Di tengah serangan terhadap kebebasan pers dan teror kepada jurnalis yang kembali marak terjadi, pernahkah kita berhenti sejenak untuk merenung dan bertanya: apa sesungguhnya arti kebebasan pers bagi denyut nadi demokrasi? Jauh sebelumnya, seorang proklamator, demokrat sejati bernama Mohammad Hatta, telah menyerukan jawabannya dengan lantang. Dan, suara itu masih relevan hingga detik ini.
Bagi Bung Hatta, demokrasi bukanlah slogan kosong. Ia adalah prinsip yang hidup, yang detaknya terasa dalam setiap pembelaan terhadap hak-hak rakyat. Salah satu pilar utamanya: kemerdekaan pers. Sikapnya tak pernah luntur, baik saat melawan kolonialisme Belanda maupun saat mengkritik rezim Orde Baru yang mulai memasung kebebasan. Hatta adalah kompas moral yang konsisten.
Pembungkaman pers era kolonial
Mari kita putar waktu ke tahun 1931. Pemerintah kolonial Belanda menghunus belati bernama “Persbreidel Ordonnantie”. Sebuah aturan yang memberi Gubernur Jenderal hak absolut untuk membungkam media mana pun yang dianggap mengancam “ketertiban umum”. Itu adalah sensor yang dilegalkan, belenggu yang dipasangkan pada pikiran-pikiran merdeka.
Di saat itulah, Hatta tidak diam. Melalui koran Daulat Rakjat, ia menulis esai tajam berjudul “Tuntut Kemerdekaan Pers”. Ia tidak beretorika, ia mengutip langsung Declaration of Human Rights: “Bahwasanya kebebasan pers itu adalah salah satu benteng kemerdekaan yang besar, dan hanya dapat dimatikan oleh pemerintah yang bersifat sewenang-wenang.”

Bagi Hatta, ini bukan sekadar kebijakan politik, tapi adalah perampasan hak paling asasi. Ia melihat sebuah paradoks yang menusuk akal sehat: di negeri Belanda, pers bebas dan dilindungi undang-undang. Namun di Hindia Belanda, tanah jajahannya, kebebasan itu diberangus. Hatta pun melontarkan gugatan abadi: “Apakah kemerdekaan pers tidak dipandang sebagai hak asli rakyat Indonesia?”
Demokrasi asli Nusantara
Inilah bagian paling mencerahkan dari pemikiran Hatta. Ia tidak sekadar mengimpor gagasan Barat. Ia menggali dari rahim peradaban Nusantara. Jauh sebelum Eropa berbicara tentang trias politica, hukum adat kita telah mengakui hak rakyat untuk berkumpul mencari mufakat dan hak untuk memprotes secara terbuka (recht op massa-protest).
“Dalam zaman raja-raja paling lalim di Indonesia,” tulis Hatta, “hak rakyat tadi… tetap diakui dalam pergaulan hidup dan kalbu rakyat.” Sebuah tamparan telak bagi penguasa kolonial yang merasa lebih modern dan beradab. Hatta menunjukkan bahwa semangat kebebasan berekspresi sudah menjadi pusaka bangsa, jauh sebelum kapal-kapal mereka berlabuh.
Penindasan pers oleh kolonial, bagi Hatta, adalah konsekuensi logis dari watak penjajahan itu sendiri: jajahan ada untuk dieksploitasi. Maka, suara-suara kritis yang bisa membangkitkan kesadaran rakyat harus dibungkam.

Perjuangan di atas padang surat kabar
Lalu, apa jalan keluarnya? Hatta menolak jalan kompromi yang semu. Ia tidak menaruh harapan pada parlemen bentukan kolonial, Volksraad. Baginya, perjuangan merebut kembali kebebasan pers harus dilakukan di arenanya sendiri.
“Jalan untuk mencapai kemerdekaan pers tidak melalui gedung Volksraad di Pedjambon, melainkan di atas padang surat kabar sendiri,” tulisnya. Sebuah seruan untuk menjadikan media sebagai medan pertempuran gagasan, bukan sekadar pelapor peristiwa. Ia mendorong para jurnalis untuk berserikat, menyusun kekuatan, dan melancarkan aksi bersama.
Hatta bukan hanya seorang teoretikus. Ia adalah praktisi. Koran-koran pergerakan seperti Indonesia Merdeka, Daulat Rakjat, dan Utusan Indonesia menjadi senjatanya untuk mendidik, menyadarkan, dan menunjukkan jalan menuju pembebasan. Tinta penanya adalah peluru yang menembus kebekuan zaman.

Pelajaran untuk hari ini
Kini, hampir seabad setelah Hatta menulis gugatannya, kita menghadapi “ordonnantie” dalam bentuk baru. Bukan lagi aturan kolonial, melainkan disinformasi yang merajalela, tekanan ekonomi pada media independen, polarisasi politik yang mencekik nalar, hingga algoritma media sosial yang mengurung kita dalam gelembung kebenaran semu.
Api yang dinyalakan Hatta adalah pengingat abadi. Bahwa kebebasan pers bukanlah hadiah, melainkan sesuatu yang harus terus diperjuangkan dan dirawat. Bahwa menjadi jurnalis atau insan media bukan sekadar profesi, melainkan sebuah panggilan untuk menjaga kewarasan publik. Dan, bagi kita, rakyat biasa, membaca secara kritis dan mendukung media yang berintegritas adalah cara melanjutkan perjuangan Hatta di “padang surat kabar” era digital.
Warisan Hatta bukanlah sekadar catatan sejarah yang usang. Ia adalah pengingat sekaligus panggilan. Pengingat bahwa kebebasan pers adalah hak paling asasi dari rakyat. Juga sebuah panggilan untuk tidak pernah lelah menuntut kebenaran, menjaga akal sehat, dan memastikan bahwa benteng demokrasi terakhir itu, yaitu kebebasan pers, harus tetap berdiri kokoh.