Dua dekade pascareformasi 1998, wajah politik Indonesia tak banyak berubah. Ada banyak wajah politisi lama yang hanya berganti partai dan bendera.
Ada wajah anak-anak muda. Namun, sebagian mereka hanya pewaris takhta dari bapak-ibunya. Ada juga anak muda titipan orang-orang kaya di Indonesia.
Sementara anak-anak muda yang dulu gagah perkasa di jalanan untuk menentang rezim Orde Baru, yang sering disebut “angkatan 1998”, hanya sedikit jumlahnya. Itu pun mereka tak jauh-jauh dari jabatan anggota DPR dan Komisaris BUMN.
Cerita berbeda disuguhkan oleh mantan aktivis-aktivis mahasiswa di Chile. Di negeri berpenduduk 18 juta jiwa itu, gerakan mahasiswa benar-benar mengubah wajah politik negeri itu.
Kalau tak ada aral melintang, pada 21 November nanti, Chile akan menggelar pemilu. Yang menarik, dari selusin wajah-wajah Capres yang disebut-sebut akan mewarnai pemilu itu, ada satu pemuda berusia 35 tahun.
Gabriel Boric, nama anak muda itu, adalah mantan aktivis mahasiswa. Dia bersama Camila Vallejo dan Giorgio Jackson menjadi tokoh penting demonstrasi besar mahasiswa Chile pada 2011–2013.
Memang, dari beberapa survei terbaru, elektabilitas Boric masih sangat rendah: masih 5 persen. Sangat jauh di bawah kandidat yang diusung partai Komunis, Daniel Jadue, yang tembus 20 persen.
Sekarang ini, Boric menjabat anggota DPR selama dua periode. Di parlemen, dia sangat gigih memperjuangkan isu-isu yang disuarakan di jalanan, terutama pendidikan dan konstitusi baru.
Dia adalah Gabriel Boric. Sepanjang 2011–2013, ketika gerakan mahasiswa Chile menarik perhatian dunia, Gabriel menjadi salah satu tokohnya. Sama dengan Camila Vallejo, dia juga bekas Presiden Federasi Mahasiswa Universitas di Chile (FECH).
Selain Boric, ada banyak wajah aktivis lain yang juga menghiasi politik Chile hari-hari ini. Di DPR, ada sejumlah mantan aktivis, seperti Giorgio Jackson, Camila Vallejo, dan Karol Cariola.
Di parlemen, anak-anak aktivis ini sering disebut bancada estudiantil atau blok pelajar. Menariknya, kendati anak-anak muda ini berbeda partai, tetapi mereka kerap berkolaborasi untuk memperjuangkan isu-isu tertentu. Sebagai misal, mereka berempat menjadi motor kampanye untuk pengurangan jam kerja [1].
Selain di DPR, mantan aktivis mahasiswa juga berkiprah di pemerintahan lokal. Mereka berhasil merebut pemerintah lokal dari tangan para politisi tua dan korup.
Tahun 2016 lalu, di kota Valparaíso, kota terbesar kedua di Chile, seorang mantan aktivis mahasiswa memenangi Pilkada. Jorge Sharp, nama aktivis muda itu, berhasil menang besar: 53,7 persen.
Baru-baru ini, di kota Santiago, Ibukotanya Chile, seorang aktivis mahasiswa juga membuat kejutan besar. Irací Hassler, seorang pemudi berusia 31 tahun, berhasil memenangkan pemilihan Walikota dengan menyingkirkan kandidat petahana.
Dan capaian paling luar biasa sebetulnya terwujud pada pertengahan Mei 2021 lalu. Ketika Chile menyelenggarakan Pemilu Majelis Konstituante. Dari 135 kursi yang diperebutkan, sebanyak 77 persen kursi direbut oleh partai-partai kiri dan progresif.
Dalam pemilu Konstituante itu, koalisi kiri Apruebo Dignidad, yang diinisiasi oleh Frente Amplio dan partai komunis, mendapat 28 kursi. Koalisi ini dikomandani oleh anak-anak muda mantan aktivis mahasiswa, seperti Gabriel Boric, Giogio Jackson, dan Camila Vallejo.
