Belum lama ini, Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut jumlah masyarakat kelas menengah jumlahnya turun sebesar 9,49 juta jiwa, sebagai imbas pandemi Covid-19.
Plt. Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti menuding perekonomian Indonesia sedang menderita fenomena “long Covid”. BPS pun mengimbau kepada pemerintah untuk turut memperkuat daya beli kelas menengah, bukan hanya kelompok miskin. “Bila kelas menengah kuat, maka daya beli masyarakat secara keseluruhan akan kuat,” jelasnya.
Merespons pernyataan BPS tersebut, saya punya beberapa pandangan:
Pertama, pernyataan BPS ini ada benarnya, namun kurang lengkap. Pandemi memang membuat perekonomian negara merosot selama beberapa waktu, namun banyak negara yang tingkat daya beli masyarakatnya telah kembali pasca pandemi Covid.
Sebagai contoh adalah di negara dengan tingkat keparahan Covid yang tinggi seperti di Vietnam, Tiongkok, dan Amerika Serikat, di mana di ketiga negara tersebut pertumbuhan indeks GDP riil telah kembali ke trek pra Covid. Sementara untuk indikator yang sama, pertumbuhan indeks GDP rill di Indonesia tidak pernah kembali ke trek pertumbuhan pra Covid.
Ekonom Arief Anshori Yusuf (https://x.com/anshory72) membuat sejumlah grafik untuk yang menggambarkan situasi tersebut. Dari situ terlihat dari keempat negara hanya Indonesia yang terlalu lama keluar dari jalur pertumbuhan ekonominya.
Kedua, hal yang membuat Indonesia mengalami fenomena “long covid”, susah kembali kepada trek, adalah kebijakan pemerintah sendiri yang menyebabkan jatuhnya upah riil pekerja. Kebijakan tersebut adalah UU Cipta Kerja (UUCK), dan turunannya seperti PP 36 Tahun 2021, yang mengatur kenaikan upah minimum hanya 1,09 persen.
Jadi pada saat bisnis dan perekonomian tumbuh 4-5 persen, upah minimum hanya diizinkan naik 1,09 persen. Itu pun masih dipotong inflasi 5,5 persen tahun 2022 dan 2,6 persen tahun 2023. Akibatnya, upah riil menjadi turun di zona negatif sepanjang tahun-tahun pasca Covid. Sementara ekonomi terus bertumbuh dan terjadi decoupling antara perekonomian makro dan situasi ekonomi riil di masyarakat.
Gambaran situasi tersebut sesuai dengan grafik yang dibuat ekonom Arief Anshori Yusuf berikut:
Ketiga, turunnya upah riil akan menekan daya beli kelas menengah, di mana kelas pekerja juga merupakan bagiannya. Bila daya beli masyarakat menurun, maka industri terpaksa juga harus mengurangi kapasitas produksinya. Akibatnya terjadi berbagai PHK massal seperti yang kita saksikan belakangan ini.
Karena itu, pemerintahan Prabowo ke depan dapat mempertimbangkan untuk membatalkan Undang-Undang Cipta Kerja untuk sepenuhnya, karena terbukti telah ikut berkontribusi dalam menyebabkan anjloknya daya beli kelas menengah di Indonesia.
Gede Sandra, Juru Bicara Bidang Ekonomi Partai Buruh