Terlihat gagah memakai baret bintang satu, wajah Ernesto “Che” Guevara sangat ikonik. Tapi di balik gambarnya yang mendunia itu, ada kisah nyata manusia yang sangat kompleks: seorang dokter, petualang, pejuang, pemikir, dan negarawan yang mendedikasikan hidupnya untuk sebuah ide besar dunia yang lebih adil.
Cerita ini, ironisnya, menemukan kekuatannya justru di akhir hayat sang tokoh revolusioner tersebut. Pada 9 Oktober 1967, di sebuah sekolah reyot di Desa La Higuera, Bolivia, Che yang kala itu berusia 39 tahun dieksekusi mati oleh tentara Bolivia. Perintah itu datang langsung dari Presiden Bolivia, Rene Barrientos, yang khawatir jika Che dibawa ke pengadilan, maka persidangannya akan menjadi panggung politik global. Mereka takut kharisma Che Guevara akan menarik simpati dunia pada perjuangannya. Karena itu, mereka berusaha membunuh Che, sekaligus mengubur gagasan dan semangatnya.
Namun, sejarah membuktikan langkah itu keliru. Mereka memang berhasil membunuh Che Guevara, tapi sekaligus juga melahirkan seorang legenda. Sejak saat itu, ikon Che dan semangatnya justru menyebar ke seluruh dunia, menjadi simbol perlawanan di mana-mana. Dan kata-katanya terus relevan, menjadi sebuah manifesto: “Bila hatimu bergetar marah melihat ketidakadilan, maka kau adalah kawanku.”
Berpetualang menemukan revolusi
Untuk memahami pilihan Che, kita harus kembali ke kisah awal perjalanannya. Ernesto Guevara lahir di Rosario, Argentina, pada 14 Juni 1928, dari keluarga kelas menengah. Meski sejak kecil dibekap penyakit asma akut, semangatnya tak pernah rapuh. Ia adalah pemuda yang energik, menyukai renang, sepak bola, dan berpetualang.

Ia menempuh pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas Buenos Aires. Namun, jiwanya yang resah tak bisa diam di ruang kuliah. Ia melakukan sebuah perjalanan panjang yang mengubah hidupnya, menjelajahi Amerika Selatan dengan sepeda motor. Perjalanan inilah yang menjadi “universitas” sesungguhnya. Ia tidak hanya melihat pemandangan, tetapi menyaksikan realitas pahit: ketidakadilan struktural, kemiskinan akut, dan kehidupan para buruh serta petani yang diperas habis-habisan. Pengalaman ini memupuk kesadaran politiknya dan melahirkan sebuah sumpah yang ia tulis di buku hariannya: “Aku akan selalu berada di pihak rakyat.”
Kesadaran itu berubah menjadi keyakinan radikal di Guatemala. Di sana, ia menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana pemerintahan progresif Presiden Jacobo Árbenz digulingkan melalui kudeta yang didalangi oleh CIA. Dosa Árbenz di mata kaum imperialis karena berani menjalankan reforma agraria dan menasionalisasi United Fruit Company, perusahaan raksasa Amerika. Kejadian ini menyadarkan Che bahwa kekuatan besar tidak akan mentolerir perubahan yang merugikan kepentingan mereka, bahkan jika itu ditempuh lewat jalan damai seperti pemilu. Sejak saat itu, ia beralih pada keyakinan akan pentingnya perjuangan bersenjata.
Bergabung dalam revolusi Kuba
Takdir membawanya bertemu Fidel Castro di Mexico City. Fidel saat itu memimpin kelompok revolusioner “Gerakan 26 Juli”. Pertemuan itu menyatukan dua energi besar. Pada 1956, mereka memulai misi yang tampak mustahil. Sebanyak 82 orang revolusioner menumpang kapal tua bernama Granma untuk memulai perjuangan bersenjata di Kuba.

Pendaratan mereka adalah sebuah bencana. Mereka disergap militer Batista. Hanya sekitar 21 orang yang berhasil selamat, termasuk Fidel, Che, dan Raul Castro. Di ambang kehancuran inilah, epik perjuangan mereka dimulai. Bersama pejuang lain seperti Juan Almeida dan Camilo Cienfuegos, mereka membangun basis gerilya di pegunungan Sierra Maestra. Di sanalah Che membuktikan dirinya bukan hanya sebagai dokter, tetapi juga ahli taktik brilian hingga mendapat sebutan “Comandante”, setelah memenangkan pertempuran krusial di Santa Clara pada Desember 1958. Ia juga berperan penting melahirkan radio pemberontak, Radio Rebelde, sebagai corong untuk berbicara kepada rakyat.
Pada 1 Januari 1959, rezim Batista yang disokong Amerika Serikat tumbang. Revolusi menang.

