Cherry Picking Kebijakan ala Pemerintah: Pilih Enaknya, Buang Pahitnya

“Ojo Dibandingke”, judul lagu yang viral setelah dinyanyikan penyanyi cilik Farel Prayoga di Istana Negara, cocok untuk menyindir pola pemerintah Indonesia dalam menyusun kebijakan.

Kalau bahasa kerennya: cherry picking. Ini merujuk pada kebiasaan memilih-milih data atau fakta tertentu yang mendukung suatu pendapat, sementara mengabaikan fakta lain yang tidak mendukungnya.

Pemerintah Indonesia sering banget melakukan teknik cherry picking ini. Ketika membuat kebijakan, rujukannya ke negara lain. Tapi rujukan itu tidak lengkap, karena terkadang mengabaikan konteks, latar belakang, dan kenyataan pahit yang jarang diungkapkan.

Bicara pajak meniru negara-negara Nordik

Ketika menyinggung pajak, pemerintah pernah menyinggung pajak yang tinggi di negeri-negeri Nordik. “Dalam hal ini, if you want to create social safety net seperti di Nordic Country, then you have prepare for a very big high income tax,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani.

Di medsos X, ketika perdebatan sengit soal PPN 12 persen, ada netizen yang bilang, Kupikir rasa jika ingin memiliki negara kesejahteraan ala Nordik, tidak ada jalan lain selain mendanainya melalui PPN. Inilah sebabnya mengapa negara-negara Eropa memiliki tarif PPN yang sangat tinggi (>12 persen).

Yang lucu di sini, ketika menyinggung tarif pajak yang tinggi di negeri Nordik, yang terlupakan adalah soal penghasilan masyarakatnya. Dalam hal ini: gaji. Di negara-negara Nordik, rata-rata gaji per bulan sebesar Rp 50 juta ke atas. Sementara di Indonesia, rata-rata gaji pekerja hanya Rp 3,04 juta per bulan. Belum lagi, mayoritas pekerja di Indonesia mengadu nasib di sektor informal.

Di negara-negara Nordik, pajak yang tinggi juga disertai transparansi. Tingkat korupsinya sangat rendah. Negara-negara ini, seperti Denmark, Finlandia, Norwegia, dan Swedia, merupakan negara dengan tingkat korupsi terendah di dunia.

Bandingkan dengan Indonesia, yang korupsinya menggunung dan sistemik. Bahkan lembaga anti-korupsinya saja dilemahkan agar bisa disetir untuk melakukan politik pemberantasan korupsi tebang pilih.

Di negara-negara Nordik, manfaat dari pajak itu terasa dalam bentuk pendidikan gratis, fasilitas publik yang nyaman, tunjangan sosial, dan lain-lain. Di Indonesia, pajak diselewengkan untuk gaya hidup mewah pejabat dan keluarganya.

Efisiensi dan kabinet gemuk

Ketika Presiden Prabowo mengumumkan langkah efisiensi anggaran, yang berdampak pada menciutnya belanja pelayanan publik, banyak yang mengkritik soal kabinet gemuk. Efisiensi dikencangkan, tapi kabinet tetap gemuk.

Ketika disindir soal kabinet gemuk, Presiden Prabowo justru mengambil contoh Timor Leste. Menurutnya, Timor Leste yang berpenduduk 1,3 juta orang, lebih kecil dari Kabupaten Bogor, punya 28 kementerian.

Lucu juga, seringkali mendaku kita bangsa besar, tetapi kiblatnya Timor Leste. Seharusnya, agar apple to apple secara populasi, Indonesia dibandingkan dengan Tiongkok, AS, dan Brasil. Tiongkok, negeri berpenduduk 1,4 miliar orang, hanya punya 21 kementerian. AS berpenduduk 334,9 juta orang, tetapi kementeriannya cuma 15. Brasil, yang secara ekonomi dan populasi tak berbeda jauh dengan kita, cuma punya 23 kementerian. Yang paling ekstrem, Argentina yang berpenduduk 46,6 juta hanya punya tujuh kementerian.

Lagi pula, kalau bicara efisiensi, harusnya berani meniru Vietnam. Di Negeri Paman Ho itu, politik efisiensi disertai perampingan kabinet dari 18 menteri menjadi 14 menteri. Rencananya, Vietnam juga akan mengurangi jumlah pegawai pemerintah demi efisiensi dan merampingkan birokrasi. Harapannya, birokrasi yang ramping bisa menghemat anggaran sekaligus gesit dalam merespons situasi ekonomi. Vietnam bermimpi bisa meraih pertumbuhan ekonomi 8 persen pada tahun ini.

Mimpi punya SWF kelas dunia seperti Temasek

Danantara, yang dibentuk pada 24 Februari 2025, adalah sovereign wealth fund (SWF) yang diimpikan bisa selevel dengan Temasek Singapura dan Khazanah Nasional Berhad Malaysia.

