Hubungan antara Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) dan Mochtar Riady, tokoh di balik sukses Lippo Group, menjadi salah satu wacana kritis dalam analisis kebijakan publik (public policy). Sebagai figur yang menonjol dalam politik dan ekonomi, dinamika di antara keduanya dianggap bisa mempengaruhi arah perkembangan perbankan Indonesia.
Saat masih menjabat sebagai presiden, Jokowi dinilai memiliki agenda atas perbankan Indonesia. Ia membuat kebijakan mengenai sistem inklusi keuangan sebagai salah satu agenda prioritasnya. Melalui digitalisasi perbankan dan pembangunan infrastruktur, dia berupaya meningkatkan akses masyarakat terhadap layanan keuangan.
Hubungan timbal balik seperti ini bukan tanpa alasan. Ini acap dianggap sebagai upaya negara untuk mengajak swasta untuk mendapat dukungan, termasuk konglomerat seperti Mochtar Riady.
Taipan dengan jejak di perbankan
Mochtar Riady dikenal secara luas sebagai tokoh publik pendiri Lippo Group, konglomerasi besar yang memiliki sejarah panjang di sektor keuangan. Melalui Lippo Bank, yang kini menjadi bagian dari merger besar, Mochtar meninggalkan jejak signifikan dalam dunia perbankan nasional. Saat ini, ia masih memegang peran strategis melalui berbagai investasi di bidang properti, kesehatan, dan teknologi finansial.
Relasi kuasa: kolaborasi atau kontroversi?
Relasi antara Jokowi dan Mochtar dianggap mencerminkan hubungan mutualisme antara negara dan sektor swasta. Namun, romantisme ini tidak lepas dari kritik. Beberapa pihak mempertanyakan apakah hubungan tersebut benar-benar mewakili kepentingan rakyat atau hanya akan memperkuat dominasi para oligarki.
Salah satu isu yang sempat ramai diperbincangkan publik adalah dukungan pemerintah terhadap proyek infrastruktur, termasuk Proyek Strategis Negara (PSN) yang melibatkan Lippo Group. Para aktivis menilai bahwa kolaborasi semacam ini harus medapatkan pengawasan secara ketat serta tidak eksklusif agar ke depan tidak ada unsur kepentingan yang mengorbankan masyarakat.
Kita tahu, pengaruh perbankan di Indonesia memiliki dampak signifikan. Karena itu kolaborasi antara pemerintah dan konglomerat seperti ini dinilai mampu memasukkan agenda sisipan. Ada kekhawatiran terjadi dominasi pengusaha besar yang berpotensi bisa menghambat pertumbuhan bank swasta dan bank menengah seperti bank daerah atau bank milik BUMN yang berperan penting dalam sektor ekonomi.
Yang pasti, ke depan sektor perbankan Indonesia masih akan terus menghadapi tantangan, mulai dari pengaruh digitalisasi hingga politik regulasi.
Substansinya, relasi kuasa yang dianggap bisa mempengaruhi kebijakan dalam dan luar negeri Indonesia harus diawasi. Hubungan ini harus jelas, tidak boleh dibiarkan tertutup.
Terlebih hubungan ini menggambarkan bagaimana dinamika antara politik dan ekonomi berpengaruh terhadap masa depan kemajuan suatu negara. Mindset perjuangan juga perlu diarahkan pada kesadaran mengenai keuangan negara dan perbankan.
Oleh karena itu, bank-bank kecil dan menengah juga harus didorong maju agar bisa turut bersaing di kancah ekonomi global.