Lalu, bagaimana capaian politik yang luar biasa itu bisa terwujud?
Pertama, gerakan mahasiswa di Chile tidak membangun gerakan yang hanya mengapung di atas dunianya sendiri, yang terkurung dalam tembok-tembok kampus.
Sekalipun mengangkat isu pendidikan, jangkauannya bukan hanya mahasiswa, pelajar, dosen, guru-guru, atau pemerhati pendidikan. Mereka menjangkau seluruh orang yang berkepentingan dengan pendidikan, seperti buruh, petani, masyarakat adat, dan lain-lain.
Tahun 2011, mereka pernah menggelar aksi yang disebut “Marcha familiar por la educación”. Aksi ini tak hanya memobilisasi pelajar, mahasiswa, guru-guru, dan dosen, tapi juga orang tua dan masyarakat umum.
Dukungan orang tua dan masyarakat umum itu memang tidak terjadi tiba-tiba. Ada faktor objektif yang mendorongnya, yaitu dampak neoliberalisme pendidikan yang menutup akses masyarakat luas terhadap hak atas pendidikan.
Namun, ada juga faktor yang diciptakan sendiri oleh gerakan mahasiswa, yaitu terciptanya sebuah ruang yang memungkinkan gerakan mahasiswa dan masyarakat luas untuk duduk bersama, mendiskusikan beragam persoalan, lalu menyusun resolusi bersama.
Ruang itu adalah majelis-majelis, yang sifatnya terbuka, demokratis, dan memperlakukan semua partisipan secara setara. Ada majelis berbasis teritori, yang memungkinkan gerakan mahasiswa berdialog dengan masyarakat luas.
Strategi memungkinkan gerakan mahasiswa meraih dukungan luas dari masyarakat. Tak mengherankan, berdasarkan jajak pendapat CERC saat itu, sebanyak 89 publik mendukung protes mahasiswa [2].
Kedua, secara umum gerakan mahasiswa Chile tidak memunggungi perjuangan politik. Malahan, beberapa tokohnya, seperti Camila Vallejo, Karol Cariola, Gabriel Boric, dan Giorgio Jackson, adalah kader-kader partai.
Seperti diketahui, Camila Vallejo dan Karol Cariola adalah kader partai komunis. Keduanya aktif di sayap pemuda partai komunis: Juventudes Comunistas de Chile/JJ.CC.
Sementara Gabriel Boric merupakan kader Izquierda Autónoma (IA), gerakan kiri yang berusaha memadukan antara marxisme dan prinsip otonomisme. Partai ini banyak menggarap aktivis mahasiswa.
“Kami menyadari, kami tak bisa bertahan hanya sebagai gerakan sosial. Kami harus memberi gerakan sosial ini sebuah ekspresi politik. Gerakan sosial tanpa ekspresi sosial hanyalah penuntut biasa di depan pemerintah,” kata Gabriel Boric saat berbicara di Centre for Latin America Studies (CLAS) UC Barkeley, 10 Februari 2020.
Marta Harnecker lewat artikelnya, Conquering a new popular hegemony, menunjukkan perlunya keterhubungan antara gerakan protes di jalanan dengan kebutuhan instrumen politik.
Menurutnya, sekalipun protes jalanan bisa mengikis popularitas rezim, tetapi hegemoni baru (hegemoni rakyat) tak serta muncul untuk menggantikannya.
“Ini tidak akan terjadi secara spontan, kita membutuhkan instrumen politik,” katanya.
Belajar dari berbagai mobilisasi sosial berskala besar di Amerika latin sepanjang tahun 2000-an, ada yang berhasil merebut gedung parlemen, mengepung istana Presiden, bahkan menggulingkan Presiden, tetapi tak berhasil menaklukkan kekuasaan dan mendorong transformasi sosial yang radikal.
“Sejarah revolusi yang sukses menunjukkan, agar energi rakyat tak sia-sia dan bisa mengubahnya menjadi kekuatan yang mendorong perubahan, sebuah organisasi politik sangat dibutuhkan,” tulisnya.
