Di tengah krisis demokrasi dan turunnya kepercayaan publik terhadap partai politik, banyak yang berharap aktivis—dengan rekam jejak dan kedekatannya dengan akar rumput—mau mengambil peran lebih strategis dalam ranah politik praktis.
Faktanya, banyak aktivis di Indonesia yang masih gamang bahkan enggan terlibat langsung dalam partai politik. Keengganan ini bukan semata-mata karena antipati, tapi juga karena dilema yang kompleks antara menjaga idealisme dan menghadapi realitas politik yang koruptif.
Secara historis, keterlibatan aktivis dalam politik sebenarnya bukan hal baru. Reformasi 1998 didorong oleh gelombang gerakan sipil yang kuat, namun setelah itu hanya sebagian kecil dari para pelopornya yang masuk partai atau pemerintahan. Data LIPI (2019) menunjukkan hanya sekitar 11 persen tokoh gerakan mahasiswa 1998 yang terlibat aktif dalam partai politik pascareformasi. Sebagian besar lainnya memilih jalur non-partisan atau tetap di masyarakat sipil, dengan alasan mempertahankan independensi dan pengaruh moral.

Salah satu kegamangan utamanya adalah ketidakpercayaan terhadap mekanisme internal partai. Penelitian CSIS (2021) mengungkap bahwa tujuh dari 10 aktivis muda yang diwawancarai menilai partai politik tidak memberi ruang yang adil bagi kader non-dinasti atau non-oligarki. Aktivis yang masuk partai pun sering “tersandera” oleh struktur kekuasaan internal, bahkan tak jarang hanya menjadi token demokrasi tanpa pengaruh nyata dalam pengambilan keputusan. Masalah ini menimbulkan kecemasan bahwa idealisme mereka akan tergerus oleh pragmatisme partai.
Di sisi lain, terdapat pula narasi “kemurnian gerakan” yang masih kuat di kalangan aktivis. Terjun ke politik sering kali dianggap sebagai bentuk pengkhianatan terhadap rakyat, terutama ketika mereka harus berkompromi dalam sistem yang dianggap koruptif. Justru di sinilah letak ironi paling dalam: bagaimana perubahan bisa dilakukan jika para pembawa perubahan sendiri enggan merebut ruang-ruang kekuasaan yang menentukan kebijakan? Dalam konteks ini, kegamangan menjadi kontraproduktif terhadap cita-cita transformasi sosial.
Kondisi ini juga diperparah oleh absennya dukungan kelembagaan dan regenerasi kepemimpinan politik alternatif. Banyak partai yang belum serius membangun kaderisasi dari masyarakat sipil, dan lebih memilih merekrut tokoh populer daripada tokoh substantif. Padahal, aktivis memiliki keunggulan dalam hal basis ideologis, keterampilan advokasi, dan pengalaman kerja langsung dengan masyarakat. Sayangnya, potensi ini jarang dibaca sebagai aset oleh elite partai.

Beberapa pengecualian seperti Budiman Sudjatmiko, Tsamara Amany, atau Mardani Ali Sera menunjukkan bahwa aktivis bisa sukses berpolitik. Namun, mereka pun tak lepas dari konflik, friksi internal, bahkan tekanan untuk mundur. Ketika masuk ke dalam partai, banyak aktivis dihadapkan pada kenyataan bahwa perubahan dari dalam jauh lebih sulit daripada yang dibayangkan. Dibutuhkan stamina politik, kesabaran strategis, dan daya tahan terhadap kompromi yang tidak sedikit.
Alih-alih menjauhi politik praktis, seharusnya para aktivis memikirkan cara baru untuk merebut ruang-ruang strategis dalam sistem. Upaya ini bisa melalui pembentukan partai alternatif, konsolidasi jaringan lintas isu, atau membangun poros politik rakyat yang otonom. Demokrasi tak akan berubah jika kursi kekuasaan selalu diisi oleh mereka yang anti-perubahan. Keterlibatan aktivis tidak harus berarti tunduk pada sistem, tapi bisa menjadi upaya untuk mendisintegrasikan sistem dari dalam.
Jika aktivis terus berada di pinggir arena, maka mereka hanya akan jadi komentator, bukan aktor. Politik hari ini tidak bisa hanya dikritik dari luar, ia harus direbut dan dibentuk ulang dari dalam. Kegamangan perlu dihadapi dengan keberanian strategis: bahwa menjadi bagian dari sistem bukan berarti kehilangan idealisme, tapi memperluas ruang perjuangan. Di tengah kemunduran demokrasi, justru saatnya aktivis mengambil risiko politik.
Sebab, seperti dikatakan Gramsci, “masalah zaman tidak akan selesai tanpa subjek politik yang berani menjawabnya.” Dan Indonesia hari ini sedang kekurangan subjek politik yang berani. Maka, pertanyaannya bukan lagi mengapa aktivis belum masuk politik, tapi kapan mereka akan siap memimpinnya.