22 Juli 1917, di Pematangsiantar, Sumatera Utara, lahir seorang bocah yang kelak namanya bersinar di panggung politik Indonesia dan dunia. Namanya Adam Malik Batubara.
Siapa sangka, anak pedagang kecil itu bakal menjelma jadi wartawan, pejuang kemerdekaan, diplomat ulung, ketua parlemen, hingga wakil presiden. Pendek kata, Adam Malik ini paket lengkap: politisi empat zaman yang fasih menari di atas gelombang sejarah.
Berpena tajam
Masa kecil Adam Malik jauh dari kemewahan. Sekolahnya pun tak sampai tinggi-tinggi amat. Ia hanya mengenyam pendidikan di Hollandsch-Inlandsche School (HIS) dan Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di Siantar. Tapi sejak bocah, ia telah punya satu modal besar: rasa ingin tahu yang membara. Buku-buku sejarah, politik, dan pergerakan internasional jadi santapan utamanya.
Waktu beranjak remaja, ia dipercaya orangtuanya menjaga toko kelontong. Di sela-sela kesibukannya, ia menjelajahi berbagai pemikiran lewat buku-buku.
Karena posturnya kecil, ia sering dijuluki “si Kancil”. Namun, meski berbadan kecil, pikirannya terlalu besar untuk ukuran anak muda di zamannya. Rambutnya selalu tersisir rapi, seolah tak bergerak meski diterpa angin, sampai-sampai ada sindiran dari kawan-kawannya: dia tak banyak makan nasi, karena lebih banyak memakan minyak rambut.
Bacaan meradikalisasi pemikiran dan mendesaknya untuk bergerak. Pada usia muda, Adam Malik sudah terjun ke gelanggang pergerakan. Pada 1934, saat baru berusia 17 tahun, dia sudah menjadi ketua Partai Indonesia (Partindo) Cabang Pematangsiantar. Ia pernah dipenjara dua bulan karena aktivitas politiknya terbongkar oleh aparat.

Berkat bacaan, Adam Malik muda sudah tahu bahwa pena adalah senjata. Dia, seperti Napoleon, percaya bahwa surat kabar lebih berbahaya ketimbang 100 ribu bayonet. Karena ketertarikannya pada pena, jurnalisme dan pergerakan, ia merantau ke Jakarta.
Di kota ini, ia tak hanya menjadi bagian dari Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo), gerakan nasionalis kiri yang dipersiapkan untuk melawan fasisme. Bersama kawannya, seperti Soemanang, Sipahutar, Armijn Pane, Abdul Hakim, dan Pandu Kartawiguna, ia mempelopori surat kabar yang menjadi cikal bakal Kantor Berita Antara.
Bermarkas di Jalan Buiten Tijgerstraat 38 Noord Batavia (Jalan Pinangsia II Jakarta Utara), Kantor Berita Antara awalnya hanya bermodalkan satu meja tulis tua, satu mesin tulis tua, dan satu mesin roneo tua.
Di Jakarta, ia menumpang di rumah Yahya Nasution, pengikut Tan Malaka yang kemudian dibuang ke Digul. Di lingkungan ini, Adam Malik terbiasa dalam gerakan bawah tanah menentang fasisme Jepang. Sejak itu juga ia terpapar pemikiran Tan Malaka.
Peran dalam proklamasi
Yang luput diketahui banyak orang, termasuk warga di tanah kelahirannya, ada anak Siantar yang turut berkiprah dalam lahirnya Republik Indonesia. Saat fasisme Jepang menyerah takluk dalam Perang Pasifik pada Agustus 1945, Adam Malik bersama anak muda kiri lainnya, Wikana, Sukarni, dan Chaerl Saleh, turut serta mendesak Sukarno-Hatta untuk memproklamirkan kemerdekaan.
Anak-anak muda ini, seperti disimpulkan Soe Hok Gie dalam Orang-orang Kiri di Persimpangan Kiri Jalan, adalah yang memastikan proses proklamasi kemerdekaan bisa terjadi pada 17 Agustus 1945. Adam Malik turut terlibat dalam peristiwa Rengasdengklok, yaitu aksi kaum muda kiri yang membawa Soekarno-Hatta keluar Jakarta untuk mendesak mereka segera memproklamirkan kemerdekaan.