Chantal Mouffe, dalam bukunya “For a Left Populisme”, juga memberi penekanan yang sama. Tanpa membangun artikulasi dengan organisasi politik, sulit bagi gerakan sosial untuk memenangkan tuntutan yang berdampak pada perubahan sosial.
“Meskipun gerakan protes tersebut memiliki peran penting dalam membangun transformasi kesadaran politik, tetapi hanya jika diikuti dengan gerakan politik yang terstruktur melalui kerja sama dengan institusi politik, hasil yang signifikan dapat tercapai,” tulisnya.1
Ketiga, alih-alih menumpangkan nasib dan perjuangannya pada partai-partai tradisional, para aktivis ini memilih partai progresif atau mendirikan partai alternatif.
Di Chile, selama 3 dekade pasca-lengsernya Pinochet, politik hanya didominasi oleh dua koalisi politik: koalisi kanan dan koalisi kiri tengah Concertación. Kedua koalisi ini dianggap mewakili partai-partai tradisional di Chile.
Anak-anak muda aktivis itu sadar betul, jika mereka menceburkan diri dengan partai-partai tradisional, sama saja dengan mengubur harapan rakyat dan masa depan politik mereka.
Karena itu, belajar dari pengalaman Frente Amplio di Uruguay dan Podemos di Spanyol, mereka mendirikan partai alternatif. Itu terjadi pada 2017. Nama partainya: Frente Amplio. Penggagas utamanya adalah Gabriel Boric, Giorgio Jackson, dan George Sharp.
Partai alternatif ini menekankan prinsipnya pada platform anti-neoliberalisme, demokrasi partisipatoris, dan independensi dari kelompok bisnis (oligarki).
Tahun itu juga Chile menggelar Pemilu. Berhubung partai baru ini tidak punya kandidat yang populer, Boric dan kawan-kawan mendekati seorang jurnalis televisi yang progresif, Beatriz Sánchez.
Dari sekitar lima kandidat yang dipilih untuk diusung oleh Frente Amplio, Sánchez meraih suara terbanyak. Akhirnya, Frente Amplio resmi mengusung Sánchez sebagai capresnya.
Kendati tidak menang, tetapi hasilnya luar biasa. Kendati partai baru, Frente Amplio berhasil menempatkan Sánchez di urutan ketiga (hanya beda tipis dengan kandidat urutan kedua).
Frente Amplio juga berhasil merebut 20 kursi (dari 155 kursi) dan 1 kursi senat (dari 43 kursi). Sebuah prestasi luar biasa untuk sebuah partai baru.
Lalu, pada pemilu Majelis Konstituante pada pertengahan Mei lalu, Frente Amplio bersekutu dengan koalisi yang dimotori oleh partai komunis (Chile Digno) dalam payung Apruebo Dignidad.
Hasilnya sungguh menakjubkan: mereka merebut 28 kursi dari 155 kursi Majelis Konstituante yang diperebutkan. Perolehan mereka lebih tinggi dari koalisi kiri tengah Concertación yang sudah mendominasi politik Chile sejak dekade terakhir.
Itu berarti, koalisi politik yang digawangi oleh mantan-mantan aktivis mahasiswa itu menjadi kekuatan politik kedua terbesar setelah koalisi kanan Chile Vamos.
Dalam pemilu November mendatang, kalau koalisi Frente Amplio dan partai komunis bertahan, ada potensi mereka akan memenangi pemilu.
Sebab, berdasarkan jajak pendapat terbaru, Daniel Jadue, kandidat dari partai komunis, meraih elektabilitas tertinggi dari semua kandidat: 20 persen [3].
Jadi, kalau mereka tetap berkoalisi di pemilu mendatang, maka hari-hari esok Chile akan di tangan anak-anak muda progresif.
Anak-anak muda yang dulu pernah berpanas-panas dan bersuara lantang di jalanan demi tegaknya demokrasi dan keadilan sosial.
RAYMOND SAMUEL
[2] https://nacla.org/article/chilean-students-challenge-pinochet%E2%80%99s-legacy
[3] https://www.bloomberg.com/news/articles/2021-05-24/communist-candidate-jadue-leads-chile-presidential-election-poll