebijakan hulu dan hilir. Ini mencakup seluruh siklus dari hulu ke hilir, seperti di sektor produksi: petani, peternak, nelayan, pembudidaya (termasuk input seperti benih, pupuk, air, lahan); pengolahan dan agregasi: industri pengolahan makanan, penggilingan, pengumpul hasil tani; distribusi dan logistik: transportasi, pergudangan (termasuk rantai teknologi pendinginan), pedagang grosir; pemasaran dan ritel: pasar tradisional, supermarket, toko online, restoran, warung; konsumsi: rumah tangga, individu, institusi; serta pengelolaan sisa/limbah pangan: komposting, bank makanan (food bank), serta daur ulang.

Selain itu, kebijakan ekosistem pangan ini juga harus terhubung kuat dengan beberapa hal, seperti lingkungan alam: iklim, tanah, air, keanekaragaman hayati; lingkungan kebijakan dan sosial-ekonomi: regulasi pemerintah, kebijakan perdagangan, subsidi, akses keuangan, infrastruktur, budaya makan, tingkat pendapatan; serta lembaga pendukung: lembaga riset, penyuluhan, hingga lembaga keuangan.

Dengan demikan, BUMN di sektor pangan akan menjadi sistem yang saling terhubung dan saling mempengaruhi. Masalah di satu bagian, misalnya gagal panen karena iklim, akan berdampak pada bagian lain seperti ketersediaan di pasar dan harga.

Kemudian yang juga harus diperkuat adalah basis wilayah, yang mencakup skala lokal, regional, nasional, hingga global. Penguatan di semua lini ini bertujuan menghasilkan ketahanan pangan (ketersediaan, akses, pemanfaatan, stabilitas), keberlanjutan (lingkungan, sosial, ekonomi), keadilan, dan resiliensi (kemampuan bertahan dari guncangan).

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Prev
Mario Vargas Llosa: Sastrawan Besar Penggugat Kekuasaan

Mario Vargas Llosa: Sastrawan Besar Penggugat Kekuasaan

Ia bukan hanya novelis peraih Nobel, tapi juga seorang petarung intelektual yang

Next
Muasal Kepalan Tangan Jadi Simbol Perlawanan

Muasal Kepalan Tangan Jadi Simbol Perlawanan

Dari revolusi hingga gerakan sosial, selama berabad-abad, dari berbagai

You May Also Like
Total
0
Share