Tak hanya berperan dalam menyiapkan proklamasi kemerdekaan, Adam Malik juga turut mati-matian dalam mempertahankannya. Ia masuk dalam komite aksi yang mengerahkan masyarakat untuk menghadiri rapat akbar di Lapangan Ikada, Jakarta pada 19 September 1945 untuk menyatakan dukungan sepenuhnya terhadap pemerintah Indonesia yang baru terbentuk.
Setelah Indonesia merdeka, kiprah Adam Malik tak surut. Ia turut menjadi otak berdirinya Partai Rakyat, yang kelak bergabung dengan Partai Murba. Di partai ini, gaya Adam Malik makin kelihatan: keras, mandiri, dan selalu berpikir out of the box. Selain itu, ia menjadi salah satu ketua Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), cikal bakal parlemen Indonesia.
Seni meniti gelombang
Karier politik Adam Malik melesat. Dalam pemilu 1955, dia terpilih sebagai anggota parlemen. Namun, pada 1959, Sukarno menunjuknya sebagai Duta Besar RI untuk Uni Soviet.
Sejak itulah ia dikenal sebagai diplomat ulung. Ia yang menegosiasikan pembelian senjata untuk pembebasan Irian Barat. Sejalan dengan ini, ia ditunjuk menjadi ketua Delegasi RI dalam perundingan Indonesia-Belanda dalam kasus Irian Barat pada 1962. Setahun kemudian, Ia pun diangkat Sukarno sebagai Menteri Perdagangan.
Namun, Adam Malik mulai berjarak dengan Sukarno menjelang 1965. Saat itu, Sukarno semakin merapat ke kiri, dekat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), karena kesesuaian dalam haluan politik anti-imperialis. Sementara Adam Malik tak menyukai PKI dan garis politiknya. Bahkan, bersama Roeslan Abdulgani dan Jenderal Abdul Haris Nasution, ia paling dimusuhi oleh PKI dan dicap sebagai trio sayap kanan.
Ia pun menjadi bagian dari Badan Pendukung Soekarnoisme (BPS), yang pelan-pelan berusaha melemahkan Sukarno dan berseberangan dengan PKI.

Pasca peristiwa G30S 1965, bandul politik Indonesia bergeser ke kanan. Sukarno lengser, PKI dihancur-leburkan, dan karier politik Adam Malik berkibar kembali. Ia segera memperoleh posisi strategis. CIA memberikan bantuan Rp 50 juta (USD 10.000) untuk Komite Aksi Pengganyangan Gestapu yang diserahkan melalui sekretaris Adam Malik. Demikian pula daftar pengurus PKI yang dikumpulkan Kedutaan Besar AS di Jakarta.
Setelah penyerahan Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) 1966, Adam Malik dipercaya Soeharto menjadi salah seorang anggota ”triumvirat” bersama dengan Sultan Hamengku Buwono IX. Adam Malik bertugas mengurus politik luar negeri dan Sultan HB IX mengupayakan perbaikan ekonomi melalui pinjaman dan investasi modal asing.
Pada 1966, ia keluar dari Murba, partai yang yang turut dilahirkan dan dibesarkan Tan Malaka. Musababnya, ia tak suka dengan garis politik partai yang menentang modal asing.
Pada 27 Maret 1966, Adam Malik diangkat Soeharto sebagai Menteri Luar Negeri dan pada 30 Maret 1966 ia mengatakan tugas pertamanya adalah mengakhiri konfrontasi dengan Malaysia.
Saat Indonesia sedang terisolasi akibat politik konfrontasi Sukarno, Adam Malik putar haluan. Ia membalik wajah politik luar negeri Indonesia: dari revolusioner anti-imperialis menjadi pragmatis moderat. Adam Malik sukses memperbaiki hubungan Indonesia dengan Malaysia, menarik Indonesia kembali ke pangkuan PBB, sekaligus mengaktifkan peran Indonesia di kancah internasional.