Tapi di balik mimpi itu, ada kenyataan yang sengaja dilupakan. Temasek dan Khazanah berdiri di atas fondasi transparansi dan tata kelola yang ketat. Di Singapura, pengelolaan dana publik diawasi penuh dan dibuka ke publik. Tingkat korupsinya juga nyaris nol. Temasek berjalan independen dengan pendekatan bisnis profesional.

Sementara Indonesia rekam jejaknya suram. Mulai dari Jiwasraya, skandal Bank Century, Asabri, BLBI, semua kisah gagal yang bercampur korupsi. Korupsi masih jadi persoalan terbesar di negeri kita.

Apalagi, di struktur BPI Danantara, aroma benturan kepentingan politiknya sangat kuat. Dewan Penasihat adalah dua presiden yang punya rekam jejak skandal. Yang satu, punya jejak skandal Bank Century dan proyek gagal di Hambalang. Yang satu lagi, dia baru saja dinobatkan OCCRP sebagai salah satu tokoh politik terkorup pada 2024. Di jajaran Badan Pelaksana ada mantan ketua tim sukses Prabowo dan seorang pengusaha yang punya hubungan kekerabatan dengan pejabat kuat di era Jokowi dan Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) di era Prabowo.

Pendidikan yang berkiblat ke Finlandia

Bicara pendidikan, Indonesia seringkali mengambil kiblat ke Finlandia. Konsep merdeka belajar, yang menghapus ujian nasional, konon mencomot pengalaman Finlandia.

Ini lagi-lagi membandingkan langit dan bumi. Soal akses, pendidikan di Finlandia gratis sepenuhnya dari pendidikan dasar hingga tinggi. Tidak ada diskriminasi dan kualitasnya hampir merata.

Di negeri kita, meski ada wajib 12 tahun, tapi ada 7,6 persen penduduk usia 7-18 tahun yang tidak bersekolah (Susenas, 2022). Angka putus sekolah masih sangat tinggi. Sementara ketimpangan infrastruktur dan kualitas pendidikan sangat mencolok, baik antara desa dengan kota, antara sekolah biasa dengan elit maupun unggulan.

Bicara soal guru, yang notabene ujung tombak kemajuan pendidikan sebuah negara, Finlandia benar-benar sudah level paling maju. Untuk mengajar di PAUD, gurunya harus berpendidikan minimal sarjana. Sementara untuk SD/SMP/SMA, gurunya harus berpendidikan minimal S2 atau master. Itu pun harus menguasai pedagogi.

Kualifikasi guru seperti itu memungkinkan mereka bisa menerjemahkan kurikulum, bahkan berinovasi, sesuai situasi sekolah masing-masing. Mereka punya otonomi yang besar dalam mengajar dan mengimplementasikan kurikulum.

Tentu saja, kualitas guru yang tinggi itu disertai dengan gaji yang mantap. Gaji rata-rata guru di Finlandia sebesar €2.800 atau Rp 43 juta per bulan. Sementara di Indonesia, gaji guru PNS sebesar Rp 1,5 juta hingga Rp 6 juta, sesuai golongan. Sementara guru honorer hanya digaji antara Rp 300 ribu hingga Rp 2 juta.


Belajar dari negara lain itu bagus, bahkan wajib. Tapi belajar itu bukan soal memilih yang enak didengar lalu mengabaikan fakta yang gak enak didengar. Kalau cuma ngambil yang manis-manis dan mencampakkan yang pahit, hasilnya adalah kebijakan yang gagal menjawab masalah utama, memicu gonjang-ganjing, dan membawa kerugian bagi publik.

Karena bangsa yang maju bukan bangsa yang jago cherry picking. Bangsa yang maju adalah bangsa yang berani belajar utuh, menerima kenyataan pahit, dan dan melakukan koreksi tanpa henti, tanpa ngeles dan manipulasi.

Kebijakan yang baik adalah yang berbasis riset mendalam, konsultatif, dan berbasis kebutuhan masyarakat. Kebijakan itu disusun dari bawah, berbasis kebutuhan rakyat, dengan mendengar beragam masukan. Bukan kebijakan top-down, copy-paste, apalagi cherry-picking.

Pertanyaannya, kapan kita mulai jujur belajar, bukan sekadar cari bahan jualan politik?

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Prev
Urgensi Melawan Diskriminasi Usia

Urgensi Melawan Diskriminasi Usia

Di usia tertentu, mereka sering dianggap tidak lagi produktif, sulit beradaptasi

Next
Kisah CIA Gulingkan Mossadegh di Iran

Kisah CIA Gulingkan Mossadegh di Iran

Mossadegh terpilih sebagai Perdana Menteri Iran pada 28 April 1951

You May Also Like
Total
0
Share