Kontribusi pemikiran
Setelah kemenangan, Che tidak berleha-leha. Ia terjun langsung dalam tugas-tugas kenegaraan yang rumit. Che sempat menjabat Presiden Bank Nasional Kuba, lalu ditunjuk sebagai Kepala Departemen Industrialisasi di Institut Nasional Reforma Agraria (INRA), di mana ia mengawasi program reforma agraria di seluruh negeri.
Sebagai Menteri Perindustrian, ia mencoba menerapkan gagasan ekonomi-politik Karl Marx yang kompleks. Ia merancang apa yang disebut Sistem Penganggaran Keuangan (BFS), sebuah model manajemen sosialis. Ia juga menekankan pentingnya pendidikan dan teknologi untuk kemajuan sosialisme, serta mensponsori berdirinya berbagai lembaga penelitian.
Che memprakarsai berdirinya lembaga penelitian untuk pengembangan bioteknologi (khususnya kedokteran), pengolahan nikel, eksplorasi minyak, industri kimia, dan lain-lain. Che juga menyokong partisipasi penuh pekerja dalam manajemen atau tata-kelola pabrik.

Che menekankan arti penting pembangunan kesadaran dalam memperkuat proyek sosialisme. Dia menulis risalah berjudul “Sosialisme dan Manusia di Kuba” pada 1965. Risalah ini mengelaborasi pentingnya pembangunan manusia baru yang terbebas dari alam berpikir dan mentalitas masyarakat kapitalis.
Semangat internasionalisme sejati
Che adalah seorang revolusioner sejati yang tak mengenal batas negara. Ia sempat berkunjung ke berbagai negara, termasuk Indonesia, dan berpidato di Majelis Umum PBB pada 1964.
Namun, hatinya tak bisa tenang melihat perjuangan pembebasan di benua lain. Semangat internasionalismenya ini membuatnya mengambil keputusan radikal: meninggalkan semua jabatan dan kenyamanannya di Kuba untuk kembali ke medan perang.
Ia ikut serta dalam perjuangan rakyat Kongo di Afrika. Pada 1966, ia kembali ke Amerika Latin dan memilih Bolivia untuk melanjutkan perjuangannya, serta mencoba menerapkan teori gerilya “Foco”. Sayang, aktivitas revolusionernya di sana berakhir setelah ia ditangkap dan dibunuh.

Warisan yang terus berkobar
Apakah dengan membunuhnya api revolusi berhenti? Sama sekali tidak. Kematiannya justru menjadi pemantik.
Tiga tahun setelah kematiannya, Salvador Allende, seorang dokter berpikiran Marxis, memenangkan pemilu di Chile. Belasan tahun kemudian, Front Pembebasan Nasional Sandinista (FSLN) memenangkan revolusi di Nikaragua. Pada 1994, Tentara Pembebasan Nasional Zapatista (EZLN) di Meksiko, yang sangat terpengaruh pemikiran Che, menyatakan pemberontakan.

Puncaknya terjadi 31 tahun setelah kematiannya. Kemenangan Kolonel Hugo Chavez di Venezuela menjadi awal dari “pasang merah” di Amerika Latin. Pemerintahan kiri berkuasa di mana-mana: Lula Da Silva di Brazil (2002), Nestor Kirchner di Argentina (2003), Michelle Bachelet di Chile (2006), Rafael Correa di Ekuador (2006), dan masih banyak lagi.
Ironi yang paling manis adalah di Bolivia. Negara tempat Che dieksekusi, pada 2006 dipimpin oleh Evo Morales dan Gerakan Menuju Sosialisme (MAS). Evo, seorang pengagum berat Che, selalu mengatakan “Che masih hidup.”
Ya, lebih setengah abad setelah kepergiannya, Che tetap hidup sebagai pahlawan dan menjadi inspirasi. Ia mengingatkan kita bahwa satu kehidupan yang dijalani dengan prinsip dan keberanian bisa meninggalkan jejak abadi. Seperti yang dikatakan filsuf Jean-Paul Sartre, Che adalah manusia paling lengkap di zaman kita.