Pada 1971, Adam Malik terpilih sebagai ketua Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa ke-26. Ia merupakan orang Indonesia pertama dan satu-satunya sebagai ketua Sidang Majelis Umum PBB hingga saat ini. Dia pernah memimpin persidangan PBB yang memutuskan dan menerima keanggotaan RRC di PBB sekaligus memberi hak veto.
Menjadi wakil presiden
Tahun 1971, ia bergabung dengan partai berkuasa, Golkar. Dan, tak lama kemudian, ia terpilih sebagai ketua DPR/MPR pada 1977. Tiga bulan kemudian, pada Maret 1978, ia terpilih menjadi wakil presiden Republik Indonesia yang ketiga menggantikan Sultan Hamengku Buwono IX, yang secara tiba-tiba menyatakan tidak bersedia dicalonkan lagi.
Beberapa tahun menjabat, seperti diceritakan Asvi Warman Adam, ia merasa kurang nyaman dengan hanya meresmikan proyek dan membuka seminar. Dalam beberapa kesempatan, ia mengungkapkan kegalauan hatinya tentang feodalisme pemimpin nasional yang sering berlaku sebagai ”tuan kebun”.

Adam Malik juga berbeda pandangan dengan Soeharto mengenai pemulihan hubungan diplomatik dengan Tiongkok. Soeharto menentangnya dan baru merealisasikan secara terlambat satu dekade kemudian.
Tahun 1980-an, berdasarkan cerita seorang kawan di Manokwari, Papua, Adam Malik punya andil dalam menemukan dan memugar kembali makam Haji Misbach, ulama kiri pengusung komunisme yang dibuang ke Manokwari Papua pada 1920-an.
Tahun 1982, ketika Sarwo Edhie Wibowo, mertua Susilo Bambang Yudhoyono, menuding Tugu Tani di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, sebagai “patung komunis”, Adam Malik tampil meluruskan.
Menurutnya, patung tersebut memang dibuat oleh pematung Rusia, tetapi idenya dari Sukarno. Idenya sederhana: seorang ibu rela melepas anaknya dalam perjuangan merebut Irian Barat. Dalam adegan perpisahan itulah sang ibu memberikan sebungkus nasi kepada pemuda yang akan berangkat ke medan juang.
Dari kiri ke kanan
Pada 5 September 1984, Adam Malik berpulang setelah berjuang melawan kanker hati. Hermawan Sulistyo dalam majalah Prisma (1991) menjelaskan ideologi Adam Malik bergeser dari kiri ke kanan.
Dukungan CIA pada perjuangan Adam Malik pasca 1965 untuk mengganyang Gestapu meninggalkan noda hitam. Ia diterpa isu sebagai agen CIA. Tuduhan itu muncul dalam buku berjudul “Legacy of Ashes, the History of CIA (Membongkar Kegagalan CIA), yang ditulis oleh wartawan The New York Times, Tim Weiner.
Dalam buku itu, Weiner mewawancarai seorang petinggi CIA, Clyde McAvoy pada 2005. Dalam wawancara itu, McAvoy mengaku merekrut Adam Malik sebagai agen CIA pada 1964.
Sejarawan Asvi Warman Adam meragukan klaim itu. Menurutnya, selain tidak didukung oleh dokumen yang kuat dan saksi, Adam Malik juga telah meninggal.
“Tuduhan tersebut jelas tanpa bukti karena kontak sesama diplomat adalah sesuatu yang lumrah. Dalam pertemuan itu bisa terjadi pertukaran informasi tanpa yang bersangkutan menjadi agen rahasia negara asing,” jelasnya.
Menurut Asvi, Weiner kurang menyadari kelemahan sejarah lisan, seorang pelaku yang ditemui dalam tempo lama setelah peristiwa memiliki ”kesempatan kedua” (melebihkan perannya atau mengurangi kesalahan yang bersangkutan).
Namun, terlepas dari tudingan itu, Adam Malik punya kiprah dalam masa-masa memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Ia adalah salah satu sekrup kecil yang menggerakkan roda sejarah Indonesia.
Di kota kelahirannya, Pematangsiantar, nama Adam Malik diabadikan menjadi nama lapangan atau alun-alun yang terletak di pusat kota.