Tak salah memang Nabi Muhammad bilang: Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Tiongkok. Negeri itu bukan cuma punya tradisi panjang soal ilmu, tapi juga lihai dalam urusan berdikari secara ekonomi—tanpa banyak koar-koar.
Waktu Trump menggertak dengan tarif 34 persen, Tiongkok tidak gentar. Tidak pakai lama, tak ada mencla-mencle, mereka langsung membalas. Ekspor rare earth elements—bahan baku penting buat teknologi tinggi—langsung disetop. Ini barang vital buat perusahaan teknologi di AS.
Selain itu, agar terlihat taat aturan main global, mereka juga mengadu ke WTO. Belum cukup. Tiongkok pasang tarif balasan 34 persen buat semua produk AS. Tak sampai di situ, mereka juga buka investigasi atas dugaan monopoli oleh DuPont China Group Co, anak perusahaan raksasa kimia asal AS.
Trump ngamuk. Patriotisme ala fasisnya terusik. Ia naikkan tarif jadi 104 persen. Tiongkok balas lagi: 84 persen. Trump tambah panas, tarif untuk negara lain ditunda 90 hari, tapi untuk Tiongkok dinaikkan jadi 145 persen. Tiongkok? Tetap kalem, tapi mengumumkan tarif balasan sebesar 125 persen.
Akhirnya, Trump main all-in: tarif untuk semua produk Tiongkok dinaikkan jadi 245 persen. Tapi Tiongkok tetap tegak. Mereka bahkan ogah kirim delegasi negosiasi ke Washington.
Kata Xi Jinping, “Ekonomi Tiongkok bukan kolam, tapi lautan. Angin dan badai bisa mengguncang kolam, tapi bukan lautan.” Sebuah pernyataan penuh rasa percaya diri, sekaligus sindiran halus untuk AS.

Meski baru gabung WTO tahun 2001, Tiongkok tahu cara berselancar di tengah ombak pasar bebas. Sebagai kekuatan manufaktur yang sedang naik daun, mereka butuh pasar luas. Tapi—dan ini penting—mereka tidak menelan mentah-mentah semua resep neoliberal.
Mereka main cantik: ikut pasar bebas, tapi tetap jaga kontrol negara. Industri strategis dilindungi, investasi ke riset dan pendidikan digenjot. Hasilnya? Fantastis. PDB Tiongkok kini setara 19 persen ekonomi dunia. Pangsa ekspornya 14 persen—lebih tinggi dari AS yang hanya 10,3 persen pada 2023. Dan yang paling mengesankan: lebih dari 800 juta orang berhasil keluar dari kemiskinan.
Tiongkok juga jadi pusat manufaktur dunia. Di TikTok, para produsen Tiongkok nge-spill biaya produksi barang-barang mewah dunia: dari Birkin, Louis Vuitton, Chanel, sampai Versace. Tas Birkin yang harganya bisa tembus Rp 570 juta di AS, ternyata dibuat cuma dengan ongkos sekitar Rp 23 jutaan di Tiongkok. Konsumen AS cuma bisa melongo.
Meski tegas dalam perang tarif, Tiongkok tetap waras. Mereka tahu, tak ada yang benar-benar menang dalam perang dagang. “Perang tarif, perang dagang, dan perang teknologi bertentangan dengan hukum gerak sejarah dan hukum ekonomi. Tak akan ada pemenangnya,” kata Xi Jinping.
Ucapan Xi bukan tanpa dasar. Sebagai pembaca Karl Marx, ia paham betul isi Manifesto Komunis. Di sana tertulis jelas:
“Kebutuhan untuk terus memperluas pasar bagi produk-produknya mendorong borjuasi untuk menyebar ke seluruh permukaan bumi. Mereka harus bersarang di mana-mana, bertempat di mana-mana, membangun hubungan di mana-mana. Lewat eksploitasinya atas pasar dunia, borjuasi telah memberikan karakter kosmopolitan pada produksi dan konsumsi di setiap negeri. Mereka telah menghancurkan pondasi nasional yang melandasi industri, dan ini membuat resah kaum Reaksioner.”
Kalau Trump justru menutup diri dengan tembok tarif, ya artinya dia sedang melawan hukum gerak sejarah.
Xi menyindir dengan elegan: “Menutup diri dalam halaman kecil yang dikelilingi tembok tinggi bukan hanya merugikan bangsa lain, tapi juga melukai diri sendiri.” Sebuah tamparan metaforis buat Trump.
Kenapa Tiongkok mau repot-repot hadapi perang tarif ini? Mungkin mereka sepemikiran dengan Tan Malaka yang dulu berjuang di bawah tanah di Tiongkok:tuan rumah tidak akan berunding dengan maling yang menjarah rumahnya. Tiongkok tak mau tunduk. Tak ada utusan dikirim ke Gedung Putih. Tak ada kompromi soal “relokasi Gaza” ala Trump.
Dengan populasi 1,8 miliar, pasar domestik mereka sendiri sudah raksasa. Mereka juga bebas memilih mitra dagang: bisa ke Asia, Afrika, Amerika Latin, atau bahkan Eropa. Belakangan ini, Tiongkok bahkan menggandeng negara-negara Eropa buat bikin “Front Persatuan” melawan kebijakan tarif ala Trump.
Menariknya, kini Trump mulai melunak. Ia janji akan menurunkan tarif buat Tiongkok secara signifikan. “145 persen itu terlalu tinggi… tarifnya akan turun, tapi tidak akan nol,” katanya kepada CNN, 23 April 2025.
Inilah yang disebut berdikari. Tegas, tapi rasional. Mandiri, tapi tak isolasionis. Tahu kapan harus maju, dan tahu kapan harus diam, tanpa tunduk.
Sangat berbeda dengan negeri antah-berantah yang mengirim delegasi ke AS, menyetujui “relokasi Gaza” yang notabebe agenda Trump, menghapus kuota impor dan TKDN, berjanji akan mengimpor lebih banyak produk energi dan pertanian dari AS, dan membiarkan sistem pembayaran domestik diobok-obok. Pemimpinnya galak di podium, tapi lembek di dalam kebijakan. Semangatnya merah-putih, tetapi sangat lunak di hadapan Trump.